Bismillahirrohmaanirrohiim

Hadits Surat al-Fatihah

Hadits Surat al-Fatihah juga merupakan salah satu hadits yang dianggap tidak bersanad, sehingga tidak layak di buat landasan untuk amaliyah apapun. Hal ini yang dituduhkan oleh Ustadz Abu Ubaidah Yusuf Sedayu Gresik dalam bukunya Koreksi Hadits-Hadits Dhaif Populer. Hadits tersebut adalah:

اَلْفَاتِحَةُ لِمَا قُرِئَتْ لَهُ
“Al-Fatihah itu sesuai untuk apa yang dibaca.”
Penilaian tersebut tidak benar lantaran al-Hafizh al-Ajluni mengutip dari al-LaAli’ karya al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani yang menyatakan bahwa al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman menyebutkan hadits tersebut dengan bersanad.[1]

Sedangkan adat sebagian masyarakat yang membaca Surat al-Fatihah sebelum memulai acara atau hajatan atau diakhir doa bukanlah sebuah bid’ah yang sesat, seperti yang dituduhkan Ibnu Utsaimin. Sebab, pembacaan al-Fatihah tersebut adalah bagian dari tawassul dengan amal shalih untuk sebuah hajat agar acara atau acara hajatan yang di laksanakan menjadi acara yang bermanfaat atau kalau di baca setelah memanjatkan do'a agar isi permintaan dalam do'anya di kabulkan oleh Allah lewat, lantaran (wasilah) surat al-Fatihah tersebut. Dan tawassul dengan amal shalih sendiri disyariatkan oleh Rasulullah.Andai ada yang mengatakan, "Praktek tersebut tidak pernah di kerjakan oleh Rasulallah dan para Shahabat, jadi prilaku itu adalah bagian dari bid'ah yang sesat", maka jawabnya, bahwasannya tidak setiap prilaku yang tidak di lakukan oleh Rasulallah atau Shahabat adalah haram dan sesat.

Adapun menghadiahkan al-Fatihah kepada orang-orang yang telah meninggal atau yang masih hidup termasuk masalah hukum, apakah pahala amal baik seperti shadaqah dan membaca Al-Qur’an boleh dihadiahkan untuk orang lain? Menurut Ahlussunnah wal jama’ah hal itu adalah boleh dan pahalanya sampai kepada yang diberi hadiah.[3] Sedangkan hukum shadaqah untuk mayit dan pahalanya sampai kepada mayit tersebut adalah sudah menjadi kesepakatan ulama, kecuali orang yang syadz (menyelisih).

Sebenarnya, khusus masalah menghadiahkan pahala membaca Al-Qur’an kepada mayit, imam madzhab 4 masih berselisih pendapat. Menurut Abu Hanifah, Malik bin Anas dan Ahmad bin Hanbal, pahala tersebut dapat sampai kepada mayit. Sedangkan menurut asy-Syafi’i, pahala membaca Al-Qur’an tidak akan sampai kepada mayit. Pendapat asy-Syafi'i ini diikuti beberapa ulama, di antaranya adalah Izzuddin bin Abdissalam meskipun pada akhirnya beliau menarik pendapatnya (lewat mimpi salah satu muridnya setelah beliau wafat).

Akan tetapi menurut sebagian ulama, maksud dari pernyataan asy-Syafi’i bahwa pahala membaca Al-Qur’an tidak akan sampai kepada mayit adalah jika pembacanya tidak berdoa agar pahalanya dihaturkan kepada mayit yang dituju sebagaimana diterangkan oleh Syaikh Abu Bakar Syatha. Namun, jika berdoa seperti di atas, maka pahala tersebut akan sampai pada mayit. Jadi menurut pendapat ini, sebenarnya 4 Imam Madzhab sepakat dan tidak berselisih secara muthlak.
Hal ini perlu di jelaskan, mengingat sebagian kalangan yang jahil dan di kuasai nafsu syahwat tampil menyelisih sering menggunakan dawuh asy-Syafi'i tersebut dalam buku-bukunya untuk mengharamkan acara tahlilan dan menghinakan para pengamalnya.
Dalam kitab asy-Syarwani bab wasiyat dituliskan:

قَالَ ابْنُ عَبْدِ السَّلاَمِ فِي بَعْضِ فَتَاوِيهِ لاَ يَجُوزُ أَنْ يُجْعَلَ ثَوَابُ الْقِرَاءَةِ لِلْمَيِّتِ لِأَنَّهُ تَصَرُّفٌ فِي الثَّوَابِ مِنْ غَيْرِ إذْنِ الشَّارِعِ ، وَحَكَى الْقُرْطُبِيُّ فِي التَّذْكِرَةِ أَنَّهُ رُئِيَ فِي الْمَنَامِ بَعْدَ وَفَاتِهِ فَسُئِلَ عَنْ ذَلِكَ وَقَالَ كُنْت أَقُولُ ذَلِكَ فِي الدُّنْيَا وَالْآنَ بَانَ لِي أَنَّ ثَوَابَ الْقِرَاءَةِ يَصِلُ إلَى الْمَيِّتِ كَمَذْهَبِ الْأَئِمَّةِ الثَّلاَثَةِ 
“Ibnu Abdissalam mengatakan dalam sebagian fatwanya, bahwa tidak boleh menghadiahkan pahala bacaan untuk mayit, karena termasuk men-tasharruf-kan pahala tanpa ada idzin dari Syari’ (Allah atau Nabi Muhammad). Diceritakan dari al-Qurthubi dalam at-Tadzkirah bahwa beliau (Izzuddin) ditemui dalam mimpi setelah beliau wafat. Kemudian beliau ditanya tentang masalah itu (pahala bacaan dihadiahkan pada mayit), dan beliau menjawab, ‘Dulu aku menjawab seperti itu di dunia, tapi sekarang sudah jelas bagiku bahwa pahala membaca Al-Qur’an dapat sampai kepada mayit seperti halnya ketetapan tiga imam madzhab.”
Dalam Mughni al-Muhtaj bab wasiyat dituliskan:

وَحَكَى الْمُصَنِّفُ فِي شَرْحِ مُسْلِمٍ وَالْأَذْكَارِ وَجْهًا أَنَّ ثَوَابَ الْقِرَاءَةِ يَصِلُ إلَى الْمَيِّتِ كَمَذْهَبِ الْأَئِمَّةِ الثَّلاَثَةِ ، وَاخْتَارَهُ جَمَاعَةٌ مِنْ الْأَصْحَابِ مِنْهُمْ ابْنُ الصَّلاَحِ ، وَالْمُحِبُّ الطَّبَرِيُّ ، وَابْنُ أَبِي الدَّمِ ، وَصَاحِبُ الذَّخَائِرِ ، وَابْنُ أَبِي عَصْرُونٍ ، وَعَلَيْهِ عَمَلُ النَّاسِ ، وَمَا رَآهُ الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ ، وَقَالَ السُّبْكِيُّ : وَاَلَّذِي دَلَّ عَلَيْهِ الْخَبَرُ بِالِاسْتِنْبَاطِ أَنَّ بَعْضَ الْقُرْآنِ إذَا قُصِدَ بِهِ نَفْعُ الْمَيِّتِ وَتَخْفِيفُ مَا هُوَ فِيهِ نَفَعَهُ ، إذْ ثَبَتَ أَنَّ الْفَاتِحَةَ لَمَّا قَصَدَ بِهَا الْقَارِئُ نَفْعَ الْمَلْدُوغِ نَفَعَتْهُ ، وَأَقَرَّهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَوْلِهِ : (وَمَا يُدْرِيكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ ) وَإِذَا نَفَعَتْ الْحَيَّ بِالْقَصْدِ كَانَ نَفْعُ الْمَيِّتِ بِهَا أَوْلَى
Keterangan dalam kitab Mughni al-Muhtaj di atas secara garis besar menjelaskan bahwa Imam Nawawi dalam al-Adzkar dan Syarah Muslim menghikayahkan adanya pendapat yang mengatakan pahala membaca Al-Qur’an sampai kepada mayit seperti halnya dalam madzhab 3. Pendapat tersebut dipilih oleh ashhab (para pengikut) di antaranya adalah Ibnu Shalah, al-Muhibb ath-Thabari, Ibnu Abi Dam, pengarang kitab adz-Dzakha’ir dan Ibnu Abi Ishrun. Dan itu yang dikerjakan oleh orang-orang.

[1] Kasyf al-Khafa’ juz 2 hlm. 76.
[3] Hujjah Ahlussunnah wal Jama’ah hlm. 15.


.

PALING DIMINATI

Back To Top