Bismillahirrohmaanirrohiim

CUCI OTAK ATAU SEKEDAR BUJUKAN ?

Oleh: Jum’an Basalim

Menurut Robert Jay Lifton psikolog yang mengevaluasi para tentara Amerika bekas tawanan perang Korea, ada tiga langkah utama dalam upaya brainwashing atau cuci-otak. Yaitu meruntuhkan kepercayaan diri korban, memperkenalkan kemungkinan penyelamatan dan membangun kepercayaan baru versi Korea. Semua dilakukan dalam suasana isolasi dibarengi dengan teknik mengaburkan pikiran seperti suasana kurang tidur dan gizi buruk, terus menerus diancam atau disakiti sehingga makin sulit untuk berpikir kritis. Untuk merusak kepercayaan diri korban, brainwasher membantah dan menyalahkan setiap pernyataan sikap dan identitas yang diucapkan oleh korban. Kamu bukan prajurit, kamu bukan membela kemerdekaan dan sebagainya. Itu dilakukan berhari-hari bahkan berminggu dan berbulan-bulan sampai korban kelelahan, bingung dan mengalami disorientasai. Keyakinan korban mulai kendor. Sementara mengalami krisis identitas, sang pencuci menanamkan rasa bersalah yang serius kedalam diri korban. Tanpa henti dan belas kasihan menyerang setiap kesalahan besar ataupun kecil. Dari keyakinan yang sesat sampai cara makan yang terlalu lambat. Korban mulai merasa malu karena semua yang dilakukannya ternyata salah. Setelah bingung, malu dan tengelam dalam rasa bersalah, sang pencuci memaksa dengan ancaman supaya korban mengingkari dan mengutuk keluarga dan rekan-rekannya yang sama-sama memegang kepercayaan yang salah. Pengkhianatan terhadap diri, keluarga dan rekan-rekan yang loyal ini makin menambah rasa malu serta kehilangan identitas.

Dengan krisis jati diri, mengalami rasa malu yang mendalam dan mengkhianati loyalitas keluarga, korban akan mengalami mental breakdown. Tidak jarang mereka menangis tak terkendali, mengalami depresi berat dan kehilangan arah. Mereka kehilangan cengkeraman pada realitas dan merasa benar-benar tersesat dan sendirian. Pada saat kehancuran ini, diri korban siap dirampas, dia tidak memahami dengan jelas siapa dia sebenarnya dan apa yang terjadi padanya. Disinilah sang pencuci menyiapkan tawaran untuk berpindah kesistim kepercayaan yang akan menyelamatkan korban dari penderitaan. Lifton mencatat 10 langkah sistimatis dalam proses cuci-otak. Menurut Mark Shepard seorang pakar psikoterapi, proses pencucian otak (yang berasal dari sumber militer Amerika) ditandai oleh lima perlakuan sekaligus. Yaitu korban diisolir tanpa hubungan dengan dunia luar, dipaksa kurang tidur, disakiti atau diberi imbalan kalau menolak atau menurut dan dipengaruhi otaknya secara kimia dengan narkoba atau diet yang buruk. Bila kelima perlakuan itu secara bersama dilakukan dalam waktu yang cukup, maka sang pencuci akan dengan mudah merubah kepercayaan korban.

Itu menandakan bahwa otak yang sehat memang tidak mudah untuk dicuci. Jadi kalau hanya dengan mendengarkan argumentasi atau khotbah seseorang tanpa perlakuan yang menakutkan seperti diatas lalu kita menuruti semua permintaan orang itu, jelas itu bukan cuci otak. Itu bujukan atau mungkin hipnotis seperti yang sering kita tonton di TV. Entah penghayatan kita dalam beragama yang kurang mantap atau ketimuran kita yang telah membuat kita mudah terpesona dan terkesima. Terutama bila kita menyimak  argumentasi agama dari tokoh yang berpenampilan meyakinkan. Kita merasa tidak ada hak sama sekali untuk berfikir dan mencerna. Padahal otak kita adalah karya agung sang Pencipta yang tak ternilai kemampuannya. Bila kita terbiasa menggunakannya dengan baik, maka apa yang disebut “cuci otak” ala NII akhir-akhir ini tidak akan berhasil. Mari kita pasang otak untuk mengkritisi setiap bujukan dan rayuan. Kita gunakan akal sehat kita. I am the master of my fate. I am the captain of my soul. Akulah penguasa nasibku. Akulah nakhoda sanubariku. Jangan berani-berani mencoba untuk mencuci otakku. Selebihnya, laa haula walaa quwwata illa billaah……


.

PALING DIMINATI

Back To Top