Bismillahirrohmaanirrohiim

Harmonisasi Hermeneutika Barat dan Tafsir Islam

Scripture is the word of God, and that means it has an absolute priority over the doctrine of those who interpret it
[Gadamer]

Hermeneutika merupakan isu paling kontroversial dalam studi Al-Qur’an yang secara massif terus diperdebatkan oleh banyak kalangan Islam hingga hari ini. Kalangan konservatif secara membabi-buta menolak penerapan hermeneutika dalam interpretasi Al-Qur’an. Dikatakan membabi-buta sebab penolakan mereka hanya berlandasrkan argumentasi eksklusif yang superficial bahwa secara historis hermeneutika berasal dari tradisi pemikiran Barat dalam kritik Bible. Mereka juga berasumsi bahwa hermeneutika tidak dibutuhkan dalam aktivitas penafsiran Al-Qur’an sebab ia tidak memiliki problem originality sebagaimana yang dimiliki oleh Bible. Dalam kacamata psikologi agama, argumentasi eksklusif tersebut tentu muncul dari kekhawatiran yang berlebihan bahwa hermeneutika akan mengancam sakralitas Al-Qur’an. Di pihak lain, para proponent hermeneutika secara menggebu-nggebu mengapresiasinya tanpa reserve tetapi masih minim aplikasi. Bahkan tak jarang muncul asumsi absurd dari kalangan yang miskin wawasan turath bahwa hermeneutika merupakan metode yang sama sekali baru dan tidak ada padanan konseptualnya dalam tradisi klasik tafsir Al-Qur’an.

Untuk menjembatani dua inklinasi tersebut, maka diperlukan harmonisasi yang diproyeksikan mampu meminimalisir ketegangan diantara keduanya. Caranya adalah dengan mengkomparasikan antara pokok-pokok teori hermeneutika Barat dengan ilmu Al-Qur’an dalam turath Islam. Selain itu, harmonisasi ini didasari oleh sebuah kesadaran inklusif—sebagaimana statemen Ibn Rushd—bahwa sebagai teori interpretasi hermeneutika ibarat “alat yang boleh kita adopsi baik itu berasal dari orang seagama atau tidak. Jika ada yang baik maka kita ambil dan jika ada yang salah maka kita waspadai”.

Definisi Hermeneutika, Tafsir, dan Ta’wil
Akar kata hermeneutika berasal dari istilah Yunani dari kata kerja hermeneuein yang berarti “menafsirkan” dan kata benda hermeneia yang berarti “interpretasi”. Dalam mitologi Yunani, istilah hermeneutika diasosiasikan pada Dewa Hermes. Martin Heidegger menyatakan bahwa Hermes adalah pembawa pesan takdir. Bagi Sokrates dan Plato, Hermes adalah utusan Tuhan (hermenes eisin ton theon). Tugas Hermes adalah menjelaskan pesan-pesan yang sebelumnya tak dapat ditangkap oleh intelegensia menjadi bisa dipahami. Dalam khazanah tafsir Al-Qur’an, al-Qurtubi, al-Shaukani, al-Alusi, Abu al-Hasan al-Naysaburi, dan Tahir bin ‘Asyur menyatakan bahwa sebagian ulama mengaitkan Hermes dengan Dhil Qarnayn, sedangkan sebagian lainnya mengaitkannya dengan Nabi Idris.

Kata kerja hermeneuein mengandung tiga makna dasar: pertama, “menyatakan” (to say), “mengungkapkan” (to express), atau “menegaskan” (to assert); kedua, “menjelaskan” kata-kata (to explain), dan; ketiga, “menerjemahkan” bahasa asing (to translate). Ketiga makna ini bisa diwakili oleh kata kerja Inggris “to interpret”. Dengan demikian, menurut Richard Palmer, interpretasi dapat mengacu pada tiga aktivitas yang berbeda: pengucapan lisan (an oral recitation), penjelasan yang masuk akal (a reasonable explanation), dan penerjemahan dari bahasa asing (translation from another language). Makna dasar pertama terkait dengan fungsi “pemberitahuan” dan “penyampaian” dari Hermes selaku seorang utusan yang menjadi mediator antara Tuhan dan manusia. Tugas yang sama juga diemban oleh Muhammad SAW. Dalam QS. Al-‘Alaq:96: 1 dijelaskan bahwa Muhammad SAW bertugas “mengucapkan” wahyu (an oral recitation/iqra), sedangkan QS. Al-Maidah: 5: 99, QS. Al-Nahl: 16: 35, dan QS. Al-Nur: 24: 54 menjelaskan bahwa Rasul bertugas “menyampaikan” pesan Tuhan (al-balagh) melalui proses menyatakan, mengungkapkan, dan menegaskan. Kemudian berkaitan dengan makna dasar hermeneuein yang kedua, yakni to explain (menjelaskan), QS. Al-Nahl: 16: 44 menerangkan bahwa Muhammad saw juga bertugas menjelaskan pesan Tuhan kepada manusia (li tubayyina linnasi). Berdasarkan makna hermeneutika yang pertama dan kedua serta padanan maknanya dalam beberapa ayat tersebut maka dapat dikatakan bahwa Muhammad saw adalah “utusan [botschafter] Tuhan” yang bertugas sebagai hermeneut, interpreter, mubayyin, dan muballigh.

Hermeneutika Modern
Uraian tentang asal-usul hermeneutika dan makna dasarnya akan menjadi keywords untuk memahami definisi hermeneutika modern. Richard Palmer mencatat enam definisi hermeneutika yang berbeda-beda yang berkembang pada era modern:

“(1) the theory of biblical exegesis; (2) general philological methodology; (3) the science of all linguistic undertanding; (4) the methodological foundation of Geisteswissenschaften; (5) phenomenology of existence: and (6) the system of interpretation used by man to reach the meaning behind myths and symbols”.

Enam definisi ini dapat disebut sebagai pendekatan Bible, filologis, saintifik, geisteswissenschaften, eksistensial, dan kultural. Mari kita kaji satu persatu. Pertama, hermeneutika sebagai teori eksegesis Bible. Webster’s Third New International Dictionary menjelaskan hermeneutika adalah studi tentang prinsip metodologi penafsiran dan penjelasan; khususnya: studi tentang prinsip umum penafsiran Bible (the study of the methodological principles of interpretation and explanation; specif: the study of the general principles of biblical interpretation). Dalam pengertian ini, hermeneutika merupakan sistem tafsir untuk mengungkapkan makna tersembunyi di balik teks Bible. Definisi hermeneutika ini senada dengan definisi tafsir dalam tradisi Islam. Al-Suyuti menyebutkan bahwa tafsir berasal dari kata “al-fasr” yang berarti “penjelasan” dan “penyingkapan” (al-bayan wa al-kashf). Al-Asbihani mendefinisikan tafsir Al-Qur’an dengan penjelasan makna-makna Al-Qur’an yang tidak terbatas pada makna literal (kashf al-ma’ani Al-Qur’an wa bayan al-murad al-a’ammu min an yakuna bi hasbi al-ma’na al-dhahir). Al-Suyuti mengutip pendapat Abu Talib al-Thaglabi bahwa tafsir adalah menerangkan kedudukan dan pengertian sebuah kata, baik pengertiannya yang bersifat denotatif (haqiqat) atau metaforis-alegoris (majaz); sementara ta'wil adalah menerangkan makna yang bersifat esoteris (batin). Abu Hayyan (w. 745/1344) mendefinisikan tafsir sebagai disiplin ilmu yang membahas qira’ah (oral recitation), signifikansi kata (madlul), morfologi dan retoris (ahkam ifradiyah wa tarkibiyah), makna literal serta metaforis, nasikh-mansukh (abrogation), sabab al-nuzul (occasions of revelation), dan qasas al-Qur’an (Qur’anic narratives).

Tafsir dan ta’wil merupakan kata sinonim yang berarti “menafsirkan” menurut para pakar al-Qur’an periode awal, seperti Ibn ‘Abbas, al-Tabari, dan Mujahid. Namun pada periode belakangan, term tafsir dan ta’wil mengalami pergeseran definisi. Tafsir diasosiasikan dengan pemahaman berbasis ma’thur atau riwayah (tradition, narration and text), sedangkan ta’wil dihubungkan dengan pemahaman berbasis ra’yu atau dirayah (reason, understanding and opinion). Berdasarkan komparasi definisi dasar hermeneutika, tafsir, dan ta’wil tersebut dapat disimpulkan bahwa ketiganya mempunyai definisi yang paralel, yakni penjelasan makna kitab suci. S. Semler mengatakan bahwa dalam menjelaskan makna kitab suci “seorang penafsir sekarang ini harus punya kemampuan berbicara tentang subjek (Bible) dengan cara tertentu sesuai dengan perubahan zaman dan keadaan (the interpreter must be capable of speaking about these subjects (in the Bible) now in such a way as changing times and different circumstances)”. Statemen S. Semler ini senafas dengan pendapat para fuqaha bahwa al-ahkam tataghayaru bi taghayuri al-azminah wa al-amkinah. Artinya, interpretasi dalam wilayah yuridis akan senantiasa mengalami perubahan dinamis sesuai dengan perubahan waktu dan tempat. Dengan demikian dapat ditarik konklusi bahwa tugas interpretasi kitab suci, baik al-Quran maupun Bible, adalah upaya aktualisasi dan kontekstualisasi agar pesan-pesan Tuhan senantiasa mampu berdialektika dalam merespon masalah-masalah yang terus bermunculan sepanjang zaman.

Kedua, hermeneutika sebagai metodologi filologi. Friedrich Ast (1778-1841) menyatakan bahwa tujuan utama studi filologi adalah untuk menangkap spirit atau Geist warisan literatur kuno. Filologi merupakan wahana untuk menangkap “isi luar” dan “isi dalam” sebuah teks melalui tiga level pemahaman: (1) “historis”, yaitu pemahaman yang memerlukan pengetahuan faktual dengan milieu historis; (2) “gramatis”, yaitu pemahaman yang terkait dengan bahasa; (3) “geistige”, yaitu upaya memahami spirit dan ide utama (grundidee) pengarang teks. Hermeneutika filologis juga dikembangkan oleh Friederich August Wolf (1759-1824) yang mendefinisikannya sebagai ilmu tentang kaidah yang dengannya makna tanda-tanda dapat dikenali. Kaidah-kaidah tersebut berbeda-beda sesuai perbedaan objeknya dan, oleh karena itu, muncullah hermeneutika puisi, hermeneutika sejarah, atau hermeneutika hukum. Tujuan hermeneutika, menurut Wolf, adalah menangkap pemikiran author teks seperti yang dia inginkan. Untuk mencapai tujuan ini dibutuhkan tiga level hermeneutika: (1) interpretatio grammatica, yaitu pemahaman yang berkaitan dengan bahasa; (2) interpretatio historica, yaitu pemahaman yang memperhatikan fakta-fakta sejarah untuk mengetahui karakter fisik dan geografi pengarang teks; (3) interpretatio philosophica, yaitu interpretasi yang digunakan untuk menguji dan mengontrol dua level di atas.

Dalam tradisi tafsir Al-Qur’an, gagasan-gagasan Ast dan Wolf paralel dengan teori-teori yang dikembangkan oleh para sarjana klasik Islam. Konsep interpretatio historica telah dikembangkan dalam diskursus asbab al-nuzul. Al-Wahidi menyatakan bahwa mengetahui penafsiran sebuah teks tidak akan mungkin dilakukan tanpa wawasan tentang konteks historisnya (la yumkinu ma’rifatu tafsir al-ayat dunal wuquf ‘ala sababi nuzuliha). Ibn Daqiq al-‘Id berkata bahwa penjelasan tentang konteks historis merupakan metode yang kuat dalam memahami makna-makna al-Quran” (bayan sabab al-nuzul tariq qawi fi fahm ma’ani al-Quran). Statemen yang senada juga diungkapkan oleh Ibn Taymiyah, al-Suyuti, dan pakar ilmu Al-Qur’an lainnya. Interpretatio grammatica adalah syarat utama bagi penafsiran teks, tak terkecuali teks Al-Qur’an. Oleh karena itu semua penafsir Islam sepakat bahwa seorang interpreter diwajibkan menguasai bahasa Arab.

Al-Syathibi, al-Ghazali, al-Shafi’i, dan semua ulama Islam pasti sepakat dengan Wolf bahwa tujuan interpretasi adalah menangkap pemikiran author teks seperti yang dia inginkan. Al-Syathibi dalam al-Muwafaqat menulis bab khusus tentang upaya menangkap keinginan author teks di bawah judul “Penjelasan tentang Tujuan Legislator Menurunkan Shari’at” (fi bayan qashd al-Shari’ fi wadh’i al-Shari’at). Pernyataan al-Syathibi ini nampaknya paralel dengan pernyataan Wolf bahwa “the aim of hermeneutics is to grasp written or even spoken thoughts of an author as he would have them to be grasped”. Al-Syathibi juga mengembangkan gagasan yang sejajar dengan Hermeneutik des Geistes ala Friedrich Ast. Hermeneutik des Geistes —yang menekankan pentingnya penangkapan “spirit dalam” teks—tak berlebihan jika kita sejajarkan dengan inti pemikiran al-Syathibi tentang pentingnya interpretasi tujuan utama shariat (maqashid al-shari’at).

Ketiga, hermeneutika sebagai ilmu pemahaman linguistik. Schleiermacher berperan meletakkan hermeneutika sebagai “ilmu atau seni pemahaman” (science or art of understanding). Baginya, seni pemahaman pada hakikatnya sama, baik objeknya berupa teks dokumen hukum, kitab-kitab keagamaan, maupun karya sastra. Teks-teks ini memang memiliki perbedaan karakter yang berimplikasi pada perbedaan perangkat teoretis bagi problem-prolem khasnya masing-masing. Tetapi dalam perbedaan tersebut terdapat kesatuan yang mendasar, yakni bahwa teks-teks tersebut merupakan bahasa yang membutuhkan gramatika untuk membentuk dan memaknai struktur kalimat. Jika prinsip semua pemahaman dari teks-teks tersebut diformulasikan maka akan membentuk sebuah “hermeneutika umum” (general hermeneutics). Namun hermeneutika umum belumlah eksis. Yang eksis justru hermeneutika khusus, seperti hermeneutika filologi, teologi, dan hukum. Jika kita tengok dalam tradisi Islam, hermeneutika umum yang dapat digunakan untuk menafsiri berbagai macam teks juga belum eksis. Malahan yang ada adalah hermeneutika khusus seperti pemahaman kitab suci dengan berbagai coraknya: sufistik (tafsir isyari) di tangan al-Qusyayri, Abd al-Qadir al-Jilani, al-Tustari, al-Sulami, Ibn Arabi dan lain-lain, hermeneutika hukum (tafsir fiqhy) di tangan para fuqaha seperti al-Syafi’i dan Jashash, filosofis (falsafi) di tangan al-Farabi dan Ibn Rusyd, saintifik (‘ilmy) di tangan Syaikh Tantawi Jauhari dan Harun Yahya, hermeneutika sastra (adaby) yang dipromosikan oleh Zamakhsyari dan Amin Khuli, dan hermeneutika sosial (ijtima’i) yang diusung oleh Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan al-Maraghi.

Dalam rangka meletakkan hermeneutika umum, Schleiermacher mendefinisikan pemahaman sebagai sebuah seni adalah mengalami proses mental dari pengarang teks. Pengarang teks membentuk kalimat sementara para pendengar menembus struktur kalimat dan maksud pengarang. Dengan demikian interpretasi terdiri dari dua gerakan rekonstruksi melalui interaksi secara gramatis dan psikologis. Sumbangan khusus Schleiermacher terletak pada gagasan penafsiran psikologis. Gagasan ini menegaskan bahwa penafsiran merupakan proses ilahiah dimana penafsir berusaha menempatkan dirinya di dalam pikiran pengarang teks agar ia mampu memahami original meaning dari sebuah teks. Jadi penafsiran adalah sebuah reproduksi makna yang berkaitan dengan produksi orisinil. Untuk memahami original meaning sebuah teks, seorang penafsir harus memahami makna asing sebuah bahasa asing di masa lalu yang aneh, di mana dalam bahasa itu sendiri penafsir harus menyesuaikan dengan kosa kata yang asli. Dalam tradisi Islam, al-Syathibi pernah mengembangkan gagasan al-lisan al-ma’hud yang secara substansial paralel dengan konsep Schleiermacher ini. Al-Syathibi menyatakan bahwa salah satu tujuan diturunkannya syariat adalah untuk memahamkan umat dengan cara menurunkan al-Quran dengan bahasa konvensional yang digunakan oleh komunitas Arab yang ummy. Dengan demikian, pemahaman terhadap al-Quran harus melalui prosedur memahami makna kata yang sesuai dengan tradisi Arab.

Schleiermacher juga menegaskan bahwa proses penafsiran membutuhkan teori lingkaran hermeneutis (hermeneutical circle), yakni sebuah upaya memahami kalimat dalam struktur kesatuan sistematik melalui pemahaman terhadap bagian-bagian kata yang membentuk struktur tersebut. Pada proses yang bersamaan, bagian-bagian kata-kata tunggal pun hanya dapat dimaknai secara tepat dengan melihat pada keseluruhan kalimat. Dengan kata lain, keseluruhan kalimat dan bagian-bagian kalimat saling terkait seperti keterkaitan sebuah lingkaran. Oleh sebab itu, proses pemahaman ini disebut dengan lingkaran hermeneutis. Bagi Scheiermacher, lingkaran hermeneutis tidak hanya berlaku pada “level linguistik”, tetapi juga pada level “persoalan yang didiskusikan” .

Teori hermeneutical circle sejajar dengan manhaj al-siyyaq atau munasabah dalam tradisi tafsir al-Quran. Manhaj al-siyyaq didefinisikan oleh Abdurahman Budra’ sebagai metode kontekstual dimana pemahaman teks dapat tercapai dengan melihat makna kata individu sekaligus keseluruhan kalimat, baik yang berada di posisi depan atau belakang. Metode kontekstual ini tidak hanya berlaku pada level konteks bahasa (siyyaq al-lafdhi/linguistic level), tetapi juga pada level konteks tempat (siyyaq al-makaniy), waktu (siyyaq al-zamaniy), persoalan yang didiskusikan (mawdhu’), konteks tujuan umum al-Quran (siyyaq al-maqashidi), dan konteks historis (siyyaq al-tarikhiy).

Keempat, hermeneutika sebagai fondasi metodologi bagi Geisteswissenschaften. Geisteswissenschaften dalam pandangan Wilhelm Dilthey adalah semua disiplin ilmu sosial dan kemanusiaan yang memfokuskan pada pemahaman ekspresi-ekspresi kehidupan manusia, baik berupa seni, aksi, maupun kodifikasi hukum. Untuk menafsirkan ekspresi hidup manusia dibutuhkan pemahaman historis, sebab manusia adalah “makhluk historis” (ein geschichtliches wesen). Konsep historisitas (geschichtlieches) ini memiliki konsekuensi bahwa manusia tidak bisa lari dari sejarah, sehingga ekspresi dan interpretasinya memiliki temporalitas historis. Dilthey juga menyetujui konsep hermeneutical circle yang diusung oleh Scheiermacher dimana makna sebuah teks dapat diperoleh melalui pemahaman terhadap keseluruhan sekaligus bagian-bagian kalimat. Namun Dilthey menambahkan bahwa makna merupakan sesuatu yang bersifat historis. Makna bukan berada di luar sejarah, namun bersifat kontekstual yang terikat dengan situasi dan kondisi tertentu. Konsep historisitas ini menginspirasi para sarjana al-Quran kontemporer, antara lain Nashr Hamid Abu Zaid. Konsep tersebut diterapkan dalam budaya Islam untuk menekankan aspek kesejarahan makna teks al-Quran dan penafsiran manusia terhadapnya. Hal ini dirasa penting di tengah-tengah kecenderungan mayoritas kalangan muslim yang berlebihan mensakralkan al-Quran dan tafsir-tafsirnya yang diyakini sebagai entitas meta-historis.

Kelima, hermeneutika sebagai fenomenologi dan pemahaman eksistensial. Husserl (1859-1938) adalah pendiri fenomenologi modern. Fenomenologi tersusun dari akar kata Yunani phainomenon yang berarti “sesuatu yang memperlihatkan dirinya sendiri”. Sedangkan akhiran ology berasal dari akar kata logos yang berarti “sesuatu yang dipahami dalam pembicaraan”. Kombinasi dua kata tersebut menunjukkan bahwa fenomenologi adalah “membiarkan sesuatu termanifestasikan apa adanya tanpa pemaksaan kategori yang kita berikan kepadanya”. Jika dikaitkan dengan teks, maka teks dinilai dapat merefleksikan kerangka mentalnya sendiri dan mengkomunikasikan maknanya sendiri kepada penasfir tanpa ada bias subyektif. Dalam kerangka fenomenologis, interpretasi bukanlah sesuatu yang “dilakukan” oleh interpreter, melainkan yang “terjadi” pada interpreter. Fenomenologi menekankan pembebasan penafsir dari segala kemungkinan bias subyektif dengan cara membentengi diri penafsir dari jebakan prasangka. Dengan begitu hadirnya penampakan original meaning sebuah teks bukanlah hal yang mustahil. Konsepsi Husserl ini ditolak oleh Heidegger, karena dalam pandangan Heidigger, penafsir tidak pernah bisa melepaskan diri dari intervensi prasangka, serta tak berdaya mengisolasi dan menetralisir dirinya dari kontaminasi duniawi. Seandainya bisa, akan timbul pertanyaan di manakah posisi penafsir dalam kerja interpretasi? Padahal relasi penafsir dan penafsiran bersifat integral. Setiap penafsiran tidak akan pernah bisa dilakukan tanpa melibatkan peran aktif penafsir.

Meskipun mengkritik, Heidegger berhutang pada Husserl ketika meminjam metode fenomenologinya dalam rangka menghadapi persoalan ontologis. Dalam sub pembahasan Being and Time yang berjudul “The Phenomenological Method of Investigation”, Heidegger mendapuk metode Husserl untuk membangun hermeneutika eksistensial. Hermeneutika eksistensial adalah teori pemahaman, namun pemahaman yang dimaknai secara ontologis; pemahaman seseorang merupakan kekuatan untuk memperoleh kemungkinan seseorang itu sendiri untuk berada, yakni keberadaan dalam konteks dunia hidupnya. Selain itu, Heidegger memandang bahasa bukanlah alat komunikasi yang dibuat oleh manusia untuk memberikan makna pada alam atau mengekspresikan pemahamannya tentang sesuatu. Manusia pada hakikatnya tidak menggunakan bahasa, tetapi bahasalah yang berbicara dengan sendirinya melalui manusia. Alam semesta terbuka bagi manusia melalui bahasa, karena bahasa adalah pengejawantahan eksistensial bagi alam.

Hermeneutika eksistensial—yang mengkorelasikan antara manusia, bahasa, dan alam—sejajar dengan konsep eksistensialnya al-Harits al-Muhasibi dalam Fahm al-Quran dan Ibn Arabi dalam Futuhat al-Makiyyah. Al-Muhasibi berkata, “Dalil ada dua macam: dalil pandangan nyata dan informasi yang kuat”. Yang dimaksud dengan “pandangan nyata” adalah alam semesta yang dapat menunjukkan alam metafisik, sementara yang dimaksud dengan “informasi kuat” adalah teks agama. Secara ontologis, al-Muhasibi membagi wujud menjadi dua, yakni wujud yang tertulis dalam bentuk teks agama dan wujud yang terbentang dalam bentuk alam. Ibn Arabi juga mengkorelasikan bahasa dan alam semesta. Sebagaimana teks al-Quran yang memiliki makna eksoteris dan esoteris, alam semesta pun memiliki dimensi eksoteris berupa materi dan dimensi esoteris berupa jiwa alam (Tuhan). Hermeneutika eksistensial Ibn Arabi diantaranya terpotret dalam statemennya,

“Ketahuilah bahwa wujud alam adalah kalimat Allah yang tak ada habisnya. Melalui wujud itulah Allah menampakkan kekuasaan-Nya. Alam tersusun secara sistemik karena untuk menunjukkan sebuah faidah. Alam muncul dari bahasa Arab ‘Kun’ (Jadilah). Alam tidak terwujud kecuali terdiri dari ruh dan bentuk. Materi yang muncul darinya adalah kalimat-kalimat yang notabene adalah jiwa Tuhan yang Maha Pengasih”.

Keenam, hermeneutika sebagai sistem interpretasi. Paul Ricoeur mendefinisikan hermeneutika sebagai “la theorie des regles qui president a une exegese, c'est-a-dire, a l'interpretation d'un texte singulier ou d'un ensemble de signes susceptible d'etre considere comme un texte”. Artinya, “hermeneutika adalah sebuah teori tentang kaidah yang menata sebuah penafsiran, dengan kata lain, interpretasi teks partikular atau kumpulan tanda-tanda keberadaan yang dipandang sebagai sebuah teks”. Psikoanalisa, khususnya interpretasi mimpi, termasuk bagian dari hermeneutika. Mimpi termasuk teks yang dipenuhi dengan kesan-kesan simbolik dan psikoanalisa menggunakan sistem interpretasi untuk menerjemahkan makna tersembunyi. Objek interpretasi adalah teks dalam arti luas yang mencakup simbol-simbol dalam mimpi, mitos-mitos dalam masyarakat, dan sastra. Dalam tradisi Islam, term tafsir dan ta’wil juga dikaitkan dengan interpretasi mimpi (ta’bir al-ru’ya). Tokoh utama dalam bidang ini adalah Ibn Sirin, seorang Tabiin yang dikenal ahli dalam disiplin hadits, fiqh, dan tasawuf. Penafsiran-penafsiran mimpinya dikodifikasikan dalam sebuah kitab yang berjudul Tafsir al-Ahlam.

Paul Ricoeur menilai hermeneutika sebagai proses penguraian yang beranjak dari “makna yang tampak” menuju “makna yang tersembunyi”. Pandangan ini selaras dengan pandangan para sufi yang senantiasa berurusan dengan makna eksoteris dan esoteris (zahir wa batin). Dalam konteks ini, Ikhwan al-Shafa menyatakan,

“Barangsiapa terkungkung pada makna zahir Shari’at tanpa memperdulikan makna batin-nya maka ia seperti raga tanpa jiwa. Dan barang siapa terkungkung pada ilmu-ilmu haqiqat dan pendapat-pendapat rasional tetapi lupa mengerjakan ajaran zahir Shariat maka ia seperti jiwa yang telanjang tanpa raga”.

Kombinasi eksoterisme dan esoterisme (zahir wa batin) merupakan sentral aktivitas tafsir bagi kalangan sufi dan Syiah yang secara ideologis acap digunakan untuk mengkritik kecenderungan formalistik-legalistik para ahli fikih. Fuqaha terkungkung pada maka eksoteris semata sehingga mereka diibaratkan raga tanpa jiwa. Sebagai respon atas rigiditas tafsir fuqaha tersebut, para sufi dan Syiah merasa perlu menonjolkan apa yang oleh Ast disebut “geistige”. Jika kita lacak secara arkeologis, Hermes—yang juga dikenal dengan ajaran-ajaran mistiknya—ternyata memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap epistemologi kalangan Syiah dan sufi pada era pra kodifikasi. Louis Massignon menyatakan bahwa para intelektual Shi’ah kawasan Kufah telah menelaah teks-teks Hermes. Senada dengan Massignon, Henry Corbin menegaskan bahwa kalangan Syiah adalah yang pertama kali terpengaruh ajaran Hermes jauh sebelum Islam mengenal metafisika Aristoteles.

Hermeneutika Kontemporer
Enam definisi tersebut membawa kita dari tahun 1654 hingga era kontemporer. Keenam definisi itu dalam tingkatan yang berbeda masih terdapat dalam spektrum pemikiran hermeneutis kontemporer. Perkembangan mutakhir yang penting dicermati adalah hermeneutika dalam perspektif Gadamer. Dalam Truth and Method, Gadamer menyatakan bahwa tidak ada interpretasi tanpa prasangka (prejudice). Prasangka menurutnya ada dua: prasangka yang muncul dari kertergesa-gesaan penafsiran dan prasangka yang benar yang dijustifikasi dengan pertimbangan rasional. Gagasan ini paralel dengan konsep al-ta’wil wa dhan al-mujtahid (hermeneutika dan prasangka mujtahid) yang dikembangkan oleh para pakar ushul fiqh antara lain al-Ghazali dalam al-Mustasfa.

Gadamer juga menegaskan bahwa tidak ada interpretasi tanpa hubungannya dengan masa kini karena seorang penafsir pasti terikat dengan horizon suasana kekinian. Interpretasi bersifat dinamis dan tidak ada yang permanen dan beku. Gagasan ini tidak hanya senada dengan teori Sahrour, Abu Zaid, Arkoun, Ali Harb, Abed al-Jabri, dan para pemikir kontemporer lainnya, tetapi juga senafas dengan spirit interpretasi dinamis para fuqaha yang mengusung jargon al-ahkam tataghayaru bi taghayuri al-azminah wal amkinah (hukum selalu berubah sesuai perubahan zaman dan tempat) dan al-hukmu yaduru ma’a ‘ilatihi (hukum dapat berubah sesuai perubahan ratio-legisnya). Terkait masalah ini, Gadamer dalam sub judul The Hermeneutic Significance of Temporal Distance menegaskan bahwa tugas hermeneutika adalah menjembatani “keberantaraan” antara masa lalu dan masa kini. Tugas hermeneutika Gadamer ini sejajar dengan hermeneutika filosofis Abed al-Jabri yang mengusung jargon “Ja’l al-Quran mu’ashiran li nafsihi wa mu’ashiran lana” (menjadikan al-Quran relevan untuk konteksnya sendiri di masa lalu dan konteks kekinian kita).

Gadamer tampak sepakat dengan Schleiermacher dalam konsep rekonstruksi masa lalu sebagai konsekuensi logis dari historisitas teks-teks kuno. Rekonstruksi background historis bagi sebuah teks merupakan aspek fundamental dalam hermeneutika. Gadamer berkata bahwa naskah-naskah kitab suci bukanlah penyebaran ajaran eternal yang bersifat a-temporal, tetapi merupakan kreasi historis dalam bahasa historis oleh masyarakat yang bersifat historis pula. Dengan demikian maka pemahaman terhadap teks-teks kuno membutuhkan penggalian konteks historisnya. Konsep historisitas teks inilah yang mempengaruhi kemunculan hermeneutika humanis ala Abu Zaid yang mengundang kontroversi dalam wacana Islam kontemporer. Dalam Mafhum al-Nas, Abu Zaid memandang bahwa ketika al-Quran diturunkan kepada Muhammad, al-Quran masuk ke dalam dimensi sejarah dan menjadi tunduk pada hukum historis dan sosiologis. Teks al-Quran kemudian menjadi manusiawi (humanized/muta'annas), memasukkan budaya yang partikular, politik, dan unsur-unsur ideologis masyarakat Arab abad ketujuh. Dikatakan manusiawi sebab al-Quran turun melalui media bahasa manusia agar dapat dipahami oleh penerimanya dan karena al-Quran telah bermetamorfosis dari “teks Ilahi” menjadi “teks yang ditafsiri secara manusiawi”. Baginya, al-Quran adalah “produk budaya” (muntaj al-tsaqafi). Artinya bahwa al-Quran terbentuk di tengah-tengah realitas sosial dan budaya Arab selama lebih dari dua puluh tahun”. Abu Zaid menegaskan lebih lanjut bahwa keimanan terhadap sumber Ilahi teks al-Quran tidak bertentangan dengan sebuah upaya menganalisisnya melalui pendekatan kultural dimana teks tersebut muncul.

Struktur historisitas di dalam pemahaman mensugestikan pentingnya aplikasi. Dalam sub judul The Hermeneutic Problem of Application, Gadamer membagi prosedur hermeneutika ke dalam tiga cara: subtilitas intelligendi (pemahaman), subtilitas explicandi (penafsiran), dan subtilitas applicandi (penerapan). Ketiga cara ini bukanlah tiga metode yang terpisah, tetapi justru ketiga-tiganya bekerja secara bersamaan membentuk pemahaman. Bagi Gadamer, penafsiran sebuah teks adalah aplikasi dalam situasi kekinian. Baik hermeneutika teologis maupun yuridis, keduanya bertugas menginterpretasikan teks dalam dunianya sendiri di masa lalu dan juga makna teks dalam term momen kekinian kita. Dengan kata lain, memahami teks selalu sudah merupakan pengaplikasiannya. Dalam hal ini Gadamer sependapat dengan Betti bahwa hermeneutika menekankan aktualitas makna, yakni keterkaitan makna dengan kepentingan penafsir dalam situasi sekarang. Penafsir di zaman klasik akan menafsirkan teks dalam term yang dia alami, sedangkan penafsir masa kini akan menafsirkan sesuai kepentingan masa kini.

Jika diseret ke dalam wacana Islam kontemporer, teori hermeneutika aplikatif Gadamer tidak hanya mengilhami pola tafsir Islam liberal tetapi juga—secara tidak sadar—terdapat dalam pola tafsir Islam fundamental. Kalangan liberal hendak mereinterpretasikan teks-teks keagamaan dan mengaplikasikannya untuk menjustifikasi isu-isu kekinian seperti gender, pluralisme, demokrasi, dan seterusnya. Di sisi lain, kalangan fundamentalis juga mereinterpretasikan teks agama dan mengaplikasikannya untuk menjustifikasi kepentingan politis menentang demokrasi dan sekularisme seperti yang dilakukan oleh Sayid Qutb, al-Maududi, Taqiyyudin al-Nabhani, dan tokoh-tokoh fundamentalis lainnya. Dengan demikian dapat kita pahami bahwa—secara sadar atau tidak—kalangan liberal dan fundamental sejatinya sama-sama menganut hermeneutika aplikatif yang menganjurkan aktualitas penafsiran dalam situasi kekinian. Bedanya, jika kalangan liberal mengaplikasikan penafsirannya dalam rangka demokratisasi, maka kalangan fundamental melakukan hal yang sama dalam rangka penegakan khilafah Islamiyah.

Prinsip hermeneutika aplikatif Gadamer mendapatkan ekspresi teologisnya dalam proyek “demitologisasi” ala Rudolf Bultmann. Istilah demitologisasi terkesan hendak menyingkirkan unsur-unsur mistis dari Bible yang mengakibatkan pereduksian Bible dimana hanya unsur-unsur rasional yang masih tersisa dan bisa dipercayai. Demitologisasi sejatinya tidak demikian. Sebaliknya, demitologisasi tidak bermaksud menghapus elemen mistis dari Bible tetapi justru menegaskan keaslian dan keselamatan maknanya. Dalam penilaian Richard E. Palmer, demitologisasi jauh dari usaha mengakomodasi Bible kepada cara pandang modern. Demitologisasi justru lebih dekat dengan pola pandang literalisme yang dangkal dalam cara pandang modern. Dalam wacana Islam kontemporer, prinsip demitologisasi barangkali searah dengan pola tafsir revivalis kalangan Wahabi yang hendak menafsirkan teks-teks agama secara literal yang mereka yakini dapat merepresentasikan makna otentik.

Perkembangan hermeneutika kontemporer berada di tangan Hirsch sebagai logika validasi. Dalam karyanya, Validity in Interpretation, Hirsch menegaskan bahwa intensi pengarang harus menjadi norma di mana validitas penafsiran diukur. Baginya, interpretasi yang valid adalah jika dapat menemukan makna verbal. Dan makna verbal berbeda dengan signifikansi (kebermaknaan pada masa kini). Hirsch tidak sepakat dengan Gadamer yang menyamakan antara makna verbal (bedeutung) dengan signifikansi (Bedeutsamkeit). Hirsch justru setuju dengan Betti yang membedakan keduanya. Setelah membedakan keduanya, Hirsch menggarisbawahi bahwa tujuan hermeneutika bukan untuk menemukan signifikansi makna teks pada momen kekinian, tetapi untuk menemukan makna verbal yang berkarakter tetap, peniruan kembali, dan tidak berubah. Perdebatan antara Gadamer dan Hirsch mengingatkan pada perdebatan di kalangan ahli ushul fiqh tentang batasan-batasan antara makna verbal yang tak berubah (al-tsawabit) dan signifikansi yang berubah secara dinamis (al-mutaghayyirat).

Kesimpulan
Berdasarkan komparasi antara pokok-pokok konsep hermeneutika Barat dan tradisi tafsir Islam dapat disimpulkan bahwa banyak sekali kesejajaran antar keduanya. Hal ini senada dengan kesimpulan Abu Zaid bahwa “Al-hirminiyutiqa idzan qadhiyyatun qadimatun wa jadidatun fî nafs al-waqti, wa hiya fi tarkiziha ‘ala ‘alaqati al-mufassir bi al-nas laisat qadliyyatan khasatan bi al-fikri al-gharbi, bal hiya qadliyyatun laha wujuduha al-mulih fî turatsina al-‘arabi al-qadim wa al-hadits ‘ala sawa”. Artinya, “hermeneutika adalah diskursus lama dan sekaligus baru. Pokok pembahasannya adalah tentang relasi penafsir dengan teks. Hermeneutika bukan hanya semata-mata diskursus pemikiran Barat, akan tetapi diskursus yang wujudnya juga ada dalam turath Arab, baik Arab klasik maupun modern”.

Setelah melihat kesejajaran antara konsep-konsep hermeneutika Barat dan tafsir Islam maka menjadi tidak bijaksana jika kalangan anti hermeneutika menolaknya dengan memukul rata. Di sisi lain, kesimpulan ini juga membuktikan bahwa tradisi Islam tidaklah miskin seperti yang diasumsikan beberapa pihak yang menilai hermeneutika sebagai gagasan Barat yang tak memiliki padanan konseptualnya dalam tradisi Islam.

Daftar Pustaka
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, New York: Continuum, second edition 2004.
Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer, Northwestern University Press, Evanston, 1969.
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach, New York: Taylor & Fancis Group, cet. I.
Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy and critique. Routledge & Kegan Paul. London, Boston and Henley
Martin Heidegger, Being and Time, translated from the German Sein und Zeit, Blackwell Publishing, 2005.
Irwan Masduqi, Hermeneutika Poros Tengah, dalam Kontekstualisasi Turath, Lirboyo, 2005.
Ibn Rushd, Fasl al-Maqal fi Taqrir ma bayna al-Syari’ah wa al-Hikmah min al-Ittisal, tahqiq: Abed al-Jabri, Bairut: Markaz Dirasah al-Wahdah al-‘Arabiyah, cet. IV, 2007.
Abu ‘Abdillah al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, al-Marja’ al-Akbar li Turath al-Islami, t.t., vol. XI
Muhammad bin ‘Ali al-Shaukani, Tafsir al-Shaukani, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1997.
Al-Alusi al-Baghdadi, Tafsir al-Alusi, Dar Ihya al-Turath al-‘Arabi, t.t.
Muhammad Tahir bin ‘Ashur, al-Tahrir wa al-Tanwir, Tunisia: Dar Sakhnun, 1997.
Abu al-Hasan al-Wahidi al-Naysaburi, Tafsir Gharaib al-Qur’an, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1996.
Jalaluddin al-Suyuti, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, al-Marja’ al-Akbar li Turath al-Islami: Dar al-Fikr, t.t.
Al-Suyuti, Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul, Marja’ al-Akbar li Turath al-Islami: Dar al-Fikr, t.t.
Ibrahim ‘Abdullah Rafidah, al-Nahwu wa Kutub al-Tafsir, Tripoli: Dar al-Jamahiriyah, 1990.
Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Cairo: Dar al-Hadits, 2005.
Abi Ishaq al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Shari’ah, tahqiq: Abdullah Daraz, Cairo: al-Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra.
Abdurahman Budra’, Manhaj al-Siyyaq fi Fahm al-Nash, Qatar: Kitab al-Ummat, Wizarah al-Awqaf wa al-Suun al-Islamiyyah, edisi: 111, 1427 H.
Nashr Hamid Abu Zaid, Mafhum al-Nash: Dirasah fi ‘Ulum al-Qur’an, Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, cet. VI, 2005.
Nashr Hamid Abu Zaid, Ishkaliyyat al-Qira’ah wa Aliyyat al-Ta’wil, Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, cet. VII, 2005.
Al-Harits al-Muhasibi, Fahm al-Quran, Dar al-Fikr, Beirut, 2005.
Ikhwan al-Shafa, al-Risalah al-Jami’ah li Ikhwan al-Shafa, tahqiq: Jamil Shaliba, Matba’ah al-Jami’ah Suriah.
Abed al-Jabri, Takwin al-Aql al-‘Arabi, Beirut: Markaz Dirasah al-Wahdah al-‘Arabiyah, cet. VIII, 2002.
Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustasfa, Dar al-Fikr.
Abed al-Jabri, Madkhal ila al-Qur’an al-Karim, Beirut: Markaz Dirasah al-Wahdah al-Arabiyah, cet. I, 2006.


.

PALING DIMINATI

Back To Top