Bismillahirrohmaanirrohiim

Biografi singkat Maulana Malik Ibrahim Asmaraqandi

Biografi singkat Maulana Malik Ibrahim Asmaraqandi

Maulana Malik Ibrahim Asmaraqandi, seorang sayyid keturunan Nabi Muhammad Saw, Penyebar Agama Islam di Indonesia yang berasal dari Hadhramaut, Yaman dan datang dari Turki. Dia merupakan Ketua Wali Songo Periode Ke-1. Atau disebut juga Wali Senior. Maulana Malik Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14.

Hubungannya dengan wali-wali yang lain adalah:
[Maulana Ishaq adalah adik kandung Maulana Malik Ibrahim Asmaraqandi (bukan Maulana Malik Ibrahim Sunan Gresik bin Ali Zainal; Abidin Barakat) ],
[Sunan Santri/ Sayyid Fadhal ’Ali Murtadha adalah putra ke 1 dari Maulana Malik Ibrahim Asmaraqandi ],
[Sunan Ampel/ Sayid Fadhal ’Ali Rahmatillah adalah putra ke-2 dari Maulana Malik Ibrahim Asmaraqandi ],
[Sunan Ngudung/ Sayyid Utsman Haji adalah cucu Maulana Malik Ibrahim Asmaraqandi  dari Sayyid Ali Murtadha],
[Sunan Bonang adalah cucu Maulana Malik Ibrahim Asmaraqandi  dari Sunan Ahmad Rahmatillah Ampel],
[Sunan Derajat adalah cucu Maulana Malik Ibrahim Asmaraqandi  dari Sunan Ahmad Rahmatillah Ampel],
[Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim Asmaraqandi  dari putera Maulana Ishaq] dan
[Sunan Kudus/ sayyid Ja’far Shodiq adalah cucu Maulana Malik Ibrahim Asmaraqandi  dari Sunan Ahmad Rahmatillah Ampel].
Nasab keluarga Maulana Malik Ibrahim yang lengkap dan benar adalah:
Maulana Malik Ibrahim Asmaraqandi bin Jamaluddin Husein al-Akbar bin Ahmad Syah Jalaluddin bin 'Abdullah Khan bin Abdul Malik Azmatkhan bin 'Alwi 'Ammil Faqih bin Muhammad Shohib Mirbath bin 'Ali Khali Qasam bin 'Alwi Shohib Baiti Jubair bin Muhammad Maula Ash-Shaouma'ah bin 'Alwi Al-Mubtakir bin 'Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin 'Isa An-Naqib bin Muhammad An-Naqib bin 'Ali Al-'Uraidhi bin Imam Ja'far Ash-Shadiq bin Imam Muhammad Al-Baqir bin Imam 'Ali Zainal 'Abidin bin Imam Husain Asy-Syahid bin Ali bin Abi Tholib Ibin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah Saw.

Maulana Malik Ibrahim Asmaraqandi adalah seorang mursyid dan ulama;, dia berguru kepada beberapa guru di antaranya Sayyid ’Ali bin ’Abdul Quddus, Syaikh ’Abdul Wahhab As-Sya’rani dan Syaikh Jalaluddin As-Suyuthi [Penulis Tafsir Jalalain].

Syekh Ibrahim Asmaraqandi atau Syekh Ibrahim as-Samarqandi yang dikenal sebagai ayahanda Raden Ali Rahmatullah (Sunan Ampel), makamnya terletak di Desa Gesikharjo, Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban. Syekh Ibrahim Asmaraqandi diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh kedua abad ke-14. Babad Tanah Jawi menyebut namanya dengan sebutan Makdum Ibrahim Asmoro atau Maulana Ibrahim Asmoro. Sebutan itu mengikuti pengucapan lidah Jawa dalam melafalkan as-Samarqandi, yang kemudian berubah menjadi Asmaraqandi. Menurut Babad Cerbon, Syekh Ibrahim Asmaraqandi adalah putera Syekh Karnen dan berasal dari negeri Tulen. Jika sumber data Babad Cerbon ini otentik, berarti Syekh Ibrahim as-Samarqandi bukan penduduk asli Samarkand, melainkan seorang migran yang orang tuanya pindah ke Samarkand, karena negeri Tulen yang dimaksud menunjuk pada nama wilayah Tyulen, kepulauan kecil yang terletak di tepi timur Laut Kaspia yang masuk wilayah Kazakhstan, tepatnya dia arah barat Laut Samarkand.

Dalam sejumlah kajian historiografi Jawa, tokoh Syekh Ibrahim Asmaraqandi acapkali disamakan dengan Syekh Maulana Malik Ibrahim sehingga menimbulkan kerumitan dalam menelaah kisah hidup dan asal-usul beserta silsilah keluarganya, yang sering berujung pada penafian keberadaan Syekh Ibrahim Asmaraqandi sebagai tokoh sejarah. Padahal, situs makam dan gapura serta mihrab masjid yang berada dalam lindungan dinas purbakala menunjuk lokasi dan era yang beda dengan situs makam Maulana Malik Ibrahim.

Menurut Babad Ngampeldenta, Syekh Ibrahim Asmaraqandi yang dikenal dengan sebutan Syekh Molana adalah penyebar Islam di negeri Champa, tepatnya di Gunung Sukasari. Syekh Ibrahim Asmaraqandi dikisahkan berhasil mengislamkan Raja Champa dan diambil menantu. Dari isteri puteri Raja Champa tersebut, Syekh Ibrahim
Asmaraqandi yang dikenal dengan sebutan Syekh Molana adalah penyebar Islam di negeri Champa, tepatnya di Gunung Sukasari. Syekh Ibrahim Asmaraqandi dikisahkan berhasil mengislamkan Raja Champa dan diambil menantu. Dari isteri puteri Raja Champa tersebut, Syekh Ibrahim Asmaraqandi memiliki putera bernama Raden Rahmat. Di dalam Babad Risakipun Majapahit dan Serat Walisana Babadipun Parawali, Syekh Ibrahim Asmaraqandi dikisahkan datang ke Champa untuk berdakwah dan berhasil mengislamkan raja serta menikahi puteri raja tersebut. Syekh Ibrahim Asmaraqandi juga dikisahkan merupakan ayah dari Raden Rahmat (Sunan Ampel).

Di dalam naskah Nagarakretabhumi, Syekh Ibrahim Asmaraqandi disebut dengan nama Molana Ibrahim Akbar yang bergelar Syekh Jatiswara. Seperti dalam sumber historiografi lain, dalam naskah Nagarakretabhumi, tokoh Molana Ibrahim Akbar disebut sebagai ayah dari Ali Musada (Ali Murtadho) dan Ali Rahmatullah, dua bersaudara yang kelak dikenal dengan sebutan Raja Pandhita dan Sunan Ampel.

Babad Tanah Jawi, Babad Risakipun Majapahit, dan Babad Cerbon menuturkan bahwa sewaktu Ibrahim Asmoro datang ke Champa, Raja Champa belum memeluk Islam. Ibrahim Asmoro tinggal di Gunung Sukasari dan menyebarkan agama Islam kepada penduduk Champa. Raja Champa murka dan memerintahkan untuk membunuh Ibrahim Asmoro beserta semua orang yang sudah memeluk agama Islam. Namun, usaha raja itu gagal, karena ia keburu meninggal sebelum berhasil menumpas Ibrahim Asmoro dan orang-orang Champa yang memeluk agama Islam. Bahkan, Ibrahim Asmoro kemudian menikahi Dewi Candrawulan, puteri Raja Champa tersebut. Dari pernikahan itulah lahir Ali Murtolo (Ali Murtadho) dan Ali Rahmatullah yang kelak menjadi Raja Pandhita dan Sunan Ampel. Babad Tanah Jawi, Babad Risakipun Majapahit, dan Babad Cerbon menuturkan bahwa sewaktu Ibrahim Asmoro datang ke Champa, Raja Champa belum memeluk Islam. Ibrahim Asmoro tinggal di Gunung Sukasari dan menyebarkan agama Islam kepada penduduk Champa. Raja Champa murka dan memerintahkan untuk membunuh Ibrahim Asmara beserta semua orang yang sudah memeluk agama Islam. Namun, usaha raja itu gagal, karena ia keburu meninggal sebelum berhasil menumpas Ibrahim Asmoro dan orang-orang Champa yang memeluk agama Islam. Bahkan, Ibrahim Asmoro kemudian menikahi Dewi Candrawulan, puteri Raja Champa tersebut. Dari pernikahan itulah lahir Ali Murtolo (Ali Murtadho) dan Ali Rahmatullah yang kelak menjadi Raja Pandhita dan Sunan Ampel.

Menurut urutan kronologi waktu, Syekh Ibrahim Asmaraqandi diperkirakan datang ke Jawa pada sekitar tahun 1362 Saka/1440 Masehi, bersama dua orang putera dan seorang kemenakannya serta sejumlah kerabat, dengan tujuan menghadap Raja Majapahit yang menikahi adik istrinya, yaitu Dewi Darawati. Sebelum ke Jawa, rombongan Syekh Ibrahim Asmaraqandi singgah dulu ke Palembang untuk memperkenalkan agama Islam kepada Adipati Palembang, Arya Damar. Setelah berhasil mengislamkan Adipati Palembang, Arya Damar (yang namanya diganti menjadi Ario Abdullah) dan keluarganya. Syekh Ibrahim Asmaraqandi beserta putera dan kemenakannya melanjutkan perjalanan ke Pulau Jawa. Rombongan mendarat di sebelah timur bandar Tuban, yang disebut Gesik (sekarang Desa Gesikharjo, Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban).

Pendaratan Syekh Ibrahim Asmaraqandi di Gesik dewasa itu dapat dipahami sebagai suatu sikap kehati-hatian seorang penyebar dakwah Islam. Mengingat Bandar Tuban saat itu adalah bandar pelabuhan utama Majapahit. Itu sebabnya Syekh Ibrahim Asmaraqandi beserta rombongan tinggal agak jauh di sebelah timur pelabuhan Tuban, yaitu di Gesik untuk berdakwah menyebarkan kebenaran Islam kepada penduduk sekitar. Sebuah kitab tulisan tangan yang dikenal di kalangan pesantren dengan nama Usui Nem Bis, yaitu sejilid kitab berisi enam kitab dengan enam bismillahirrahmanirrahim, ditulis atas nama Syekh Ibrahim Asmaraqandi. Itu berarti, sambil berdakwah menyiarkan agama Islam, Syekh Ibrahim Asmaraqandi juga menyusun sebuah kitab.

Menurut cerita tutur yang berkembang di masyarakat, Syekh Ibrahim Asmaraqandi dikisahkan tidak lama berdakwah di Gesik. Sebelum tujuannya ke ibukota Majapahit terwujud, Syekh Ibrahim Asmaraqandi dikabarkan meninggal dunia. Beliau dimakamkan di Gesik tak jauh dari pantai. Karena dianggap penyebar Islam pertama di Gesik dan juga ayah dari tokoh Sunan Ampel, makam Syekh Ibrahim Asmaraqandi dikeramatkan masyarakat dan dikenal dengan sebutan makam Sunan Gagesik atau Sunan Gesik. Dikisahkan bahwa sepeninggal Syekh Ibrahim Asmaraqandi, putera-puteranya Ali Murtadho dan Ali Rahmatullah beserta kemenakannya, Raden Burereh (Abu Hurairah) beserta beberapa kerabat asal Champa lainnya, melanjutkan perjalanan ke ibukota Majapahit untuk menemui bibi mereka Dewi Darawati yang menikah dengan Raja Majapahit. Perjalanan ke ibukota Majapahit dilakukan dengan mengikuti jalan darat dari Pelabuhan Tuban ke Kutaraja Majapahit.

Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat "sembilan wali" ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.

Makam Maulana Ibrahim Asmoro Qondi Adalah Makam Waliyullah yang merupakan ayahanda dari Sunan Ampel. Nama asli beliau adalah Ibrahim Asyamar Khan. Konon beliau dikenal sebagai seorang pejuang yang sangat kokoh dalam menyebarkan agama Islam dan memiliki keahlian sebagai pande besi yang handal dalam membuat persenjataan. Lokasi makam Ibrahim Asmoro Qondi berada di Desa Gesikharjo, Tuban, sekitar 10 km arah timur dari Kota Tuban. Sekarang makam ini dilengkapi dengan areal parkir yang cukup luas, sekitar 250 m². Nama lengkap Ibrahim Asmoro Qondi adalah Ibrahim bin Jamaludddin Akbar bin Ahmad Jamaludddin. Dia dikenal sebagai ayah Sunan Ampel. Jika Sunan Ampel datang dari Cempa, sementara di belakang nama ayahnya ada nisbat Asmoro Qondi, sebuah daerah di dekat Bukhara Rusia, berarti Ibrahim adalah pendatang dari Samarqand. Kapan ke Jawa dan mengapa makamnya ada di Gesikharjo Tuban, sampai saat ini masih belum terungkap. Dalam beberapa serat, nama Ibrahim sering disebut sebagai Syarif Auliya’ dan Syekh Makhdum Ibrahim Asmoro.  Masyarakat setempat menyebut dengan nama Ibrahim Asmoro Qondi.

Sumber :
Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: TUBAN BUMI WALI: The spirit of harmoni, Tuban: Pemerintah Daerah Kabupaten Tuban, 2013, hlm.183 – 191


.

PALING DIMINATI

Back To Top