Bismillahirrohmaanirrohiim

Syekh Dzun Nun : Ulama ‘Arifin, Filsuf dan Sastrawan



Dzun Nun (“Pemilik Ikan Nun”) termasuk Wali Allah generasi awal, sangat dihormati, kharismatik dan merupakan budayawan dan sastrawan mistik besar pada zamannya. Dzun Nun adalah sosok yang kurus, berkulit putih kemerahan dan tidak berjenggot.
Tidak banyak yang diketahui mengenai riwayat hidup sufi legendaris ini. Nama lengkapnya adalah Abul Faidl Tsawban ibn Ibrahim al-Misri, sufi yang “menyusuri jalan penderitaan dan celaan” (golongan malamatiyyah) yang berasal dari Mesir. Beliau lahir di Nubia, Mesir,sekitar tahun 165 H.  Selain terkenal sebagai sufi, dia juga penyebar hadits-hadits dari Imam Malik, karena belajar langsung kitab al-Muwaththa kepadanya. Menurut Hujwiri, Dzun Nun juga dekat dengan Imam Ahmad ibn Hanbal. Dzun Nun juga dikenal sebagai ahli filsafat dan kimia. Ciri kearifan falsafah Dzun Nun tercermin dalam ungkapannya: “Aku mengenal Allah dari Allah, dan aku mengetahui apa yang di samping Allah dari Rasulullah.” Dalam sebuah paparannya tentang kaum arif atau sufi sejati, Dzun Nun mengatakan:
Sang arif semakin rendah hati (tawadhu) setiap saat, dan setiap saat dia semakin dekat kepada Tuhannya. Kaum Arifin melihat tanpa pengetahuan, tanpa penglihatan, tanpa penggambaran, tanpa halangan dan tanpa tirai. Mereka bukan diri mereka sendiri, tetapi sepanjang keberadaannya mereka itu berada di dalam Tuhan. Gerak-gerik mereka disebabkan oleh Allah dan kata-kata mereka adalah kata-kata Tuhan yang diucapkan melalui lidah-lidah mereka, dan penglihatan mereka adalah penglihatan Tuhan, yang telah memasuki mata mereka. Demikianlah, Allah Yang Maha Tinggi berfirman: “Jika Aku mencintai hamba-Ku, maka Akulah telinganya yang dengannya dia mendengar, Akulah mata-Nya yang dengannya dia melihat dan Akulah lidahnya yang dengannya dia berbicara, dan Akulah tangannya yang dengannya dia memegang.”
Dzun Nun juga menyatakan bahwa beliau menempuh perjalanan 3 kali dan mendapatkan 3 macam ilmu. Pada perjalanan pertama beliau mendapatkan ilmu yang bisa diterima oleh orang awam dan orang khusus; pada perjalanan kedua beliau menerima ilmu yang hanya bisa diterima oleh kalangan khusus; dan yang ketiga beliau mendapatkan ilmu yang tidak bisa diterima oleh kalangan awam maupun khusus. Yang pertama adalah ilmu syariat; yang kedua adalah ilmu tarekat dan mahabbah dan yang terakhir adalah hakikat-ma’rifat.
Ajaran dan karamah
Dzun Nun banyak membahas Asma Agung Allah (al-asma al-husna) dan menekankan keagungan dan kekuasaan Tuhan yang tak terhingga. Menurut Dzun Nun, Tuhan, Kesempurnaan Abadi (jamal) yang tak bisa diraih oleh manusia, mengungkapkan diri-Nya kepada manusia melalui keindahan, kebaikan dan pengampunan, dan di sisi lain melalui keagungan, kemarahan, kekuasaan dan pembalasan-Nya. Beliau juga percaya bahwa penderitaan sangat diperlukan bagi perkembangan rohani manusia sebab penderitaan adalah laksana “garam bagi orang mukmin, dan jika garam berkurang, maka orang beriman itu akan membusuk.” Pencinta yang setia akan menikmati siksaan dari kekasihnya. Dzun-Nun pernah dipenjara pada masa kekhalifahan Mutawakil karena menentang ajaran Mutazilah. Namun ketika beliau dipertemukan dengan khalifah, beliau memberi nasihat kepadanya, dan Khalifah Muwakkil pun menangis. Dzun-Nun dikenal sebagai sufi yang penuh imajinasi dan banyak menghasilkan karya-karya sajak mistik yang indah. Beliau juga mengajarkan tentang Cinta Ilahi. Dalam suatu riwayat dikisahkan beliau bertemu dengan seorang perempuan di tengah gurun pasir yang mengungkapkan rahasia Jalan Tasawuf.  Dzun Nun bertanya kepadanya, “Apa gerangan akhir dari Cinta?” Perempuan itu menjawab, “Cinta tak mengenal akhir, sebab Kekasih tiada kenal akhir.”
Selain terkenal dengan pandangan “filosofisnya” yang mendalam, Dzun Nun juga terkenal dengan bakat puitisnya. Banyak doa-doa Dzun Nun disusun dengan bahasa puitis yang indah, seperti misalnya:
Ya Allah, aku tak pernah mendengar suara binatang atau gemerisik angin, kecupak air atau nyanyian burung, siulan angin atau gemuruh petir, kecuali pada mereka itu aku mendapatkan kesaksian Keesaan-Mu, dan bukti bahwa Engkau tiada banding, bahwa Kau Maha Kuasa, Maha Tahu dan Maha Benar.
Ajaran Dzun Nun telah mengilhami banyak Sufi. Bahkan makna nama Dzun Nun sendiri sering menjadi perhatian para sufi generasi kemudian. Nun (huruf yang menjadi pembuka surat al-Qalam: Nun wa al-qalam) juga berarti “ikan.” Dzun Nun adalah orang yang, seperti Nabi Yunus as,  “ditelan ikan,” atau masuk ke dalam kefanaan, dan setelah melewati pengalaman di dalam ikan itu dia merasakan bagai huruf nun: “Kemudian aku menjadi lengkung laksana hurufnun, hingga aku menjelma Dzun Nun sejati” demikian kata sufi-penyair Maulana Rumi dalah salah satu Diwannya. Dzun Nun wafat pada 245 H. dalam salah satu riwayat sebagaimana dituturkan al-Hujwiri, di malam kematiannya ada 70 orang bermimpi bertemu Rasulullah. Rasul berkata, “Aku datang menemui wali Allah, Dzun Nun.” Dan sesudah kematiannya, di keningnya tertera kata-kata: Ini adalah kekasih Allah, yang mati dalam mencintai Allah, dibunuh oleh Allah. Setiap kali orang menghapus tulisan tersebut, tulisan itu selalu muncul lagi. Dalam riwayat lain dikatakan bahwa saat jenazahnya diusung, muncul sekawanan burung berwarna hijau memayungi iringan jenazah Dzun Nun. Setelah melihat kejadian-kejadian aneh ini, orang-orang Mesir menyesali sikap mereka yang zalim terhadap Dzun Nun.
Dzun Nun mempunyai banyak pengikut yang kelak terkenal sebagai sufi besar. Ada dua muridnya yang sangat terkenal. Pertama adalah Yusuf ibn al-Husain (w. 304/916) dari Rayy, Persia, seorang sufi yang terkenal dengan keikhlasannya dan sering mengungkapkan pengalaman-pengalaman mistisnya – konon dia berkhotbah selama 50 tahun baik ada pendengarnya maupun tidak. Dan yang kedua adalah Syekh SAHL AL-TUSTARI, salah satu guru Syekh Mansur al-Hallaj.
Syekh Dzun Nun dikenal dengan berbagai karamah, dan bahkan kemampuannya spiritualnya telah melegenda. Beliau bisa berjalan di atas air, memiliki firasat yang amat tajam, menguasai benda, jin dan manusia. Dikisahkan, suatu hari Abu Ja’far berada bersama Syekh Dzun Nun. Mereka membahas tentang ketundukan benda kepada Wali Allah. Dzun Nun kemudian memerintahkan sebuah ranjang tidur yang ada di situ untuk berjalan mengitari ruangan dan kembali ke tempat asalnya – maka ranjang itu tiba-tiba berjalan berkeliling ruangan dan kembali ke posisi semula. Imam Abdul Wahab al-Sya’rani mengisahkan suatu hari Syekh Dzun Nun berjumpa dengan perempuan yang sedang bersedih sekali karena anaknya yang masih bayi dimakan buaya. Syekh Dzun Nun kemudian pergi ke tepi Sungai Nil dan berdoa, “Ya Allah … keluarkanlah buaya itu.” Lalu buaya itu muncul dan Syekh Dzun Nun membedah perutnya, mengeluarkan bayi dalam keadaan hidup dan sehat.
Karena kemampuannya itu, sebagian orang menuduhnya mempraktikkan sihir. Tetapi sesungguhnya beliau sendiri menentang sihir. Dalam kisah berikut ini, beliau jelas menunjukkan dirinya sebagai seorang Muslim yang beriman ketimbang sebagai seorang yang suka mempraktikkan sihir. Seorang ahli sihir pernah menantang Dzun Nun agar beliau menunjukkan Asma Allah yang paling agung (Ism al-Adzam). Dzun Nun membalas, “Tunjukkan kepada Asma-Nya yang paling rendah!” lalu beliau memarahi ahli sihir itu, yang tidak berdaya di depannya.


.

PALING DIMINATI

Back To Top