Bismillahirrohmaanirrohiim

Maqashid Syariah; Sebuah Epistemologi atau Sekadar Wacana?*

oleh Muhammad Idris Mesut pada 7 Desember 2011 pukul 14:17  


“Tidak ada seorang pun yang mengingkari akan urgensi Maqashid Syariah, baik dalam ranah individual maupun sosial.” Abdurrahman Shalih Ba bakr[1]
Ushul Fikih (klasik) harus ditinggalkan karena hanya bersifat Dzanni dan hanya akan mengakibatkan adanya perdebatan-perbedaan dalam masalah-masalah furu’ (fikih).[2]

Sekilas tentang Ushul Fikih

Sebelum kita membincangkan perdebatan seputar independensi Maqashid Syariah, alangkah lebih baiknya kita sedikit menengok ke belakang mendiskusikan seputar epistemologi ushul fikih yang telah dibangun secara kokoh oleh al-Syafi’i.
            Sudah jamak diketahui bahwa ushul fikih adalah disiplin ilmu yang membahas tentang dalil-dalil hukum dan pengetahuan tentang aspek indikasi-indikasi hukum yang bersifat global.[3] Hampir menjadi sebuah konsensus bahwa Al-Syafi’i (150-204 H) adalah sarjana pertama yang mengkodifikasikan sebuah karya dalam bidang ini. Karyanya berjudul al-Risâlah adalah kumpulan kaidah-kaidah ushul fikih.[4]
            Al-Risalah Syafi’i bagi Abu Zahrah adalah solusi dari krisis fikih Islam yang terjadi pada saat itu.[5] Merekonstruksi dan meletakkan dasar prinsip-prinsip yurisprudensi Islam dan menjadikan nash (teks) sebagai dasar fundamental. Begitupula Syafi’i adalah yang pertama kali mentransformasikan fikih dari kungkungan tradisi menuju ruang lingkup yang lebih luas seperti industri, ilmu pengetahuan, dan prinsip-prinsip universal. Karena itu pengaruh Syafi’i dalam kajian ushul fikih sangat besar, hingga sebagian sarjana seperti Fakhr al-Din al-Razi menyejajarkan kontribusi Syafi’I dalam ushul fikih dengan Aristoteles dalam logika.[6]
             Bahkan Abid al-Jabiri dalam Takwin al-Aql al-Arabi-nya menyatakan bahwa capaian Syafi’I dalam membentuk nalar Arab tidak kalah pentingnya dengan Descartes dalam mengkonstruksi nalar Prancis dan rasionalisme Eropa modern secara umum.[7]
            Karya-karya ushul fikih memiliki kesadaran akan tradisi ilmu ushul yang menekankan epistemologi dan metodologi. Karena ushul fikih pada perkembangan selanjutnya menjadi perangkat ilmu pengetahuan yang menghasilkan hukum-hukum fikih. [8]
           Hasan Hanafi –sebagaimana dikutip dari Jamal Barut- dalam disertasi doktoralnya menyatakan bahwa ushul fikih adalah ilmu yang terpisah dari peristiwa-peristiwa dan kondisi politik yang ada di saat kemunculannya, dan latar belakangnya jauh dari keberpihakan. Sementara Abd Majid Shagir dalam bukunya “al-Fikr al-Ushuli wa Isykaliyat al-Shulthah al-Ilmiyyah fi al-Islam: Qiraat fi Nasy’ah ‘Ilm al-Ushul wa Maqashid al-Syariah” justru menemukan adanya fakta yang sebaliknya. Artinya, bagi Abd Majid, kemunculan ushul fikih tidak bisa dilepaskan secara total dari dialektika epistemologis, politis, pengetahuan, dan kekuasaan dalam teori independensinya. Statemen Abd Majid ini pada titik ini mendapatkan dukungan dari Nashr Hamid yang menilai adanya ketidakmungkinan dalam memahami prinsip-prinsip Syafi’i dengan menegasikan pertikaian sengit antara ahlul ra’yi dengan ahlul hadis dalam fikih dan syariat.[9]
            Pada perkembangan selanjutnya, terutama pada abad ke-4 H, kajian Ushul Fikih mulai mengalami era kemunduran. Salah satu faktor penyebab kemunduran kajian ushul fikih (Jumud al-Bahts al-Ushuli) adalah kodifikasi final fikih madzhab yang mengarah pada hukum taklid dan idealisasi.[10]  Sehingga kebanyakan dari karya-karya fikih yang muncul pada era ini adalah pengulangan atas karya-karya sebelumnya (dari matn ke syarh, dari syarh ke hasyiyah dari hasyiyah ke ikhtishar atau dari nadhm ke syarah, dari syarah ke hasyiyah).
           Bahkan kemunduran (stagnansi) kajian ushul fikih ini sampai detik ini pun masih bisa dirasakan dan dinikmati oleh mayoritas pelajar/santri di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dengan materi ushul fikih yang ditawarkan oleh mayoritas pesantren di Indonesia masih menggunakan kitab-kitab seperti Lub Ushul dan Jam’ul Jawami’. Padahal menurut Muhammad Khudhari Bik, Jam’ul Jawami’ adalah karya kompilasi yang tidak memberikan manfaat bagi pembaca maupun pendengar, karena di dalamnya tidak dijelaskan proses pengambilan dalil sebagaimana ditetapkan kaidah. Jika demikian maka ushul fikih menurutnya adalah peninggalan masa lalu.[11]
            Perluasan dan perkembangan dalam kajian ushul fikih kurang dapat dirasakan oleh mayoritas para “pelajar” di Indonesia. Padahal kajian ushul fikih di Timur Tengah mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Sebagai misal, Wahbah al-Zuhaili, selalu melakukan edisi revisi terhadap karya ushul fikihnya.[12]

Maqashid Syariah: Independensi dan Sebuah Diskursus Keterputusan Epistemologi?
Wacana tentang independensi Maqashid Syariah pertama kali digulirkan oleh Thahir Ibn Asyur dalam karyanya “Maqashid Syariah”,[13] meskipun para sarjana-sarjana pra Ibn Asyur juga telah mengemukakan adanya urgensitas kajian ini. Sebagaimana al-Qarrafi dalam al-Furuqnya pernah mengemukakan “Dasar (kajian) syariat terbagi menjadi dua: Ushul Fikih dan Kaidah-kaidah fikih Universal”. Atau a-Syathibi yang pernah menyatakan akan media (alat) yang mengantarkan akan ushul qathi’.[14] Akan tetapi sarjana-sarjana sebelum Ibn Asyur tersebut belum ada satu pun yang mewacanakan independensi Maqashid Syariah dari Ushul Fikih.
             Bagi Ibn Asyur, Ushul Fikih harus ditinggalkan karena hanya akan mengakibatkan adanya perdebatan-perbedaan dalam masalah-masalah furu’ (fikih).[15]  Statement Ibnu Asyur ini pada akhirnya menimbukan pro-kontra para sarjana kajian Maqashid Syariah yang dapat terpetakan menjadi tiga golongan:
  1. Kelompok yang mengindenpensikan Maqashid Syariah sebagai disiplin ilmu yang terlepas total dari Ushul Fiqh.
  2. Kelompok yang menjadikan Maqashid Syariah sebagai kajian tengah di antara Fikih dan Ushul Fikih
  3. Kelompok yang menjadikan Maqashid Syariah sebagai hasil perkembangan dari kajian Ushul Fikih.[16]
            Sementara dalam gagasan keterputusan epistemologi pada awalnya ditujukan untuk menunjukkan adanya diskontinuitas.  Foucault pernah mengemukakan gagasan tentang keterputusan epistemologi dalam lingkaran epistemologi Paris.[17] Dan al-Jabiri juga pernah mewacanakan problem keterputusan epistemologi dalam dunia kajian keislaman antara Islam Barat (Maghrib) dan Timur (Masyriq).[18]
            Sebagaimana perdebatan tentang independesi Maqashid Syariah, gagasan mengenai keterputusan epistemologi diskursus Maqashid Syariah juga menarik perhatian para sarjana dan menimbulkan adanya perdebatan. Jika independensi Maqashid tertuju pada Ibnu Asyur dan karyanya “Maqashid Syariah al-Islamiyyah, maka dalam gagasan keterputusan epistemologi tertuju pada Syatibi dalam al-Muwafaqatnya.
            Pada dasarnya, al-Syathibi sendiri telah berpendapat bahwa karya monumentalnya itu merupakan perluasan atas model ushul fikih klasik yang hanya merujuk terhadap ulama-ulama salaf terbaik serta bertukar pikiran dengan mereka.[19] Namun, Abid al-Jabiri dalam Binyah al-Aql al-Arabi, menilai bahwa al-Syathibi telah memutus epistemologi ushul fikih klasik dari Bayani ke Burhani, dari Dzanni ke Qath’i.[20] Pemutusan epistemologi ini dilakukan secara metodologis dengan menjadikan al-Maqashid sebagai model ushul fikih al-Syathibi. Shalah al-Din al-Jursi juga sepakat dengan pemutusan epistemologi ini dengan menyatakan bahwa epistemologi ushul fikih klasik tidak jauh dari pembahasan dasar-dasar hukum Islam atas teks syariat dengan kaidah sebagai perantara-perantaranya. Dan cederung mengabaikan hikmah, tujuan, dan maksud syariat.”[21]
            Universalitas syariat dengan kulliyat istiqraiyyah yang digagas al-Syathibi juga sebenarnya bukan hal yang baru, akan tetapi sudah dikemukakan oleh al-Juwaini dan muridnya, al-Ghazali. Kebaruan yang dilakukan oleh al-Syathibi menurut Jamal barut adalah memasukkan universalitas atau dasar-dasar ini secara teoritis ke dalam ilmu maqashid.[22]
            Raysuni adalah salah satu dari sederet tokoh yang tidak sepakat adanya pemutusan epistemologi yang dilakukan oleh Syathibi. Menurutnya, ungkapan Syathibi yang dikutip oleh Jamal Barut di atas adalah murni pengakuan Syathibi yang bukan sekadar basa-basi. Pengakuan ini, menurut Raysuni, adalah bukti bahwa Syathibi tidak memenggal atau memutus epistemologi Ushul Fikih Klasik.[23]
            Wael b Hallaq bahkan lebih “ketus” lagi dalam mengeritik konsep yang ditawarkan oleh Syathibi. Menurutnya, secara teoritis Syathibi tidak mampu membebaskan dirinya dari cengkeraman hermeneutik literal yang begitu jelas mencerap pemikiran para fuqaha Muslim. Meskipun ia tidak meminjam rumusan teologis kaum Asy’ari, dan meskipun ia membela sebuah pemahaman induktif (istiqra’i), dan bukan literal, terhadap sumber-sumber ketuhanan, ia tetap sangat setia, sebagaimana tercantum dalam fatwa-fatwanya kepada doktrin-doktrin hukum positif madzhabnya.[24]
Penutup
Rekaman perdebatan tentang independensi Maqashid Syariah dan problem keterputusan epistemologi di atas menunjukkan adanya diskursus yang hangat dalam ranah Maqashid Syariah. Penulis sengaja  tidak memberikan catatan kritis atau tanggapan atas perdebatan-perdebatan di atas,  karena tulisan ini hanya dimaksudkan sebagai pengantar Short Course Maqashid Syariah yang akan berlangsung pada bulan Desember tahun ini. Harapan selanjutnya adalah kajian ini tidak hanya sekadar wacana yang didiskusikan dalam ruang-ruang diskusi, melainkan juga dapat diterapkan dalam ruang praksis.
               Sebagai penutup, kami mohon kepada rekan-rekan, senior-senior, guru-guru intelektual penulis untuk dapat memberikan saran dan kritik untuk program Short Course ini agar dapat berjalan dengan maksimal dan hasil yang didapatkan dapat membumi.
Wallahu A’lam bi al-Shawab


 *Makalah pengantar ini insyaAllah akan dibentangkan pada diskusi pembuka pra Short Course Maqashid Syariah, Kamis 8 Desember 2011 di Pusat Studi Pengembangan Pesantren, Ciputat Tangerang
**Mahasiswa tingkat akhir jurusan Tafsir Hadis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
[1]Abdurrahman Shalih Ba Bakr, Dirasat Tathbiqiyyah Hawla Falsafat al-maqashid al-Syari’ah (Al-Jazair: Silsilat Taqniyyat al-Thiba’ah, 2002) tt. h.9

[2]Thahir Ibn Asyur, Maqashid Syariah al-Islamiyyah (Jordan: Dar Nafais,2001)cet.II, h.166

[3]Abu Hamid al-Ghazali, al-Musthasfa min ‘Ilmi al-Ushul (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, tt) cet. II

[4]Dalam pandangan Syi’ah Itsna Asyariyah (syiah dua belas) bahwa Imam Syiah, Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin adalah pencetus ilmu ushul fikih yang sesungguhnya. Lihat : Abû Zahrah, Ushul Fikih. Perlu juga dikemukakan di sini bahwa salah satu sarjana kontemporer, Wael B Hallaq juga tidak sepakat dengan pelabean status pendiri ushul fikih bagi Syafi’i. Di antara data yang dikemukakannya adalah bahwa kitab al-Risalah tidak memuat semua kajian-kajian dasar dalam bidang Ushul Fikih, karena itu menurutnya, Ushul Fikih baru muncul pada abad ke 3 atau awal abad ke 4 Hijriah di tangan murid-murid Ibn Syuraij (w.306 H) seperti Ibrahim al-Marwazi (w.340 H), Abu Bakar al-Farisi (w.350 H), Ibn al-Qash (w.336 H), Abu Bakar al-Syairafi (w.330 H), dan Al-Qaffal al-Shahyi (w.336 H), baca Waell B Hallaq, A History of Islamic Legal Theories h.44-51

[5]Abu Zahrah, al-Syafi’I Hayatuhu wa Ashruhu Arauhu al-Fiqhiyyah (Dar Fikr al-Arabi: Maktabah al-Mukhaimar, 1948) cet. III, h.75

[6]Ibid

[7]Abid al-Jabiri, Takwin al-Aql al-Arabi, (Beirut: Dar Thaliah, 1984) cet.I, h.100

[8]Jamal Barut, al-Ijtihad al-Nash al-Waqi’ al-Mashlahat (Damaskus: Dâr Fikr, 2000) cet.1. h.80

[9]Ibid. Untuk lebih detail mengenai adanya dialektika epistemologis dan politik di dalam tradisi Islam baca, Abd Majid Shagir dalam bukunya “al-Fikr al-Ushuli wa Isykaliyat al-Shulthah al-Ilmiyyah fi al-Islam: Qiraat fi Nasy’ah ‘Ilm al-Ushul wa Maqashid al-Syariah”  (Beirut: Dar Muntakhab, 1994) cet.1, h. 7-39

[10]Ibid.

[11]Khudari Bik, Ushul Fiqh (Mesir: Maktaba Tijariyyah al-Kubra, 1992) cet.II, h.11

[12]Bandingkan antara cetakan pertama dengan cetakan yang ketiga, dalam cetakan pertama, wahbah zuhayli tidak mencantumkan kajian Maqashid Syariah sebagai bagian dari buku Ushul Fikihnya.

[13] Menurut Muhammad Thahir al-Maysawi (Editor buku Maqashid Syariahnya Ibnu Asyur), sebenarnya wacana independensi yang digulirkan oleh Ibn Asyur adalah bagian dari kelanjutan atas wacana yang digelindingkan oleh koleganya sepuluh tahun sebelum munculnya karya Ibn Asyur ini, Syeikh Muhammad al-Aziz, dalam majalah al-Zaytuniyah. Judul tulisannya adalah “Al-Maqashid al-Syar’iyyah wa Asrar al-Tasyri’. Lihat Muhammad Thahir al-Maysawi dalam kata pengantarnya di Ibnu Asyur, Maqashid Syari’ah al-Islamiyyah (Jordan: Dar Nafais,2001)cet.II, h.86-87

[14]Jamal al-Dîn Âthîyah, Nahwa Tafîl Maqâshid al-Syari’âh (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2003)cet.1, h.237

[15]Ibnu Asyur, Maqashid Syari’ah al-Islamiyyah (Jordan: Dar Nafais,2001)cet.II, h.166

[16]Jamal al-Dîn Âthîyah, Nahwa Tafîl Maqâshid al-Syari’âh (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2003)cet.1, h.237

[17]Michel Foucault, Cahiers Pour L’analyse (Arkeologi Pengetahuan: Tanggapan atas Lingkaran Epistemologi Pengetahua Paris) dalam Michel Foucault, Aeshteticd, Method, and Epistemology Essential Work of Foucaul ed. Paul Rabinow, terj: Arief (Jogjakarta: Jalasutra, 2002) cet.I, h.116-177

[18]Problem Keterputusan Epistemologi Jabiri ini bisa dibaca dalam karyanya “Naqd al-Aql al-Arabi: Takwin al-Aql al-Arabi dan Binyah al-Aql al-Arabi”

[19]Al-Syathibi, al-Muwafaqat (Kairo: Mathba’ah Salafiyah, 1341 H) vol.I, h.26

[20]Abid al-Jabiri, Binyah al-Aql al-Arabi (Beirut: 2009) cet.9 h.542-543. Perlu dikemukakan di sini bahwa pada dasarnya gagasan keterputusan epistemologi yang dilakukan oleh Jabiri dan Syathibi sebagai samplenya adalah dalam rangka mengukuhkan adanya problem keterputusan epistemologi nalar Islam Barat dan Islam Timur. Dan wacana ini mendapat reaksi yang cukup beragam dari para sarjana-sarjana lainnya, Sebagai misal George Tharabisyi melakukan kritik atas gagasan yang digulirkan oleh Jabiri dalam kritik atas kritik nalar Arabnya Jabiri.

[21]Pernyataan Shalah al-Din al-Jursi ini dikutip dari Jamal Barut, al-Ijtihad al-Nash al-Waqi’ al-Mashlahat, h. 87

[22]Ibid.

[23]Ahmad Raysuni, al-Ijtihad al-Nash al-Waqi’ al-Mashlahat (Damaskus: Dâr Fikr, 2000) cet.1. h.97

[24]Waell B Hallaq, A History of Islamic Legal Theories, pent: E. Kusnadiningrat dan Abdul Wahid (Jakarta: Rajawali Press, 2000) cet.1, h.308


.

PALING DIMINATI

Back To Top