Bismillahirrohmaanirrohiim

Jika Indonesia Berbeda Hari Raya Dengan Arab Saudi

Perbedaan Penetapan Hari Raya
Indonesia menetapkan hari raya Idul Adha jatuh pada hari Rabu, (22/08). Sementara Kerajaan Arab Saudi dan negara sekitarnya menetapkan hari raya jatuh besok selasa, (21/08). Perbedaan penetapan ini juga berpengaruh pada penentuan hari tarwiyah dan Arafah. Perbedaan penetapan hari raya dikarenakan terlihatnya hilal awal bulan Dzulhijjah pada hari Ahad (12/08) di Arab Saudi. Pada hari yang sama di Indonesia, hilal masih di bawah ufuk yang tidak mungkin terlihat dengan alat secanggih apapun. Semakin ke barat, ketinggian hilal akan semakin bertambah. Hal ini yang menyebabkan daerah seperti Arab Saudi hilal sering terlihat dari pada di Indonesia.
Visibilitas hilal yang berbeda-beda di beberapa daerah sering diistilahkan dengan mathla’ (مطلع). Mathla’ adalah kata benda waktu atau tempat yang artinya wilayah atau waktu terbit. Apabila hilal terlihat di Sumatra, sementara di Papua tidak terlihat, maka kedua wilayah tersebut berbeda mathla’. Apakah awal bulan berlaku juga di Papua sebagaimana di Sumatra?
Ulama fikih dari empat mazhab berselisih pendapat menyikapi perbedaan mathla’. Ibn Abidin dalam risalahnya menulis
“Ketinggian hilal berbeda-beda di tiap daerah. Kadang di suatu daerah terlihat, di daerah lain tidak terlihat. Dari sinilah, perbedaan hukum mengenai mathla’ adalah hal yang niscaya..”
Pendapat pertama menyatakan:
Perbedaan mathla’ atau waktu terbit di beberapa daerah tidak memiliki pengaruh hukum. Ketika hilal Ramadhan terlihat di salah satu daerah di muka bumi, semua kaum muslimin di seluruh dunia wajib berpuasa, sekalipun berada di ujung barat atau timur yang belum terlihat hilal. Hal ini berlaku pula pada permulaan bulan-bulan selain Ramadhan. Ketika salah satu daerah di muka bumi melihat hilal, maka awal bulan di seluruh dunia dimulai. Dari pendapat ini, beberapa ulama mengusulkan penyatuan atau unifikasi kalender agar masyarakat muslim di seluruh dunia dapat secara serentak melaksanakan hari raya atau hari-hari besar islam lainnya. Pendapat pertama adalah pendapat Hanafiyah, pendapat masyhur di kalangan Malikiyah, satu pendapat dalam mazhab syafi’iyah, Imam al-Laits, dan Imam Ahmad.
Pendapat kedua menyatakan perbedaan mathla’ berpengaruh terhadap hukum. Apabila di suatu daerah melihat hilal dan menyatakan besok awal bulan, daerah lain tidak harus mengikutinya. Pendapat kedua ini adalah pendapat ibn Mundzir dari Ikrimah, Ishaq bin Rohaweh, at-Turmudzi, al-Mawardi, az-Zailaghi dari Hanafiyah dan beberapa ulama lain.
Pendapat ketiga mempertimbangkan jauh dekatnya mathla’ suatu daerah. Apabila ada dua daerah yang berdekatan dan satu mathla’, maka daerah yang dekat harus mengikutinya. Jika dianggap jauh, daerah tersebut tidak harus mengikuti daerah yang terlihat hilal. Ini adalah pendapat Mazhab Syafi’iyah dan Zaidiyah.
Kemudian para ulama berbeda pendapat mengenai batas suatu daerah dianggap jauh. Ada yang membatasi, daerah yang jauh adalah daerah yang tidak satu Negara. Jika di Papua semisal, hilal tidak terlihat, sedangkan di Aceh hilal terlihat, maka seluruh Indonesia mengawali awal bulan besok. Ada juga yang membatasi, jauh adalah daerah yang berada di daerah timur terlihatnya hilal. Jika di Arab Saudi hilal terlihat, maka daerah yang berada di timur Arab Saudi seperti Iran, India dan Indonesia tidak wajib mengikuti.
Perbedaan tersebut disebabkan dalil yang digunakan oleh masing-masing mazhab.
Pendapat yang tidak mempertimbangkan mathla’ berpegang pada hadis
صوموا لرؤيته، وأ‏فطروا لرؤيته
“Berpuasa dan batalkan puasamu karena hilal terlihat”
Hadis ini berlaku umum atau universal, tanpa ada zonasi. Seakan-akan Nabi bersabda, berpuasalah di manapun itu. Perintah puasa tidak dibatasi dengan suatu tempat terlihatnya hilal. Dalil inilah yang dijadikan pegangan mazhab yang tidak mempertimbangkan perbedaan mathla’
Sementara mazhab yang mempertimbangkan mathla’ berpegang pada hadis
عَنْ كُرَيْبٍ أَنَّ أُمَّ اْلفَضْلِ بِنْتَ الْحَارِثِ بَعَثَتْهُ إِلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ قَالَ فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانَ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلاَلَ لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ، ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِيْنَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللهِ بْنُ عَبَّاسٍ ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلاَلَ فَقَالَ مَتَى رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ ؟ فَقُلْتُ رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ فَقَالَ أَنْتَ رَأَيْتَهُ ؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ، وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ فَقَالَ : لكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلاَ نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلاَثِينَ أَوْ نَرَاهُ، فَقُلْتُ أَوَلاَ نَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ ؟ فَقَالَ: لاَ،هكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ 
Dari Kuraib, bahwa Ummul Fadhl binti Al-Harits mengutus Kuraib kepada Mu’awiyah di Syam.
Kuraib berkata: Ketika sampai di Syam saya segera menunaikan pesan-pesan Ummul Fadhl. Kemudian muncullah hilal Bulan Ramadhan sementara  saya masih berada di Syam dan saya melihatnya pada malam Jum’at.
Kemudian saya kembali ke Madinah pada akhir bulan Ramadhan. Lalu  Ibnu Abbas bertanya kepada saya tentang hilal Ramadhan. “Kapan kalian melihat hilal?” Saya katakan, “Kami melihatnya pada malam Jum’at.” Ibnu Abbas bertanya, “Apakah kamu melihatnya?” Saya katakan, “Ya, dan kaum muslimin juga melihatnya, kemudian mereka dan Mu’awiyah memulai puasa.”
Kemudian Ibnu Abbas berkata, “Akan tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu, maka kami akan melanjutkan puasa sampai tiga puluh hari atau melihat hilal.”
Saya katakan kepada beliau, “Apakah tidak mencukupkan dengan rukyah dan puasanya Mua’wiyah?” Jawab beliau, “Tidak, demikian itulah Rasulullah saw. memerintahkan kepada kami.” [ Syarh Shohih Muslim]
Ibn Abbas yang berada di Madinah (timur Syam) tidak memulai puasa sebagaimana di Syam atas dasar hilal yang tidak terlihat di daerahnya. Hal yang ia lakukan sebagaimana petunjuk Rasulullah saw.
Komentar Imam An-Nawawi terhadap hadis ini,
“Penggunaan dalil ini sangat kuat. Di kalangan madzhab kami, bahwa ru’yatul hilal (bila terlihat di suatu negeri tertentu) tidaklah berlaku secara umum untuk semua kaum muslimin (di seluruh penjuru dunia), tetapi hanya berlaku khusus untuk daerah-daerah yang saling berdekatan jaraknya, yang tidak boleh diqashar shalat pada jarak tersebut. Ada pula yang mengatakan berlaku bila mathla’nya atau teritorialnya sama, jika tidak sama maka tidak berlaku.”
Selain itu, pada zaman Khulafa’ ar-Rosyidun tidak ada perintah dari seorang Khalifah untuk mengirimkan kabar surat ke berbagai negeri bahwa hilal terlihat di suatu wilayah. Andai hasil rukyat ini wajib diberlakukan ke seluruh dunia, tentu Khalifah akan mengirimkan utusan ke berbagai daerah untuk mengumumkan awal dan akhir Ramadhan atau bulan lainnya.
( Diambil dari status Fb Ma’had Ali Liilmil Falak TBS Kudus )


.

PALING DIMINATI

Back To Top