Masyarakat Indonesia yang mayoritas penduduknya “mengaku” muslim, sering  melupakan bahwa pemahaman dalam ajaran islam itu beragam. Namun  keberagaman tersebut bukannya tanpa dalil. Semua pendapat yang keluar  dari para ulama berdasar pada referensi kitab-kitab yang valid.
Pemahaman  erat kaitannya dengan bagaimana cara sang muslim mengambil pengetahuan.  Rata-rata mereka hanya mendengar dari satu person (da’i) saja.  Terkadang sang da’i hanya menyampaikan pemahaman yang sesuai dengan  dirinya tanpa mengatakan adanya pemahaman lain.
Keengganan  masyarakat untuk menelaa’ah dan kegemaran mereka dengan hanya mendengar  membentuk pola pikir pengkultuskan pendapat sang guru dan menjadikannya  jargon mutlak dalam kehidupan sehari-hari.
Factor lain  adalah budaya. Budaya atau ruang lingkup seperti kecamatan, desa bahkan  keluarga dimana masyarakat itu hidup juga mempengaruhi pola pikir. Jika  dalam lingkungan tersebut tidak ada perbedaan, maka masyarakat akan adem  ayem, merasa banyak teman sealiran, oleh karenanya mereka merasa tidak  perlu untuk kemudian mencari pengetahuan lain. La wong di masjid semuanya begitu kok.
Lain  hal nya jika kita pernah hidup dalam waktu yang lama di daerah atau pun  negara lain. Dimana terdapat perbedaan yang banyak. Seperti apa yang  saya alami, berawal dari keinginan mecari pembenaran diri, berbuah  sebuah TOLERANSI.
Ketika di Indonesia, misalnya pemahaman  yang saya miliki tentang wudhu. Wudhu akan batal jika kita bersentuhan  dengan wanita. Hal tersebut mengharuskan kita untuk wudhu lagi jika  ingin sholat ataupun memegang kitab suci. Dalam pikiran beberapa orang  pun, hanya pendapat ini yang paling benar. Yang lain salah, sholatnya tidak sah dll.
Mengulang  wudhu bukanlah suatu yang memberatkan, bahkan sebaliknya, menyenangkan.  Karena dengan wudhu sekaligus kita bisa mendinginkan tubuh.
Pemahaman ini menjadi jargon saya sewaktu masih di Indonesia, bahkan ketika di Mesir. Karena saya hidup dikalangan As-syafi’i. dan saya pun tidak berpikiran untuk menela’ah pendapat ulama’ lain. Sampai akhirnya saya terbang ke Russia.
Mayoritas  muslim negara asia tengah dan Russia bermadzhab hanafi. Dalam madhzab  ini, bersentuhan dengan wanita yang bukan muhrim tidak membatalkan  wudhu, kecuali jika disertai dengan nafsu. Pendapat ini juga menjadi pendapat imam syafi’i ketika di Irak sampai akhirnya beliau mengubahnya setelah pindah ke Mesir.
Di  awal-awal kedatangan ke Russia, saya masih memegang prinsip lama saya.  Hal ini sangat memberatkan. Apalagi jika bertemu ibu-ibu di masjid.  Serasa bertemu artis mereka antri ingin salaman dengan saya (yang ini lebay, intinya hanya salaman tidak pakai antri). Dan tentunya saya tidak mungkin menolak untuk disalami. Atau bilang haram dll.
Bayangkan,  Ketika suhu minus 25 kebawah, pergi ke kamar mandi dan membuka kaos  kaki adalah hal yang ingin saya hindari. Berwudhu dengan air dingin  tidak lah mungkin. Kadang ketika ingin mengkombinasikan dengan air  panas, justru airnya kepanasan. Akhirnya kulit pun terbakar. Dan juga,  seringnya mengkonsumsi air hangat bisa membuat kulit kering.
Pengalaman  hidup ini membuat saya kembali membuka beberapa referensi kitab  diantaranya بلوغ المرام dan الفقه على المذاهب الاربعة – عبد الرحمن  الجزيري . Disana saya temukan perbedaan pendapat para imam madzhab  tentang wudhu. Dan satu pertanyaan saya ketika ingin meyangkal pendapat  mereka “lo siapa saya kok mau menyangkal mereka ?” Saya pun memakai  madzhab imam Hanafi tentang masalah wudhu. Dan poin terpenting,  TOLERANSI bagi yang berpendapat lain.
Perbedaan akan  selalu ada, selama itu berdalil dan beralasan tidak lah perlu  meributkannya. Dan hal yang terpenting, budaya tidak bisa dilepaskan  dalam pembentukan pola pikir dan paradigma.
Asalkan Rukun islam dan iman masih sama, kita serahkan perbedaan itu kepada-Nya.
Ayo membaca !!!
Salam
Najib
Yekaterinburg, sverdlovsk oblast, Russia.
و الله أعلم بالصواب