Bismillahirrohmaanirrohiim

Harga ( Tidak ) Mati

Betapa tak kuasa kusaksikan sepasang muda-mudi yang diduga sedang memadu kasih, digrebeg dan diarak warga sepanjang jalan kampung tanpa sehelai benang pun melekat di badannya. Sambil menangis mereka memohon ampun. Ampun pak, ampun pak....begitu ronta mereka berdua. Warga yang sudah dibutakan dan ditulikan dengan kemarahan, yang begitu mudahnya disulut provokator dalam sekejapan mata tak lagi hirau akan tangisan mereka. Dengan muka yang tak berwajah lagi karena jotosan warga, beruntung si laki-laki berhasil merebut kaos oblongnya dan mengenakannya kembali kepada wanita.

Ada apa ini ? Jika memang perbuatan dua insan ini dipandang asusila, hina dan melanggar batas nilai oleh kebenaran yang disepakati secara umum. Karena ketidaksanggupan mereka menunjukkan buku nikah, apakah penelanjangan dengan berkeliling kampung sebagai bentuk penghakiman kepadanya tidak lebih asusila lagi ? Jikapun seseorang melakukan kesalahan dan kekhilafan dalam perjalanan hidupnya. Bukankah peristiwa kesalahan, dosa, kecelakaan atau apapun namanya itu. Hanya terjadi pada saat perbuatan itu berlangsung. Sebelumnya barangkali mereka tak berniat sama sekali untuk itu. Namun godaan dan dukungan suasana dan kesempatan itulah yang mengizinkan semuanya terjadi. Dan setelah peristiwanya berlangsung pun, sangat bisa jadi seseorang menyesal, kesadarannya kembali lagi sambil terisak meratapi kebodohannya. Kok bisa-bisanya aku melakukan itu.

Bukankah telah gugur tuduhan atas fakta kesalahan jika sang pelaku telah mengakui kekhilafannya . Kenapa pula ditambah dengan penelanjangan fisik lagi mencopot martabat kemanusian mereka di hadapan masyarakat umum ?

Seberapa  berefekkah ceramah keagamaan yang muatannya condong dan cenderung sebagai bengkel fiqih, yang berisikan gambaran bahwa yang hitam kelam pasti neraka dan yang putih pasti dapat kavling surga dengan tingkat mudah marahnya warga terhadap hal-hal yang dianggap menentang nilai yang telah baku ?

Tidak adakah ruang cinta dan dialog terhadap ketergelinciran itu ? Belum sampaikah kabar kepada warga yang mengarak dua insan yang saling mencintai namun kebablasan itu tentang Kisah seorang wanita tunasusila yang berhasil membuat Tuhan terharu. Karena di penghujung usianya, ia yang tercekik kehausan lebih mendahulukan dan mengutamakan memberi minum kepada seekor anjing. Dosanya yang menggunung tinggi pun tiba-tiba sirna oleh ampunan dan rahmat Tuhan yang melangit luas.

Lupakah mereka bahwasannya Tuhan selain mempunyai sifat wajib untuk menempatkan hamba-Nya di syurga dan pendurhaka-Nya di neraka. Dan mustahil beliau mengingkari janji-Nya. Beliau pun memiliki satu sifat lainnya, Sifat Jaiz, Sifat serba kemungkinan, sifat bebas hukum yang dengannya seorang manusia memandang Tuhan bukan sebagai hakim yang galak. Namun sebagai kekasih yang lemah lembut. Dimana seorang hamba menjalani hidupnya dengan tawar menawar pada tiap keputusan Tuhan yang menimpa dirinya. Yang selalu berdialog dalam getaran yang mengalir dan Aliran yang bergetar.


.

PALING DIMINATI

Back To Top