Bismillahirrohmaanirrohiim

KRAPYAK: CAHAYA KEARIFAN YANG TAK PERNAH PADAM

Oleh Zaki Abigeva

Mengenang Krapyak dalam susunan kata sejatinya agak sungkan dan menyusahkan, nilai kearifan Krapyak sejatinya tak akan pernah habis dibahas hanya dalam ruang sempit sebuah postingan. Namun kali ini agak berbeda, keberanian untuk menulis akhirnya mengalir begitu saja. Nekat !!

Saat menginjakkan kaki pertama kali di krapyak di tahun 1995 kami termasuk santri yang tidak krasan di awal mondok. Bertahan beberapa hari saja di komplek paling ujung utara yang dikhususkan bagi santri yang nyambi sekolah. Berbekal 3 tahun mondok di Kalibeber ternyata belum mampu menjamin bisa beradaptasi dengan baik di lingkungan baru. Padahal secara fisik komplek anak-anak setingkat aliyah di Krapyak terbilang cukup baik dan jauh dari kesan prihatin. Bahkan kebaikan Pak Bik (Kyai Atabik Ali) selaku pengasuh yang memberi keringanan biaya masuk di awal mondok tak lantas membuat kami otomatis krasan.

Meski akhirnya pamit, namun kami belum bisa dikatakan benar-benar boyong dari Krapyak. Pasalnya hanya pindah komplek asrama saja dan bergeser ke arah selatan, yakni di asrama MH tepat di selatan masjid Krapyak asuhan Kyai Najib Abdul Qadir. Teman-teman dulu sering menyebut dengan istilah komplek SMP, singkatan dari 'Selatan Masjid Pas' atau 'Sebelah Mbok yem Pas'. Yahh.. Mbok Yem, pemilik warung legendaris langganan para santri lintas angkatan yang sering dijadikan tempat ngutang saat kiriman wesel terlambat datang. 

Bicara tentang Pesantren al-Munawwir saat ini setidaknya telah memasuki generasi ke-5 masa kepemimpinan. Era pertama diasuh oleh Kyai Munawwir bin Abdullah Rosyad sekaligus muassis (pendiri) sejak tahun 1910, dilanjutkan dua putra beliau Kyai Abdullah Afandi dan Kyai Abdul Qadir. Lalu di periode selanjutnya diteruskan Kyai Ali Maksum yang boyongan dari Lasem ke Krapyak sejak tahun 1942, setahun setelah Mbah Munawwir wafat. Beliau fokus dalam kajian kitab kuning sedangkan Mbah Abdul Qadir lebih konsen meneruskan tradisi pembelajaran dan hafalan al-Quran meneruskan wadzifah sang ayah sejak usia 18 tahun. 

Awalnya Mbah Ali sempat juga dibantu Kyai Nawawi Ngrukem dan Kyai Mufid Pandanaran yang mengawal santri dalam bidang tahfidz sepeninggal Kyai Abdul Qadir yang wafat dalam usia cukup muda, yakni 42 tahun. Keduanya adalah menantu Mbah Munawwir, namun tak lama keduanya fokus di pesantren asuhan beliau masing-masing. Dan tak lama setelah acara muktamar NU ke-28 di Krapyak digelar, Kyai Ali wafat. Kyai Zainal Abidin bin Munawwir kemudian meneruskan estafet Mbah Ali sejak tahun 1989 hingga tahun 2014. Lalu Kyai Najib Abdul Qadir menggantikannya hingga saat ini.

Krapyak sebenarnya gambaran mini tentang warna-warni yang saling bersinergi, khususnya para masyayikhnya. Didikan Mbah Munawwir dan Mbah Ali sedikit banyak telah membentuk putra-putri dan dzurriyah Mbah Munawwir mempunyai karakter dan perilaku khusussiyah masing-masing. Yang tawadhu' tergambar dalam pribadi Kyai Zaini Munawwir, yang wira'i serta konsen pada pengkajian kitab salaf dapat kita jumpai pada diri Mbah Zainal Abidin (w. 2014). Yang aktivis dan penyusun kamus fenomenal al-Munawwir ada pada Mbah Warson Munawwir (w. 2013), atau yang sederhana dan bersahaja dapat terlihat pada sosok Mbah Abdullah Afandi dan Mbah Dalhar Munawwir (w. 2009). Begitu juga yang tetap konsisten dengan tradisi penjagaan al-Quran dan qiroat sab'ahnya dapat ditemukan pada pribadi Mbah Abdul Qadir Munawwir (w. 1961) dan Mbah Ahmad bin Munawwir diteruskan kini oleh KH. Najib Abdul Qadir.

Konon dari bimbingan Kyai Abdul Qadir inilah Gus Mus sampai harus menjalani waktu 3 bulan untuk memperbaiki bacaan Fatihah saja. Ini yang kemudian membuat Gus Mus agak menggerutu karena teman yang lain telah menyelesaikan dengan cepat. Usut punya usut ternyata saat awal mondok dulu Kyai Bishri Musthofa menitipkan kepada Mbah Abdul Qadir dengan sungguh-sungguh sembari sedikit mengancam, intinya jika sholat putranya tidak diterima lantaran bacaan surat Fatihahnya maka yang disalahkan kelak adalah guru ngajinya. Entah untung atau buntung, kami tak selama itu saat awal mengaji al-Fatihah dengan Romo Yai Najib. Namun sudah berasa kelamaan dan terlalu banyak keluhan.

Saat bicara tentang Kyai Najib Abdul Qadir sendiri maka secara otomatis kita sedang membahas tentang kerendahan hati dan istiqomah, adalah sosok yang tekun dan fokus mengurusi ngaji dan ngaji. Selama tasmi' dan talaqqi bersama teman-teman seperjuangan semisal: Pak Dosen Aduntea Deje, Cak Ruhi Ayatullah, Gus Kang Mas Zaki Ali, Pak Ustadz Imam Muttaqien, Gus Muhammad Shofy Al Mubarok, Gus Hannan Majdy, Gus Fuad Nawawi dan lain sebagainya jarang sekali Romo Yai libur. Padahal jika beliau tindak atau benar-benar libur, kamilah sekumpulan santri terdepan yang paling sumringah kegirangan. 😂😂

Saking ajeg-nya (konsisten) ngaji dan enggan meliburkan ngaji kadang beliau bahkan sampai sare (ketiduran) saat menyimak bacaan tilawah kami ketika sedang kesayahan (kelelahan). Dikelilingi para santri seolah nikmat bagi beliau meski terlihat begitu sangat keletihan. Dari titik ini kami banyak belajar tentang konsistensi dan keikhlasan.

Lain lagi dengan kesederhaan Mbah Zaini Munawwir. Saat kami mondok dulu beliau terbilang sudah sepuh. Ketika adzan berkumandang dari pengeras suara masjid beliau begitu sregep berjamaah meski cara berjalannya terlihat mulai membungkuk. Karena saking tawadhu'nya, beliau sendiri enggan menjadi imam sholat masjid. Padahal secara uji kelayakan beliau sangatlah patut dan pantas melakukan itu, namun beliau justru memilih menepi tak terlihat. 

Teladan lain dapat disimak dari Kyai Hasbullah Abdus Syakur (w. 1996) menantu Kyai Ali Maksum, beliau terbilang kyai yang sangat disiplin. Tak sedikit yang menyebut ayah dari Gus Hilmy Muhammad (anggota DPD-RI) ini galak bukan main, namun dari tempaan dan didikannya lah mampu membawa madrasah di Krapyak yang berbasis pesantren bisa bersaing dengan sekolah-sekolah lain di bilangan Daerah Yogyakarta dan kancah nasional. Bahkan tak sedikit para alumninya yang kemudian meneruskan belajar ke luar negeri, seperti Mesir, Sudan, Aljazair, Malaysia, Maroko bahkan kawasan Eropa. 

Gambaran kedisiplinan beliau dapat disaksikan setiap hari. Seingat saya ada saja santri yang kebetulan terlihat kena takzir (hukuman), entah itu mengusap-usap pohon jambu di depan kediaman beliau atau mencari-cari paku di halaman pondok. Belum lagi ancaman push up bagi yang telat masuk kelas. Kerennya lagi, meski dalam kondisi sakit (gangguan pada ginjal) beliau masih berkenan menyimak ngaji sorogan anak-anak aliyah secara bergilir setiap pagi sebelum jam sekolah dimulai. Dari beliau kami belajar banyak tentang semangat menuntut ilmu dan pentingnya menghargai waktu. 

Tak kalah unik, ada juga sosok Gus Kelik (w. 2016) putra Mbah Ali di tengah-tengah benteng keilmuan Krapyak. Seolah memberi pesan khusus, tak melulu ilmu yang menjadi fokus para santri di pesantren. Dari hal-hal di luar keumuman, khidmah dan makna mahabbah kami banyak belajar dari beliau. Hingga akhir hayatnya, siapa sangka dari tangan Gus Kelik-lah justru lahir majlis shalawat "Bil Musthofa" yang dihadiri ribuan orang yang hingga kini masih terus lestari diadakan.

Teladan lain datang dari sosok Mbah Zainal Abidin Munawwir dalam menularkan semangat literasi, beliau termasuk kyai yang rajin menulis dan mengarang kitab. Di antara karyanya adalah:
1. Wadhaif al-Muta'allim (kajian akhlaq dan adab)
2. Al-Furuuq (kajian fiqih)
3. Al-Muqtathafat Fi jami'i Kalamihi Shallahu alaihi Wa Sallam (kajian hadits)
4. Tarikhu al-Hadharati al-Islamiyah (kajian sejarah)
5. Kitab Shiyam
6. Majmu ar-Rosail. 
7. Al-Masail Al-Waqi’iyyah.
8. Al-Insya’
9. Manasiku al-Hajji
10. Ahkamul Masajid
11. At-Ta'rifu bi Ahli Sunnah wal Jamaah.

Selain itu beliau juga dikenal dengan kewara'annya. Hal ini dapat diruntut dari kisah patung kuda yang enggan beliau lewati atau jika terpaksa melewati kawasan yang dikenal banyak terdapat patung seperti di kawasan Muntilan tak segan beliau malah memejamkan mata. Karena itu tadi, saking hati-hatinya beliau menjaga hati. 

Tak berhenti di situ, pernah satu kali saat para santri (termasuk kami) sowan pamit sebelum pulang kampung di akhir ramadhan usai ngaji posonan, beliau berpesan sederhana tapi cukup mendalam. Dengan pelan beliau dawuh: "Jangan sampai meninggalkan sholat taraweh, jika terlewat jangan lupa segera diqodho". Begitu wanti-wanti beliau agar tidak gampang menganggap remeh meski sholat taraweh hanya sebatas amalan sunnah. Seolah ini menjadi petuah penting agar amaliyah-amaliyah di bulan Ramadhan tetap harus dikerjakan entah bagaimanapun kondisi dan keadaannya.

Termasuk dalam situasi pandemi covid-19 seperti saat ini, beberapa masjid dan musholla di wilayah rawan meniadakan jamaah sholat taraweh dan i'tikaf untuk mencegah dan memutus mata rantai penyebaran virus tersebut. Semoga semua ini tidak lantas mengurangi semangat untuk menjaga dan menghidupkan amal sunnah (lebih-lebih di sepertiga akhir) meski dilakukan dengan segala keterbatasan. Yakin saja, tak ada sedetikpun waktu yang tidak berharga di bulan suci ini karena semuanya penuh dengan keutamaan dan nilai istimewa di hadapan Allah termasuk doa-doa yang dipanjatkan.

Bi barokati Mbah Munawwir dan para sesepuh Krapyak semoga kita termasuk yang diizinkan Allah berjumpa dengan lailatul qodar di sisa Ramadhan tahun ini. Dengan memperbanyak lantunan doa yang diajarkan Baginda Nabi SAW kepada Sayyidah Aisyah RA:

 اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَني

Tak lupa juga menyelipkan satu doa yang menjadi harapan besar banyak orang akhir-akhir ini: "Semoga Corona segera berakhir". 

Amin Allahumma amin 🤲


.

PALING DIMINATI

Back To Top