Bismillahirrohmaanirrohiim

Kolom Gus Nur Hamid : Mengenang tahun duka cita

Harian Jogja (Jum'at, 09 Juli 2010 09:16:00 )

Beberap hari lagi umat Islam memperingati peristiwa yang amat bersejarah, isra dan mikraj Nabi Muhammad SAW. Dan sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, di berbagai tempat digelar event untuk memperingati “hari ulang tahun” disyariatkannya salat bagi umat Islam itu. 

Mulai dari pengajian –pengajian, kajian ilmiah, hingga kegiatan-kegiatan ringan yang sifatnya menghibur. Sejauh ini dalam berbagai khotbah keagamaan, ceramah, kajian dan tulisan-tulisan tentang isra dan mikraj Nabi Muhammad SAW kebanyakan menerangkan seputar perjalanan beliau. 

Dari yang klasik melalui pembacaan literatur kitab-kitab karangan ulama hingga usaha mencoba menggali nilai-nilai ilmiah da ri perjalanan spektakuler beliau. Padahal jika kita membaca sejarah Nabi, ternyata terdapat peristiwa yang kadang terlewat tidak terungkap, yakni latar belakang Allah SWT mengisra dan mikrajkan Nabi. 

Setidaknya ada dua kisah yang cukup populer di kalangan umat Islam menjelang peristiwa akbar itu. Yang pertama adalah kisah perdebatan antara langit dan Bumi tentang kelebihan masing-masing. Dan akhirnya dimenangkan Bumi setelah menyampaikan kelebihannya karena mendapat kehormatan ditempati makhluk termulia yang diciptakan Allah. 

Dia tidaklah lain adalah Nabi Muhammad SAW. Adapun salah satu penduduk langit yang sangat merindukannya adalah buraq. Kerinduannya pun terobati setelah mendapat ke hormatan mengantarkan petualangan semalam Nabi dari Masjid al Haram menuju Masjid al Aqsha yang kemudian dilanjutkan perjalanan mikraj menuju langit. 

Adapun peristiwa kedua yang mungkin lebih dapat diambil hikmahnya adalah yang terkenal dengan ‘amul huzni (tahun duka cita). Dalam urutan sejarah, isra mikraj adalah untuk mengobati kesedihan Nabi. Sebagaimana kita ketahui semenjak beliau mendapat intruksi berdakwah, tak henti-hentinya cobaan mendera beliau bersama para generasi awal Islam. 

Dan semakin lengkaplah cobaan tersebut setelah wafat dua orang yang beliau cintai, Abu Thalib, paman yang merawatnya semenjak datuk beliau Abdul Muthalib wafat dan Khadijah RA, istri yang rela mengorbankan seluruh kekayaannya di jalan dakwah. 

Wafatnya Abu Thalib menorehkan duka mendalam bagi Nabi. Paman Nabi ini telah memberikan perlindungan terhadap beliau dari para musuh-musuh Islam. Namun sayang sekali hingga akhir hayatnya dia belum bersedia mengimani risalah Islam sehingga semakin dalamlah kesedihan Nabi. 

Kemudian semakin lengkaplah kesedihan tersebut setelah tiga hari kemudian Khadijah mendahului beliau menghadap Sang Khalik. Peristiwa yang begitu mengharukan adalah ketika Nabi mendampingi istri tercinta menjelang akhir hayatnya. 

Khadijah menyampaikan kata-kata yang teramat menyentuh, “ Wahai Rasul utusan Allah, tiada harta dan hal lainnya yang ada padaku untuk aku sumbangkan demi dakwah. Andai selepas kematianku, tulang-tulangku mampu ditukar dinar dan dirham, maka gunakanlah tulang-tulangku demi kepentingan dakwah yang panjang ini.” 

Jibril yang mendengarkan kata-kata mengharukan itupun segera menghadap Allah dan menanyakan adakah Allah mendengar kata-kata tersebut? Allah pun menjawab bahwa tidak hanya kata-kata yang terucap yang Allah dengar, tetapi bisikan hati Khadijah pun terdengar. 

Kemudian Allah menyuruh Jibril menyampaikan salam kepadanya. Dalam sebuah riwayat disebutkan setelah menerima salam yang disampaikan Jibril lewat Nabi, Khadijah mengucapkan sebuah bacaan yang sering kita baca selepas salat. 

“Allahumma anta as salam wa minka as salam wailaika ya’udu as salam fahayyina robbana bi as salam wadkhilna al jannata dar as salam.” Semoga Allah melimpahkan kasih sayang atasnya dan memberi hidayah pada kita untuk dapat meneladaninya, Khadijah al kubro, ibunda umat islam. 

Amin.

Noor Hamid Majid
Pengasuh PP Assalafiyyah 
Mlangi, Nogotirto, Gamping,
Sleman, DIY


.

PALING DIMINATI

Back To Top