Bismillahirrohmaanirrohiim

Berharap Pada Nahdhatul Wathan


Oleh Abdul Moqsith  Ghazali

Nahdhatul  Wathan (NW) tak banyak menjadi obyek penelitian. Riset tentang ormas keagamaan Islam di Indonesia lebih deras pada Nahdhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Ada berbagai faktor yang bisa ditengarai dari minimnya riset-riset tentang Nahdhatul Wathan. Pertama, organisasi keagamaan dan kemasyarakatan yang didirikan TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid ini tak digerakkan dari pusat ibukota, Jakarta, melainkan dari daerah terpencil, yaitu Nusa Tenggara Barat (NTB). Dengan ini, gerak dan aktivitas NW sulit terpantau media-media nasional, baik cetak maupun elektronik. Minimnya pemberitaan tentang NW ini menyebabkan pengetahuan publik tentang NW menjadi terbatas. Tak banyak peneliti yang tahu perihal Nahdhatul Wathan.   

Kedua, tak ada dinamisasi pemikiran Islam dalam NW yang menarik perhatian para peneliti domestik apalagi mancanegara. NW dikesankan hanya sekedar mengkonservasi pemikiran-pemikiran keislaman lama tanpa sempat melakukan kontekstualisasi. Aktivitas ijtihad dan gemuruh fatwa keislaman tak banyak terdengar dari NW. Dengan perkataan lain, tak pernah tersiar berita tentang adanya dentuman pemikiran keislaman yang mendorong para peneliti untuk segera menyelenggarakan riset tentang diskursus intelektual Islam dalam tubuh NW. Ini berbeda dengan Lembaga Bahtsul Masail dalam NU atau Lembaga Tarjih dalam Muhammadiyah yang kerap memunculkan pandangan keislaman yang menggema secara nasional.   

Ketiga, NW termasuk salah satu organisasi keislaman Indonesa yang kurang produktif menerbitkan buku. Pengurus NW sendiri tak aktif mensosialisasikan pemikiran keislamannya dan tak kerap menyebarkan aktivitas organisasinya di kancah nasional dan internasional. Para intelektual NW jarang menulis artikel sekedar untuk memberikan respons terhadap terhadap problem-problem kemanusiaan dan kebangsaan. Gegap gempita demokratisasi, pluralisme, dan penegakan Hak Asasi Manusia sepanjang Era Reformasi nyaris tak mendapatkan sambutan antusias dari para intelektual muda Nahdhatul Wathan. Bahkan, ketika meledak berita terorisme di Ma’had Umar ibn Khattab di Bima NTB, suara dari dalam NW tak terdengar cukup nyaring.       

Dengan kondisi ini, tak sedikit intelektual dan peneliti yang berpendirian bahwa tak ada sesuatu yang perlu ditulis dan diriset dari NW. Organisasi ini dipandang secara sebelah mata. Bagi saya, apa yang dialami oleh NW sekarang ini agak mirip dengan apa yang dialami NU pada 25 tahun-an lalu ketika NU dianggap secara sinis sebagai organisasi kaum sarungan. NU dipandang sebagai tempat berkumpulnya orang-orang Islam yang berpandangan picik, sempit, dan dangkal. Itu sebabnya, para  peneliti pemikiran Islam Indonesia saat itu lebih banyak berfokus pada Muhammadiyah ketimbang pada NU.

NW dan NU
Nahdhatul Wathan (NW) berdiri pada hari Ahad, 15 Jumadil Akhir 1372 H/ 1 Maret 1953 di Pancor Lombok Timur Nusa Tenggara Barat. Pada 1 Maret 2012, NW genap berusia 59 tahun. Sejak berdirinya sampai sekarang, Pengurus Besar Nahdhatul Wathan (PBNW) berkedudukan di Nusa Tenggara Barat. Begitu juga, penyelenggaran muktamar NW yang sudah berlangsung sebanyak dua belas kali selalu diselenggarakan di Pulau Lombok. NW tak pernah mencoba melangsungkan acara muktamar di pulau-pulau lain atau provinsi lain, seperti umum dilakukan NU dan Muhammadiyah.

Sebagai organisasi sosial keagamaan (jam’iyyah diniyah ijtima’iyyah), NW tegak di  atas cita-cita untuk memperbaiki bidang pendidikan, sosial, dan dakwah Islam menurut paham Ahlussunnah Waljamaah berdasarkan madzhab Syafii. Dengan ini menjadi jelas bahwa NW tak membawa semangat pembaruan Islam, melainkan semangat taqlid kepada para imam madzhab terutama madzhab Syafii. Ajaran Islam menurut paham Ahlusssunnah Waljamaah inilah yang menjadi karakter dasar dari setiap lembaga pendidikan NW. Pesantren-pesantren (konon jumlahnya hampir menyentuh angka ribuan) yang didirikan tokoh-tokoh NW di berbagai daerah di Indonesia mengajarkan pemahaman Islam yang moderat dan toleran, bukan pemahaman Islam yang keras.

Dalam genggaman TGKH Zainuddin, NW kental dengan warna tasawwufnya. TGKH Zainuddin pun mendirikan Tarekat Hizib Nahdhatul Wathan yang kini tersebar di berbagai daerah di Indonesia, seperti Bali, Sulawesi, Riau, Batam, Jakarta, bahkan Malaysia. Dengan sentuhan mistisisme Islam ini, NW tampak santun (ghair tatharruf), moderat (tawassuth), sehingga tak mudah terseret ke dalam jalan kekerasan dalam mendakwahkan Islam ke tengah masyarakat. Jihad yang dikembangkan bukan hanya jihad untuk mati di jalan Allah (an namuta fi sabilillah), tapi juga untuk hidup di jalan Allah (an nahya fi sabilillah).

Sejauh yang bisa saya perhatikan, NW di lombok mirip dengan NU di Jawa. Pertama, seperti halnya NU, NW tak ketus terhadap kebudayaan-kearifan lokal. Tradisi masyarakat Sasak di Lombok tak dianggap sebagai ancaman melainkan sebagai unsur untuk memperkaya warna Islam. Itu sebabnya berbagai upaya untuk melakukan purifikasi Islam-- seperti yang belakangan santer dikampanyekan orang-orang Wahabi di Lombok--mendapatkan penolakan dari masyarakat Lombok sendiri.

Kedua, tradisi dan rujukan intelektual antara NU dan NW adalah serupa. Kitab-kitab fikih yang diajarkan terutama di Pesantren TGKH Zainuddin sama persis dengan kitab-kitab yang diajarkan di Pesantren Lirboyo Kediri, misalnya. Kebiasaan ulama fikih yang selalu membuka kemungkinan beragam pandangan dalam menafsirkan al-Qur’an dan al-Hadits tampaknya yang menyebabkan para tuan guru NW tak mudah memutlakkan pendapat sendiri. Dalam berbagai forum di Lombok, saya kerap terlibat dalam diskusi intens dengan mereka. Dengan penguasaan khazanah intelektual Islam yang mumpuni, mereka sesungguhnya memiliki kemampuan untuk melakukan aktivitas ijtihad. Hanya karena kerendahan hati, mereka enggan untuk berijtihad.

Dalam kaitan itulah, kita perlu terus mendorong para ulama NW agar tak ragu dalam menjalankan ijtihad terutama untuk mengatasi persoalan-persoalan kemanusiaan. Jelas, melakukan terobosan pemikiran keislaman bukan untuk tujuan agar dilirik oleh para peneliti, melainkan betul-betul didasarkan pada kebutuhan penyelesaian problem masyarakat kontemporer. Dalam memecahkan soal-soal baru kita tak mungkin hanya merujuk pada pikiran-pikiran keislaman lama. Dengan demikian, inisiatif untuk melakukan pembacaan dan pemaknaan baru terhadap khazanah keislaman klasik  harus dimiliki para ulama NW.

Ketiga, kecintaan terhadap bangsa adalah komitmen awal NW. Nama “nahdhatul wathan” yang berarti “kebangkitan tanah air”  (kebangkitan bangsa) turut menggambarkan bahwa NW tak punya tendensi politik untuk merongrong NKRI dan Pancasila yang telah menjadi konsensus bersama para pendiri bangsa. NW tak pernah mengagendakan untuk memperjuangkan tegaknya Khilafah Islamiyah seperti yang dikampanyekan aktivis Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Dalam soal politik kebangsaan, orang-orang NW tunduk pada Pancasila dan UUD 1945. Bahkan, sejak tahun 1986, NW telah berasaskan Pancasila. Sementara dalam soal keagamaan, mereka terikat kepada pendapat para imam dan ulama mazhab. Pandangan politik kebangsaan seperti ini yang juga menjadi ruh dalam tubuh Nahdhatul Ulama.

Berharap Pada NW
Indonesia bahkan dunia Islam membutuhkan paham dan corak keislaman seperti yang dikembangkan NW di Lombok. Yaitu, paham keislaman yang tak menggunakan cara-cara kekerasan dalam mendakwahkan Islam. Menggunakan istilah Gus Dur, NW tak mengembangkan Islam marah, tapi Islam ramah. Banyak orang berharap, agar ada upaya massifikasi pemahaman keislaman NW ke seluruh dunia. Islam damai yang disuarakan NW adalah oase di tengah kecenderungan radikalisme dan terorisme berbasis agama.

Untuk tujuan itu, saya kira ada beberapa hal yang harus dilakukan NW. Pertama, NW harus segera go international. NW tak boleh hanya berkutat di Lombok, tapi juga harus bergerak ke daerah-derah lain bahkan hingga ke manca negara. Saya ikut senang ketika mendengar bahwa NW sudah memiliki cabang di Mesir. Ini sebuah sinyal baik untuk kepentingan go international itu. Kelak jika sudah masuk ke forum-forum internasional, NW bisa ikut mendakwahkan Islam yang rahmatan lil alamin, bisa melerai sejumlah ketegangan antar umat Islam yang terjadi Pakistan, Mesir, Fatah-Hamas di Palestina, dan lain-lain.

Kedua, NW melalui ulama dan para intelektualnya harus aktif memproduksi pemikiran bukan hanya mengkonsumsi pemikiran. Dalam usia yang sudah lebih setengah abad ini, NW saatnya menulis tentang aktivitas intelektualnya di samping aktivitas sosial dan dakwahnya. Dengan memproduksi karya-karya intelektual ini misalnya, maka NW akan turut memberikan pengaruh terhadap corak pemikiran Islam Indonesia. Sejauh yang bisa saya ketahui, aktivitas intelektual itu agak redup bersamaan dengan wafatnya TGKH Zainuddin. Jika TGKH Zainuddin masih sempat menulis buku seperti Sullam al-Hija Syarh Safinah al-Naja, maka pasca Maulana Syaikh (begitu TGKH Zainuddin biasa disapa) kegiatan intelektual itu kian tak terlihat.  Bahkan, ada yang berkata bahwa sepeninggal TGKH Zainuddin, NW lebih kental warna politiknya ketimbang warna intelektual apalagi spiritualnya.  

Ketiga, NW harus lebih responsif dalam menyikapi soal-soal keagamaan dan kebangsaan. NW bisa saja tetap bermarkas di Lombok. Tapi, konteks geografis itu tak boleh menjadi alasan bagi NW untuk tak terlibat dalam penyelesaian masalah-masalah nasional terkait keagamaan dan kebangsaan. Kekerasan atas nama agama yang kian marak di negeri ini harus menjadi concern utama NW. Sebab, kekerasan berbasis agama bukan hanya akan mencoreng nama Islam, melainkan juga karena tak sesuai dengan substansi ajaran Ahlussunnah Waljamaah yang diperjuangkan NW.

Dengan cara-cara itu, saya kira keberadaan NW tak hanya dirasakan manfaatnya oleh warga NW secara terbatas, melainkan juga oleh seluruh umat Islam Indonesia bahkan dunia. Wallahu A’lam bis Shawab

Jakarta, 19 Pebruari 2012


.

PALING DIMINATI

Back To Top