Bismillahirrohmaanirrohiim

IDUL ADHA TAUHID DAN PENGORBANAN

”Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu Dialah yang terputus (dari rahmat
Allah)”. Q.S. al-Kautsar/108: 1-3.
Bencana bertubi-tubi mendera bangsa kita pada bulan-bulan terakhir. Banjir bandang Wasior, gempa dan sunami Mentawai, dan letupan Gunung Merapi Yogyakarta. Banyak korban berjatuhan. Ribuan korban jiwa, luka-luka,
cedera, kehilangan rumah dan mata pencaharian. Mereka yang masih hidup, tinggal di tempat-tempat pengungsian dalam kondisi yang mengenaskan. Mereka hidup berhimpit-himpitan, kekurangan makanan, dan mulai
muncul berbagai penyakit.
Bencana demi bencana menerpa bangsa kita, silih berganti tiada henti. Ujian ini sangat berat, karena di saat bangsa Indonesia sedang membangun, gerakan kebangkitan mulai terasa, kemajuan ekonomi mulai kuncup,
kesadaran beragama semakin baik, ternyata Allah menguji kita dengan ujian berat.
Kita diajak untuk melakukan muhasabah, melihat ke dalam diri kita, adakah tindakan kita yang tidak benar. Adakah kita telah menyia-nyiakan nikmat Allah yang telah diberikan. Adakah kita tidak pandai bersyukur. Adakah kita
hanya pandai menggunakan tapi tidak pandai merawat dan memelihara. Adakah kita hanya pandai menerima tapi tidak pandai memberi. Momen Idul Adha yang jatuh pada saat bangsa kita dirundung duka, adalah saat yang
tepat untuk melakukan reinstrospeksi, sejauh mana kita sudah bermanfaat bagi orang lain. ”Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa
Allah amat keras siksa-Nya”. (Q.S. al-Anfâl/8: 25).
Setiap tahun Idul Adha dirayakan. Sebagian kaum muslimin merayakannya dalam rangkaian ibadah haji di tanah suci Makkah, dan sebagian yang lain, merayakannya di negeri ini, dengan rangkaian ritual shalat sunnah dua
rakaat di tanah lapang atau masjid. Mereka berduyun-duyun menunaikan ibadah haji hingga kuota yang diberikan pemerintah Saudi Arabia kepada Indonesia habis bahkan kurang. Mereka siap membayar ongkos naik haji
berapa saja asal dapat menunaikannya. Yang berada di Tanah Air berduyun-duyun memadati tanah lapang dan masjid melakukan shalat dan mendengarkan khutbah dengan khusyu ’. Setelah shalat, mereka menyembelih
binatang ternak, kambing, sapi, atau kerbau. Prosesi ritual itu dilakukan dalam rangka mengenang kembali nilai pengorbanan Nabi Ibrahim A.S., dalam memperjuangkan kalimah tauhid dan menegakkan agama yang benar
(al-dîn al-hanîf). Gema takbir, tasbih, tahmid, dan tahlil dikumandangkan dimana-mana. (Allâhu Akbar, Allâhu Akbar, Allâhu Akbar. Lâ ilâha illallâh, Allâhu Akbar. Allâhu Akbar wa lillâhilhamd).
Ritual Idul Adha tidak dilakukan semata-mata sebagai sebuah rutinitas yang kosong tanpa nilai. Praktik ibadah haji, shalat Idul Adha, dan menyembelih binatang ternak, tidak hanya dilaksanakan sesuai dengan syarat dan
rukun. Hal itu karena dalam Islam, ritual dimaksudkan sebagai riyâdhah (latihan) yang akan menghasilkan pengaruh bagi kehidupan pribadi, keluarga, dan masyarakat. Idul Adha tidak hanya dirayakan dan diperingati, tapi
diharapkan agar kita dapat memetik makna yang lebih dalam, guna memperkokoh aktifitas keberagamaan kita.
Setidaknya ada dua dimensi yang dapat dimaknai dalam ritual Idul Adha, yaitu dimensi spiritual dan dimensi sosial. Pada dimensi spiritual, Idul Adha berfungsi memperkokoh tauhid, mempertebal iman, dan meningkatkan
taqwa kepada Allah Swt. Pada dimensi sosial, Idul Adha berfungsi meningkatkan solidaritas, mentradisikan diri untuk berbagi, dan memupuk rasa saling tolong menolong.
Namun sayangnya, dalam kenyataan sosial, kita sering menjumpai umat Islam rajin menjalankan ibadah, tapi kejahatan dan kemaksiatan juga dilakukan. Sering terjadi paradoks yang begitu dalam antara ajaran ideal-normatif
Islam dengan kenyataan kehidupan sosio-historis kaum muslim. Indonesia diakui sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, dengan ketaatan melakukan ritual yang tinggi. Tapi, ironisnya, Indonesia
juga diakui sebagai salah satu negara paling korup di dunia. Indonesia dikenal sebagai negara dengan kasus-kasus perusakan lingkungan sangat memperhatinkan, pelanggaran hukum dan HAM yang sangat berat, mafia
peradilan meningkat, dan makelar kasus (markus) hukum semakin marak.
Tauhid dan Taqarrub.
Kalimat takbir, tasbih, tahmid, dan tahlil yang dikumandangkan berulang-ulang, akan mempertebal iman kepada Allah Swt. Mengagungkan Allah dengan takbir meneguhkan diri bahwa tiada sesuatu yang dapat mengungguli
Allah. Tidak ada yang patut disembah melainkan Allah. Semua adalah makhluk-Nya yang tidak layak untuk dipuja. Semua problem akan mampu dihadapi karena kebesaran Allah. Dalam tasbih, tahmid, dan tahlil keimanan dan
ketundukan kepada Allah ditingkatkan, dibuktikan, dan diwujudkan. Dialah Allah, Pencipta sekalian alam, Tuhan Yang Mahaesa. ”Iyyâka na’budu wa iyyâka nastaîn” (hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu
kami meminta tolong). Q.S. al-Fâtihah/1: 5.
Al-Islâm (ketundukan dan kepasrahan) diikuti dengan al-îmân (keimanan dalam hati), kemudian di atas pondasi iman itu dibangun bangunan al-shâlihât (keshalihan pribadi dan sosial), dilaksanakan dengan al-ikhlâsh (ketulusan
yang murni) dalam sebuah kesetiaan yang berujung pada al-mahabbah (rasa cinta) yang mendalam kepada Allah. Cinta kita kepada Allah membangkitkan kesadaran loyalitas kepada-Nya. Semakin besar rasa cinta kepada
Allah, semakin besar loyalitas, kesetiaan kepada-Nya.
Salah satu wujud loyalitas itu adalah kesediaan untuk berkurban. Ummat Islam dituntut mewujudkannya dalam berbagai bentuk pengurbanan dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi. Semakin tinggi pengurbanan
kepada Allah, semakin tinggi nilai loyalitas kepada-Nya. Sebaliknya, semakin rendah pengurbanan kepada-Nya, semakin rendah pula nilai loyalitas kepada-Nya. Pengurbanan merupakan salah satu tolok ukur kualitas iman dan
taqwa kepada Allah. Pengurbanan yang rendah, tidak berkualitas, dan dilakukan dengan setengah-setengah dan asal-asalan, menunjukkan rendahnya kualitas iman. Tapi pengurbanan yang tinggi, berkualitas, dan dilakukan
dengan sungguh-sungguh, menunjukkan tingginya kualitas keimanan seseorang. Allah berfirman: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu
cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”. Q.S. Ali Imran/3: 92.
Dengan demikian, berkurban harta benda, tenaga, pikiran, bahkan jiwa dimaksudkan untuk memperkokoh nilai iman. Sebagaimana makna qurbân itu sendiri adalah mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Allah,
bertaqarrub ila Allah (berdekat-dekatan kepada Allah). Teguhnya iman melahirkan banyaknya aktifitas amal shalih, termasuk berkurban. Dan banyaknya amal shalih itu sendiri akan semakin memperkokoh keimanan.
Berkorban Karena Kesetiaan.
Tidak ada cita-cita tanpa pengurbanan. Semakin besar pengurbanan semakin besar kemungkinan cita-cita itu dapat diraih. Begitu pula kiranya makna simbolik perintah Allah kepada Nabi Ibrahim a.s. untuk mengurbankan
putra tercintanya, Ismail. Pengurbanan yang tinggi kepada Allah, mengalahkan segala bentuk egoisme. Nabi Ibrahim berhasil meraih cita-cita meneguhkan kalimah tauhid, meneguhkan al-dîn al-hanîf (agama yang lurus), dan
mensejahterakan manusia lahir dan batin, sebagaimana tersebut dalam doanya: "Ya Tuhanku, Jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala ”.
(Q.S. Ibrâhîm/14: 35). Doanya pula: "Ya Tuhanku, Jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian”.
(Q.S. al-Baqarah/2: 126). Doa-doanya itu dikabulkan Allah karena tidak sekedar diucapkan melalui kata-kata, tapi didahului dengan besarnya pengurbanan yang dilakukan.
Hakekat kurban bukan pada benda yang diberikan, tapi pada keikhlasan dan kepasrahan. Allah tidak menerima materi kurban yang kita persembahkan. Nilai kurban bukan pada besar kecil barang yang dikurbankan, bukan
pada materi kurban, tapi pada tingkat taqwa yang dimiliki oleh orang yang berkurban. Firman Allah: “Daging-daging (binatang korban) dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketaqwaan dari
kamulah yang dapat mencapainya”. (Q.S. al-Hajj/22: 37). Pengorbanan yang besar sekalipun akan menjadi sia-sia, tidak berguna dan tidak diterima apabila tujuannya bukan karena cinta dan kesetiaan kepada Allah, tapi hanya
ingin mendapatkan keuntungan-keuntungan duniawi seperti, sanjungan dan pujian dari orang lain.
Dalam simbolik kurban, Allah mengajari bagaimana seharusnya proses kurban itu dilakukan. Pertama. memilih binatang sembelihan yang terbaik, unta yang sehat dan gemuk misalnya, meskipun sapi, kambing juga
dibolehkan. Kedua, memulai menyembelih dengan memperbanyak menyebut nama Allah agar keikhlasan tertanam ke dalam jiwa. Kemudian mengasah pisau untuk menyembelih agar tidak menyakiti binatang yang
disembelih. Hadits Rasulullah Saw.: ”Jika kamu hendak menyembelih, maka perbaikilah cara menyembelihmu”. Ketiga, daging yang disembelih itu dibagi-bagi tidak dimakan sendiri. Allah berfirman: ”dan telah Kami jadikan
untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi'ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, Maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam Keadaan berdiri (dan telah terikat). kemudian
apabila telah roboh (mati), Maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan
untua-unta itu kepada kamu, Mudah-mudahan kamu bersyukur. Q.S. al-Hajj/22: 36
Bila kurban itu dalam syariatnya dilambangkan dalam bentuk menyembelih binatang ternak, seperti: kambing, sapi, kerbau, atau unta, maka kurban itu seharusnya dikembangkan dalam pengertian yang lebih luas. Kurban
tidak hanya dengan menyembelih binatang ternak dan tidak hanya dilakukan pada waktu Idul Adha saja. Ummat Islam dituntut untuk melatih diri agar mengorbankan apa saja yang dimiliki, dalam rangka cinta dan kesetiaan
kepada Allah, guna membangun kepentingan agama, meningkatkan solidaritas ummat, memperbaiki kehidupan sosial kemasyarakatan, dan menciptakan kesejahteraan seluruh manusia.
Buah Dari Pengorbanan Itu.
Salah satu pengurbanan tertinggi yang dilakukan Rasaulullah SAW. adalah berhijrah ke Yasrib (sebuah kampung yang kemudian diberi nama Madinah), suatu daerah asing tanpa sanak kerabat. Beliau dengan para shahabat
menempuh perjalanan kurang lebih 450 km dengan berjalan kaki di atas padang tandus. Beliau meninggalkan tanah airnya, Makkah, meninggalkan harta benda yang dimiliki. Hasil dari pengurbanan itu adalah bangkitnya al-
madînah al-Fâdhilah (kota utama) bernama al-Madinah al-Munawwarah. Kota ini menjadi pusat al-madaniyyah al-Islâmiyyah (peradaban Islam) yang akhirnya Islam berkembang luas ke seluruh dunia, termasuk ke negeri kita.
Andaikata Rasulullah SAW tidak mau berkorban dan hanya tinggal diam di Makkah berada di bawah cengkeraman dan teror para bangsawan dan penguasa Quraisy Makkah, pasti sejarah Islam akan berbicara lain.
Begitu pula pengurbanan yang dilakukan para shahabat Nabi berdampak pada perkembangan kemajuan Islam yang tiada tanding dalam sejarah dunia. Usman bin Affan, seorang konglomerat Quraisy yang akhirnya menjadi
khalifah ketiga, mengorbankan tiga perempat dari hartanya untuk biaya perang melawan kaum musyrikin. Umar bin al-Khattab mengorbankan setengah dari harta yang dimiliki, dan Abu Bakar al-Shiddiq mengorbankan
seluruh harta kekayaannya untuk kepentingan perjuangan Islam. Dalam waktu kurang dari 30 tahun, khilafah Islam di bawah kekuasaan para Khulafa ’ Rasyidin, telah menembus batas-batas jazirah Arab. Pengaruhnya telah
sampai ke daratan Afrika, Asia Tengah dan bahkan sampai ke Cina.
Para ulama terdahulu juga berkorban dengan sekuat tenaga demi tegaknya agama ini. Imam Malik harus menjual separuh rumah yang dimiliki untuk biaya menuntut ilmu. Imam al-Bukhari mengorbankan hampir seluruh
tenaga dan waktunya untuk mengumpulkan hadits Nabi dan membuktikan kesahihan dan kebenarannya. Imam asy-Syafi ’i mengurbankan seluruh hidupnya untuk mengabdi kepada Islam, menuntut ilmu, mengajar, dan
menulis kitab.
Demikian pula halnya pengorbanan yang dilakukan oleh para ulama, kyai, tokoh-tokoh, dan para founding fathers negeri ini. Mereka mendermakan segala yang dimiliki untuk kepentingan agama dan bangsa. Pada zaman
penjajahan dulu, mereka berjuang sekuat tenaga mengorbankan segala yang dimiliki. Mereka rela seluruh hartanya dirampas dan diri mereka dijebloskan ke dalam penjara. Bahkan tidak cukup sampai di situ, mereka
terkadang disiksa, didera, hingga meninggal dunia. Namun mereka tidak bergeming dan tidak menyerah, asalkan agama Islam tetap kokoh dan berkembang di negeri ini. Mereka mempunyai prinsip hidup yang kuat. Lebih
baik mati berkalang tanah dari pada hidup tanpa harga diri. Seperti halnya semboyan yang dikatakan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib: “Isy kiriman aw mut syahidan”(Hiduplah secara terhormat, atau mati syahid).
Setelah kemerdekaan, pengorbanan itu diwujudkan dalam berbagai kegiatan dan gerakan mengisi kemerdekaan. Mereka membangun lembaga pendidikan, pesantren, masjid, organisasi, dan yayasan-yayasan Islam. Mereka
berkorban dengan ikhlas tanpa pamrih. Rela mengorbankan harta, tenaga, dan pikiran. Mereka semata-mata berbuat untuk membuktikan ketaatan dan kepasrahan totalitas kepada Allah. Bagi mereka, Islam harus
diperjuangkan melalui pengorbanan dalam berbagai bentuk. “Bondo, bau, pikir, lek perlu sak nyawane pisan”. Berkorban itu haruslah dengan harta, daya kekuatan, dan pikiran, bila perlu dengan mengorbankan jiwa sekaligus.
Membiasakan diri untuk berkorban, akan meningkatkan rasa solidaritas terhadap sesama. Seorang akan semakin sadar bahwa dalam hidup bermasyarakat itu dibutuhkan saling tolong menolong, dan bahwa hidup sendiri
tanpa tergantung kepada orang lain adalah suatu yang mustahil. Maka dia tidak akan membiarkan orang lain menangis kelaparan, sementara dirinya tertawa kekenyangan. Dia tidak akan membiarkan orang lain tersesat dalam
kebodohan, sementara dirinya berbangga-bangga secara intelektual. Dia tidak akan berbangga dengan kekuasaan sementara orang lain tertindas dan terinjak-injak oleh tingkah polahnya.
Membiasakan diri untuk berkorban, akan meningkatkan kesadaran dalam menegakkan agama. Umat Islam menyadari benar bahwa maju dan mundurnya Islam hanya tergantung pada sejauh mana pengorbanan mereka
kepada sesama. Tidak mungkin nasib agama Islam diserahkan kepada umat lain. Maju mundur Islam, terletak pada besar kecil pengurbanan mereka. Maka dari itu, mereka tidak boleh membiarkan pendidikan Islam mati, tidak
boleh membiarkan pesantren, masjid, madrasah, mushalla, dan lembaga-lembaga Islam tertatih-tatih, kemudian runtuh. Dan tidak boleh menutup mata terhadap petaka, bencana, dan musibah yang menimpa keluarga,
tetangga, dan kerabat sebangsa dan se tanah air. Bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki rasa solidaritas yang tinggi kepada sesama.
Membiasakan diri untuk berkorban, akan mengembangkan ekonomi ummat, dan meningkatkan kesejahteraan mereka. Bila tradisi berkurban dikembangkan, maka akan terkumpul dana yang cukup besar dari orang-orang
kaya untuk kepentingan fakir, miskin, dan orang-orang lemah. Maka diperlukan kesadaran semua pihak untuk berkurban, kemudian diikuti dengan manajemen yang baik dalam pengelolaan, pengembangan, pendistribusian,
dan teknis pemerataannya, sehingga semua orang yang membutuhkan merasakan manfaat dari korban itu.
Dengan berkurban menyembelih binatang ternak setelah shalat Idul Adha, kita semua dapat memperbanyak kurban dalam berbagai bentuk; mungkin harta, ilmu, tenaga, pikiran. Semoga kita tergolong orang-orang yang
mencintai Allah, tunduk, pasrah, dan berserah diri kepada-Nya pada tingkat yang paling tinggi. Hanya dengan berkurban, baik dengan tenaga, harta, dan jiwa, Allah melihat kualitas iman kita dan memberi derajat yang tinggi di
sisi-Nya: ”orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih Tinggi derajatnya di sisi Allah; dan Itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. Q.S. al-
Taubah/9: 20. Mudah-mudahan derita yang kini sedang diderita oleh saudara-saudara kita di Papua, Mentawai, Yogyakarta, dan tempat-tempat lain yang terkena berbagai musibah, segera dapat teratasi karena pengorbanan
yang kita berikan kepada mereka. Semoga Allah segera meringankan beban penderitaan mereka melalui uluran tangan kita.


.

PALING DIMINATI

Back To Top