Bismillahirrohmaanirrohiim

Dialog Inter-Religious: Upaya Membumikan Toleransi dan Membangun Kerukunan antar Umat Beragama

Dialog inter-religious memiliki sejarah panjang sepanjang umur agama-agama itu sendiri. Dalam konteks Abrahamic religions, pemeluk Yahudi, Kristen dan Islam telah terlibat dalam dialog antar agama sejak era klasik. QS. Al-Baqarah: 113 telah memberikan informasi kepada kita betapa sengitnya perdebatan antara kaum Yahudi dan Nashrani dalam memperebutkan kebenaran dan otoritas Perjanjian Lama dan Baru. Masing-masing pemeluk agama Yahudi dan Nashrani mengklaim kebenaran sepihak. Kaum muslimin juga terlibat dalam perdebatan dengan pemeluk Yahudi dan Kristiani. Hal ini terrekam dalam QS. Al-Ankabut: 46 dimana kaum muslimin diperintah untuk berdialog dengan cara sebaik-baiknya sesuai dengan etika dialog (billati hiya ahsan).

Banyak sekali karya-karya yang telah ditulis dalam bidang dialog inter-religious. Herbert Bush, misalnya, adalah Islamolog Jerman yang telah menulis Die Theologischen Beziehungen des Islam Zu Judentum und Christentum. Karya ini telah diterjemahkan ke bahasa Arab dengan judul Usus al-Hiwâr fi al-Quran al-Karîm: Dirâsah fi ‘Alâqah al-Islâm bi al-Yahûdiyah wa al-Masihiyah (Dasar-dasar Dialog dalam al-Quran: Kajian Hubungan Islam dengan Yahudi dan Nashrani). Buku ini memotret sejarah dialog antar Abrahamic religions yang diabadikan dalam teks-teks kanonik al-Quran. Dari kalangan sarjana Islam, Ibn Taymiyah menulis al-Jawab al-Shahih li man Baddala Din al-Masih (Jawaban Otentik bagi Orang yang Mereduksi Agama Isa al-Masih), Syahrastani menulis Milal wa Nihal (Agama-agama dan Sekte-sekte), dan puluhan karya-karya yang lain.

Sayangnya, dialog inter-religious yang selama ini terselenggara lebih diwarnai oleh nuansa teologis sehingga terkesan sensitif dan kontra-produktif. Dikatakan sensitif, sebab secara langsung menyangkut doktrin keimanan yang diyakini oleh para pemeluk agama-agama. Dan kontra-produktif sebab sering berujung pada klaim penyesatan pemeluk agama lain yang konsekuensinya justru menimbulkan pertikaian dan kesenjangan di tengah masyarakat. Sepanjang sejarahnya, dialog inter-religious yang selama ini dijembatani lebih bersifat apologis; masing-masing pihak berupaya membela keyakinannya sendiri sembari menyerang keyakinan pihak lain. Dialog dengan model seperti ini tidak akan pernah berujung dan seyogyanya dihindari.

Dr. Mas’ud Ahmad al-Mushtafa, dosen Syariat wa al-Qanun Universitas al-Azhar, mengatakan bahwa masalah-masalah akidah bukanlah objek ideal dialog inter-religious karena justru akan memicu permusuhan dan menguatkan fanatisme. Pendapat tersebut berdasarkan pada sikap Rasulullah SAW yang konon menghindari perdebatan teologis di antara para sahabat tentang masalah predestinasi dan free will (al-jabr wa huriyah al-ikhtiyar). Rasulullah bersabda, “Aku tidak diutus dan diperintah untuk masalah-masalah seperti itu”. Hal ini senada dengan pandangan Emmanuel Kant, dalam karyanya yang berjudul Critique of Pure Reason, yang menegaskan bahwa “ketika akal memperdebatkan masalah-masalah teologis dan metafisik maka tidak akan pernah menemukan solusinya”.

Untuk membangun dialog inter-religious yang lebih produktif dan harmonis, kita mengemban tugas untuk mentransformasikan model dialog dari yang bersifat “teologis-apologis” menuju dialog yang bernuansa “sosialis-humanis”. Dalam model dialog ini, kita tidak lagi mempersoalkan urusan-urusan keyakinan, melainkan menekankan pada isu-isu kemanusiaan. Perdebatan dengan non muslim seputar akidah seyogyanya dijauhi sebab al-Quran telah memberikan kebebasan beragama melalui ayat “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku” (QS. Al-Kafirun: 6) dan “Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir” (QS. Al-Kahfi: 29). Di sisi lain, persoalan sosial dan kemanusiaan harus lebih diutamakan untuk dibahas karena Rasulullah SAW pernah menegaskan “Tafakkaru fi khalqillah wa la tafakkaru fi dzatillah”; pikirkanlah ciptaan-ciptaan Allah dan jangan pikirkan Dzat Allah.

Dialog inter-religious bagi kalangan Islam hendaknya tidak bertujuan memaksa pemeluk agama lain untuk mengimani Islam, sebab al-Quran telah menjunjung tinggi kebebasan beragama dalam ayat la ikraha fi din; tidak ada paksaan dalam beragama. Senada dengan pandangan ini, Raimundo Panikkar, tokoh dialog inter-religious dan perbandingan agama yang sangat terkenal, menyatakan “Tujuan dialog inter-religious adalah komunikasi dan saling memahami, bukan menyamakan keyakinan, memaksa orang lain berpindah agama (conversion) dan menciptakan agama universal baru”. Dialog inter-religious seyogyanya dicanangkan untuk membangun misi dan visi sosialis dalam rangka mengatasi kemiskinan, memberantas kebodohan dan melerai konflik antar agama, sebab kemiskinan, kebodohan dan peperangan pada dasarnya adalah musuh semua agama. Dialog inter-religious sebaiknya diarahkan pada tujuan mengangkat nilai-nilai humanisme yang sejatinya merupakan spirit semua agama.

Kebutuhan terhadap model dialog seperti ini merupakan keniscayaan guna mengatasi benturan antar peradaban (clash of civilizations), kesenjangan Islam-Barat yang semakin menganga pasca serangan 11 September, dan meningkatnya kebencian kaum muslimin terhadap non muslim pasca isu pelecehan kartun Nabi. Dalam hal ini, kita dapat mengembangkan cara-cara dialog yang ditempuh oleh Fethullah Gulen, seorang ulama dari Turki, yang membangun dialog inter-religious dengan pendekatan sufisktik-humanistik. Sufisme Islam (tasawuf) dinilai oleh Gulen sebagai disiplin keilmuan Islam yang paling ramah dalam dialog inter-religious. Gulen terpengaruh oleh sufi-sufi Islam yang mengajarkan cinta Ilahi, terutama Jalaluddin al-Rumi.

Menurut Gulen, cinta Ilahi dapat memanifestasikan spirit humanistik dalam bentuk cinta antar sesama dan penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Dengan pendekatan cinta sufistik, Gulen berupaya mengharmonisasikan para pemeluk agama dan mengkritik terorisme yang mengatasnamakan agama. Dialog inter-religious harus terus dibangun untuk mewujudkan perdamaian dan keharmonisan umat manusia. Pandangan Gulen ini senafas dengan pernyataan Hans Kung, “There will be no peace among the nations without peace among the religions. There will be no peace among the religions without dialogue among the religions”.

(Catatan ringan untuk "Wazan" Jurnal Pondok Pesantren Assalafiyah Yogyakarta)


.

PALING DIMINATI

Back To Top