Bismillahirrohmaanirrohiim

Talak Tidak Sah Kecuali Di Depan Pengadilan (?)

Oleh Yendri Junaidi 

Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), perceraian baru dianggap sah bila dilakukan dalam persidangan Pengadilan Agama. Dengan kata lain, meskipun suami sudah mentalak isterinya secara sadar dan tanpa paksaan, tapi karena ia tidak melakukannya di depan pengadilan maka talak itu tidak jatuh karena tidak sah.

Tidak sah di sini bukan hanya secara hukum (قضاء) tapi juga secara agama (ديانة). Barangkali atas dasar ini seorang Kepala KUA mengajak para ustadz, muballigh dan penceramah untuk menyampaikan kepada masyarakat bahwa kalau ada suami isteri yang bercerai tetapi tidak dilakukan di Pengadilan Agama maka perceraian itu tidak sah. Mereka tetap sah sebagai suami isteri, dan itu artinya mereka tetap bisa melakukan hubungan badan sebagai suami isteri. 

Kita tentu memahami posisi dan sikap para Kepala KUA yang mesti merujuk kepada KHI yang berlaku, bukan kepada hukum fiqih yang lebih rajih (kuat). Karena ketika seseorang berada dalam sebuah ikatan kerja, mau tidak mau ia mesti mengikuti aturan yang ada meski berbeda dengan apa yang diketahuinya. Hanya kita tidak sepakat dengan statement sang Kepala KUA yang mengajak para ustadz, muballigh dan masyarakat untuk meninggalkan fikih klasik (yang menegaskan bahwa talak adalah hak prerogatif suami dan bisa ia jatuhkan kapanpun tanpa perlu menunggu persetujuan dari hakim), karena menurutnya apa yang sudah dirumuskan di dalam KHI jauh lebih baik.

*** 

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa talak adalah sesuatu yang dibenci oleh Allah Swt. Namun demikian ia adalah sesuatu yang halal dan boleh ditempuh. Karena itu Rasulullah Saw bersabda :

أبغض الحلال إلى الله الطلاق

“Halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak.”

Kenapa talak dibolehkan? Karena tak jarang sepasang suami isteri dihadapkan pada problematika rumah tangga yang tidak bisa diselesaikan kecuali dengan talak. Bertahan dalam kondisi seperti itu hanya akan membuat salah satu atau kedua-duanya menderita. 

Namun demikian, Islam tidak membuka pintu selebar-lebarnya bagi suami untuk mentalak isterinya kapan ia suka. Talak tidak boleh jadi barang mainan. Karena itu maka talak mesti dijatuhkan dalam masa isteri suci dan belum disentuh (فى طهر لم يمسها فيه). Ini yang disebut dengan talak sunni. Kebalikannya adalah talak bid’iy ; talak yang dijatuhkan tidak sesuai prosedur syariat.

Artinya Islam sudah memberikan aturan yang ketat dalam masalah talak. Semua itu agar suami tidak mudah-mudah saja mentalak isterinya. Setelah aturan dan rambu-rambu diberikan namun suami tetap mentalak isterinya dengan berbagai alasan, dan talak itu sudah memenuhi kriteria syar’iy (diucapkan dalam keadaan sadar, tidak terpaksa, dengan lafaz yang sharih, dan sebagainya) tentu talak tersebut sudah sah, meskipun tidak dilakukan di depan pengadilan.

*** 

Pembicaraan tentang talak sah jika dilakukan di depan sidang pengadilan merupakan turunan dari masalah apakah talak mesti di depan saksi atau tidak. Meski sebenarnya kalau pun kita mengatakan bahwa talak mesti ada saksi, saksi itu sendiri tidak mesti hakim. Karena syarat saksi dalam masalah ini adalah dua orang laki-laki yang adil, dan itu bisa siapa saja.

Mereka yang berpendapat bahwa talak mesti ada saksi berdalil dengan firman Allah Swt dalam QS. Ath-Thalaq ayat 2 :

فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ ...

“Maka apabila mereka telah sampai mendekati akhir iddahnya maka tahanlah (rujuklah) mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik, dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu…”.

Ini merupakan pendapat Imam Yahya bin Bukair dari kalangan Malikiyyah, Imam Syafi’iy dalam qaul qadim, Imam Ahmad dalam salah satu riwayat dan beberapa ulama lainnya. Adapun jumhur ulama berpendapat bahwa perintah untuk mempersaksikan talak dalam ayat ini bersifat sunnah.

Terlepas dari apakah mempersaksikan talak itu wajib atau tidak, jumhur ulama sepakat bahwa talak tetap sah meskipun tidak ada saksi. Para ulama membedakan antara perbuatan yang mendatangkan dosa dengan yang membuat sesuatu tidak sah. Boleh jadi suatu perbuatan jika dilakukan berdosa tapi ia tetap sah dan berdampak secara hukum.

Bahkan sebagian ulama mengatakan talak sah meskipun tidak ada saksi ini sudah menjadi sebuah kesepakatan atau ijma’, diantaranya Imam Syaukani dan Syekh Thahir bin ‘Asyur.

قال الشوكاني : وقد ورد الإجماع على عدم وجوب الإشهاد فى الطلاق

Imam Syaukani berkata: “Sudah ada ijmak tentang tidak wajibnya mempersaksikan talak.”

قال ابن عاشور : واتفق الجميع على أن هذا الإشهاد ليس شرطا في صحة المراجعة أو المفارقة

Syekh Ibnu ‘Asyur berkata: “Semua sepakat bahwa persaksian itu bukanlah syarat sahnya ruju’ atau cerai.” 

Bahkan Imam Ibnu Hazm sendiri yang juga berpendapat bahwa mempersaksikan talak itu hukumnya wajib, tidak mengingkari bahwa talak tetap sah meskipun tidak ada saksi. Hanya saja ia tidak sependapat kalau ini dikatakan sebuah ijma’. Dalam kitab Maratib al-Ijma’ ia menulis :

ولا نعلم خلافا فى أن من طلق ولم يشهد أن الطلاق له لازم ولكن لسنا نقطع أنه إجماع

“Kami tidak mengetahui ada perbedaan pendapat bahwa siapa yang mentalak isterinya dan tidak mempersaksikannya, talaknya tetap berlaku, hanya saja kami tidak memastikan kalau hal itu sudah menjadi ijma’.”

Ini juga yang ditulis oleh Syekh Muhammad Abu Zahrah : 

قال جمهور الفقهاء إن الطلاق يقع من غير حاجة إلى إشهاد فحضور الشهود شرط فى صحة الزواج وليس شرطا فى انتهاءه ، ذلك لأنه لم يؤثر عن الصحابة رضوان الله عليهم أجمعين ولا عن النبي اشتراط الشهود لوقوع الطلاق فاشتراطهم زيادة من غير دليل مثبت

“Jumhur ulama berpendapat bahwa talak tetap jatuh tanpa perlu kepada saksi, karena kehadiran saksi hanya syarat untuk sahnya pernikahan dan bukan syarat untuk berakhirnya sebuah pernikahan. Di samping itu tidak ada atsar dari para sahabat, apalagi dari Nabi Saw tentang disyaratkannya saksi untuk sahnya talak. Mereka yang mensyaratkan hal ini berarti telah menambah sesuatu tanpa dasar.”

Dalam Fatwa al-Azhar disebutkan secara lebih tegas :

طلاق الزوج يقع دون الحاجة إلى إذن القاضي (فتاوى الأزهر 10/82)

“Talak seorang suami jatuh tanpa perlu izin dari hakim.”

*** 

Pada tahun 2006 masalah ini sempat menimbulkan polemik di Mesir. Sebagian ulama berpegang dengan pendapat jumhur bahwa talak tetap sah meskipun tanpa saksi (biasa disebut dengan talak syafawiy). Sebagian lagi berpendapat bahwa talak mesti ada saksi. Syekh Isham Talimah menulis bahwa diantara ulama yang berpendapat seperti ini adalah Syekh Ahmad Syakir, Syekh Ali al-Khafif, Syekh Muhammad Abu Zahrah, Dr. Muhammad Sallam Madkur, Syekh Muhammad Farj as-Sanhuri, dan Syekh Muhammad al-Ghazali. Tapi ia tidak menyebut sumbernya agar kita bisa melacak kevalidan penisbahan pendapat ini.

Akhirnya Syekh al-Azhar, Dr. Ahmad Thayyib mengajak para ulama berkumpul membicarakan hal ini. Beliau juga melayangkan surat pada Menteri Hukum (وزير العدل) untuk membentuk tim khusus guna mengkaji hal ini. maka dibentuklah tim yang terdiri dari para ulama senior dari Hay`ah Kibar Ulama, Al-Azhar dan Darul Ulum.

Syekh Ahmad Thayyib sendiri secara pribadi sebenarnya lebih cenderung kepada pendapat yang mengharuskan talak pakai saksi. Tapi beliau sangat menghargai tim yang telah dibentuk. Namun ia khawatir kalau tim yang terdiri dari para masyayikh kibar itu hanya merujuk kepada referensi mazhab yang empat saja. Akhirnya beliau meminta beberapa ulama dan peneliti al-Azhar untuk menghimpun berbagai pendapat tentang al-isyhad ‘ala thalaq dari berbagai mazhab yang ada agar bisa menjadi pertimbangan bagi tim. Himpunan berbagai pendapat itu dituangkan dalam sebuah kitab berjudul يانع ثمرات الأوراق في مسألة الإشهاد على الطلاق sebanyak dua jilid.

Syekh Ahmad Thayyib tidak ingin intervensi ke dalam tim. Ia siap menerima apapun hasil ijtihad dan keputusan dari tim tentang masalah ini.

Ternyata tim tetap berpegang kepada pendapat jumhur bahwa talak tetap sah meskipun tidak ada saksi. Namun demikian, melaporkan dan men-tawtsiq talak pada lembaga pemerintah tetap mesti dilakukan. 

Kesimpulannya, talak yang diucapkan seorang suami tetap sah dan jatuh meskipun tidak ada saksi. Namun ia berdosa kalau tidak melakukan tawtsiq (pencatatan) pada lembaga berwenang. Dengan kata lain, talak tersebut sah secara agama (ديانة) meskipun tidak sah secara hukum (قضاء).

Muncul pertanyaan, kalau talak sudah dianggap sah meskipun tidak dilaporkan atau dicatat, lalu apa perlunya suami melapor ke pengadilan? Jawabannya, ini semua untuk menjaga hak kedua belah pihak ; suami dan isteri, terutama si isteri. Karena talak itu sendiri berkaitan dengan banyak hal ; warisan, mushaharah, dan lain-lain.

*** 

Tentu masalah ini masih perlu dan terbuka untuk didiskusikan. Semangatnya adalah al-muhafazhatu ‘ala al-qadim ash-shalih wal akhdzhu bil jadid al-ashlah. Adapun mengatakan bahwa fikih klasik tidak layak lagi dijadikan acuan karena sudah ada Kompilasi Hukum Islam yang dianggap lebih relevan maka ini bukan semangat seorang pencari ilmu dan pencari kebenaran.

والله تعالى أعلم وأحكم 

[YJ]


.

PALING DIMINATI

Back To Top