Bismillahirrohmaanirrohiim

Fiqh Hadiah Dan Korupsi Menurut Kitab Kuning

Ka’ab berkata : “Suap bisa membuat bodoh orang santun dan membutakan mata orang bijak”
Rabi’ah berkata : “Hadiah merupakan jalan menuju suap dan penyakit yang mendatangkan kegelapan”
Kasus korupsi, suap atau uang pelicin dan nepotisme, KKN, telah menjadi kasus yang serius di negeri kita. Ibarat kanker ganas ia telah menggerogoti seluruh anggota tubuh dan menyebar dalam segala lini kehidupan kita sehingga pemerintah perlu membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan pengadilan tindak pidana korupsi (TIPIKOR), dan hasilnya masih belum memuaskan banyak kalangan. Kejaksaan, kepolisian, lembaga peradilan justru dianggap sarang jual-beli kasus hukum. Bebas atau tidaknya suatu persoalan hukum tergantung tawar-menawar dibelakang layar. Anehnya kitapun sudah biasa memberikan uang pelicin, uang rokok, jika berhadapan dengan aparat, kepolisian, atau birokrasi jika kita ingin urusan lancar, bahkan anggota DPR pun terbiasa menerima uang ini dan itu dari berbagai pihak yang ingin urusan mereka lancar dan mendapat dukungan dari anggota DPR yang sedang membahas rancangan UU tertentu.

Agaknya kasus korupsi dan suap kepada para pejabat, birokrat, dan kepada hakim untuk memenangkan perkara sudah menjadi persoalan klasik, sama tuanya dengan peradaban manusia itu sendiri. Bahkan persoalan korupsi sudah ada ketika Rasulallah SAW masih hidup, apalagi pada masa dinasti Umayyah, dinasti Abbasiyah, dan dinasti Mamluk, dimana Ibnu Hajar Al Haitami menulis karyanya yang berjudul “Idhaah Al Ahkam Lima Ya’khuzhuhu Al Úmmal  Wa Al Hukkam”.

Di kalangan Mazhab Syafi’i, nama Ibnu Hajar Al Haitami sangatlah popular, karya-karyanya memiliki otoritas  dan menjadi salah satu rujukan penting mazhab. Al Fatawa Al Fiqhiyah Al Kubro, Al Fatawa Al Haditsiah, Tuhfah Al Muhtaj Bi Syarh Al Minhaj, As Shawa`iq Al Muhriqah Fi Ar Radd  ‘Ala Ahl Al Bida’ Wa Az Zanadiqah adalah sederet karya pentingnya  yang menjadi rujukan mazhab di kalangan syafi’iah, lebih-lebih pesantren dan Nahdatul Ulama.

Lahir tahun 909 H dengan nama Syihabuddin Ahmad Bin Muhammad Bin Muhammad Bin Ali Bin Muhammad Bin Ali Ibni Hajar Al Haitami, meski demikian ia lebih popular dengan nama Ibnu Hajar karena kakeknya terkenal sangat pendiam dan jarang berbicara kecuali hal-hal yang sangat mendesak dan karena itulah dikonotasikan dengan batu. Ibnu Hajar lahir dalam keadaan yatim di daerah Salmanat. Oleh karena banyak kekacauan dan fitnah di daerah itu maka kakeknya membawanya pindah ke daerah Al Haitam. Sehingga namanya lebih popular dinisbahkan ke daerah Haitam, salah satu daerah di Mesir. Nisbah ini digunakan untuk membedakan dengan Ibnu Hajar Al Asqolani yang lebih terkenal dengan pakar hadits. Ia banyak belajar kepada para ulama terkenal  di Mesir diantaranya adalah Syaikh Zakaria Al Anshari, pengarang Fath Al Wahab yang terkenal itu. Ia juga berguru pada Muhammad bin Abi Al Hamail, Abdul Haq bin Muhammad As Sinbathi, Abu Bakar Al Masyhadi, Syihabuddin Ahmad Ar Ramli, dan Abu Al Hasan, dll. Dan diantara muridnya yang cukup terkenal adalah Imam Az Zayadi.

Tahun 933 H ia menemani gurunya Syaikh Al Bakri melakukan ibadah haji dan disana ia tinggal selama satu tahun. Tahun 937 H untuk yang kedua kalinya ia juga menemani sang guru melakukan ibadah haji dan pada tahun 940 H, ia bersama sang guru melakukan ibadah haji untuk yang ketiga kalinya. Mulai saat itu ia menghabiskan masa karir ilmiahnya di Makkah, mengajar, berfatwa dan mengarang. Namanya menjulang tinggi sebagai seorang alim yang mendapat kedudukan terhormat di Makkah dan memiliki banyak murid serta menjadi ulama yang memiliki otoritas yang kuat. Meskipun demikian ia tetaplah menjalani hidupnya yang tidak mudah, serba kekurangan bahkan menurut keterangannya sendiri, pernah selama empat tahun ia tidak makan daging karena saking miskinnya. Ia juga bergulat dengan penyakit wasir dan kencing batu yang senantiasa menderanya. Dan pada tahun 947 H, tepatnya hari Senin tanggal 23 Rajab ia berpulang kehadirat ilahi dan dimakamkan di pekuburan Ma’la, Makkah. Hari itu Makkah diselimuti duka yang mendalam, ribuan orang berdesak-desakan untuk dapat menyentuh jenazahnya dan membawanya keperistirahatan terakhirnya.

Menurut Ridha Fathi Muhammad Khalil Al ‘Ibadi, pentahkik kitab ini, karya Ibnu Hajar ini hampir tidak dikenal sebagai salah satu karya Ibnu Hajar yang berjumlah delapan puluh karya ilmiah, baik yang masih berbentuk manuskrip atau yang sudah dicetak. Hal ini dikarenakan para penulis ensiklopedia biografi para ulama dan karya-karya mereka seperti Umar Ridha Kahala, Khairuddin Az Zirikli, Haji Khalifah, dan Al Baghdadi tidak mendaftar kitab ini sebagai karya Ibnu Hajar. Ibnu Hajar sendirilah yang menyebutkan karya ini dalam salah satu kitabnya Tahrir Al Maqal Fi Adabi Wa Ahkam Wa Fawaid Yahtaju Ilaiha Muaddibu Al Athfal. Hlm.61-62

Karya ini dapat hadir dan dibaca publik atas kerja keras sang pentahkik yang secara tekun menelusuri kitab yang menghimpun senarai kitab-kitab dan karya-karya yang menghimpun dan mengkaji karya-karya Ibnu Hajar Al Haitami dan akhirnya ia menemukan naskah manuskrip ini di Dar Al Kutub Al Mishriyyah, Maktabah Al Ahqaf di Yaman dan di Perpustakaan Al Azhar.

Karya ini sebetulnya ditulis Ibnu Hajar Al Haitami (909-974 H) sebagai jawaban atas penyataan tertulis yang berasal dari Yaman pada tahun 957 H mengenai persoalan persoalan yang berkaitan dengan hukum hadiah dan suap, lalu ia menulis jawabannya secara ringkas. Untuk membahas secara mendalam persoalan ini ia meneliti berbagai kitab dan diantaranya adalah kitab “Fashl Al Maqal Fi Hadaya Al ‘Ummal  karya Syaikhul Islam , Tajuddin As Subki. Akan tetapi menurut Ibnu Hajar karya ini telalu panjang lebar sehingga sangat sulit untuk dipahami para pelajar  bahkan semua kalangan, karena As Subki tidak melakukan tarjih terhadap banyak persolan bahkan cenderung pada pendapat yang lemah. Oleh karena itu Ibnu Hajar ingin meringkas dan menjelaskannya dengan bahasa yang mudah dipahami bagi semua kalangan yang ada dan melengkapinya dengan banyak persoalan-persoalan yang banyak dibutuhkan oleh masyarakat.

Karya ini sebagaimana yang dikatakan sendiri oleh Ibnu Hajar merupakan kitab yang tiada duanya dalam persoalan ini. Hlm. 85. Pernyataan ini memang tidak berlebih-lebihan karena di dalam Mazhab Syafi’i, inilah kitab pertama dan secara spesifik, sudah barang tentu asal karya ini, yakni karya As Subki, yang membahas persoalan hadiah, korupsi dan suap yang diterima oleh para pegawai pemerintah. Biasanya persoalan ini dibahas dalam persoalan peradilan dan sewa menyewa dalam karya-karya sebelum Ibnu Hajar Al Haitami. Ada satu hal yang agak aneh, meski  Syaikh Abd Al Ghani An Nabulsi wafat 1143 H telah menyusun satu kitab yang berjudul Tahqiq Al Qadhiyah Fi Al Farq Bain Ar Risywah Wa Al Hadiyah, Fiqh Mazhab Hanafi, ia sama sekali tak pernah menyebut  nama dan karya Ibnu Hajar ini ketika membeberkan pendapat mazhab syafi’i dalam kitabnya itu. Hlm. 64

Sebagaimana  dari judulnya kitab ini memang secara khusus mengupas persoalan hukum memberi hadiah kepada para pejabat pemerintahan, para hakim, dan para birokrat.

Pada pasal pertama Ibnu Hajar Al Haitami memulai dengan menukil sejumlah hadits-hadits yang mengharamkan praktek suap dan hadiah kepada para pejabat pemerintah. Paling tidak ada dua belas hadits yang dinukil oleh Ibnu Hajar, diantaranya hadits riwayat At Tirmizhi, Ahmad dan Al Hakim yang berasal dari Abdullah bin Amru berkata: Rasulallah melaknat penyuap dan yang minta suap. Hadiah kepada para pejabat adalah tindakan koruptif. (HR. Ahmad dan Al Bazzar). Penghianat yang paling besar adalah penguasa yang menjadikan rakyatnya sebagai obyek bisnis. (HR. An Nuqqasy dan Abi Nu’aim). Barangsiapa yang kami angkat sebagai pegawai atas suatu pekerjaan lalu kami memberikan gaji kepadanya, maka apa yang ia ambil selain gajinya itu adalah tindakan koruptif (ghulul). (HR. Abu Daud). Hadiah kepada para pejabat adalah tindakan koruptif (ghulul). ( HR. Al Bazzar dan Ahmad ). Hadits-hadits ini diletakkan pada pasal pertama tentunya sebagai basis teologis dan hukum bahwa suap dan hadiah kepada para pejabat adalah tindakan tercela, dilaknat, dan koruptif. Dari hadits-hadits ini pula kita dapat mengatakan bahwa hadiah-hadiah yang diberikan kepada para pejabat, hakim, para pengambil keputusan seperti anggota DPR entah atas nama hadiah tetaplah dianggap sebagai tidakan koruptif karena mereka sudah memperoleh gaji yang sudah ditentukan pemerintah.

Selanjutnya pada pasal kedua Ibnu Hajar Al Haitami menjelaskan bahwa Allah S.W.T telah memerintahkan para “wakil-Nya”, seperti para penguasa dan para hakim untuk menegakkan keadilan tanpa menukarnya dengan imbalan apapun. Jika mereka mengambil dan menerima suap berarti mereka menjadikan suap itu harga dari keadilan. Allah tidak rela jika keadilanNya ditukar dengan harta duniawi dan itu berarti tindakan penghianatan terhadap Allah, para rasulNya, para malaikatNya, dan orang-orang beriman, karena itu keadilan tidak boleh diperdagangkan. Ia laksana air mengalir dan siapapun berhak untuk menikmatinya. Hlm. 114-115.

Adakalanya suap diberikan seseorang kepada seorang hakim agar ia memenangkan perkara yang sebenarnya ia jelas berada di pihak yang salah, namun bisa juga seseorang berada di pihak yang benar memberikan suap untuk memperoleh haknya. Yang pertama jelas haram, sedang untuk yang kedua, hakim yang menerima suaplah yang berdosa sedang yang memberi suap tidak. Hakim yang demikian berarti telah merubah hukum Allah dan menjadikannya sebagai lahan bisnis. Hlm. 117-121.

Mengenai hadiah kepada hakim, Ibnu Hajar berpendapat hal itu boleh saja asalkan orang yang memberikan hadiah itu sudah terbiasa sebelumnya memberikan hadiah kepada sang hakim sebelum dia diangkat menjadi hakim dan dia sedang tidak memiliki sengketa hukum, tidak ada indikasi hadiah itu sebagai permulaan suap, hadiah tidak melebihi dari biasanya. Meskipun hal ini makruh menurut Al Mawardi, menyalahi hal utama, khilaf al aula menurut Ashab Syafi’iah dan yang paling utama adalah tidak menerimanya. Menerima hadiah bisa juga menjadi haram hukumnya menurut ijma` ulama jika yang memberikan hadiah itu sedang memiliki sengketa hukum, meskipun bukan di wilayah kompetensi hakim yang bersangkutan dan sudah terbiasa sebelumnya memberi hadiah kepada sang hakim sebelum ia diangkat menjadi hakim. Hlm. 139-147.

Adapun hadiah yang mengandung subhat sebagai suap atau jelas-jelas sebagai suap, maka seorang hakim harus mengembalikannya kepada pemberi dan tidak boleh memilikinya, apabila barang itu rusak maka ia menjadi hutang yang harus dikembalikan sesuai dengan nilai barang tersebut. Jika ia meninggal sebelum melunasi pengembalian hadiah itu maka diambilkan dari tirkah (warisan). Lalu bagaimana jika pemiliknya tidak diketahui atau tidak ditemukan, menurut imam Ibnu Hajar haruslah dikembalikan kepada Baitul Mal (Kas Negara) karena uang atau barang itu statusnya sama dengan barang hilang. Inilah pendapat yang mu`tamad dalam Mazhab Syafi’i. Hlm. 145.

Jika hadiah atau suap dalam bentuk manfaat dan bukan dalam bentuk uang atau benda, maka menurut  Ibnu Hajar berdasarkan pendapat yang zhahir dalam mazhab statusnya sama dengan benda atau uang. Hlm. 214.

Karya Ibnu Hajar ini kiranya perlu dibaca dan dikaji secara seksama, lebih-lebih kita kalangan pesantren harus turut bertanggungjawab mendidik para santri dan menanamkan nilai-nilai agama sehingga mereka tidak menjadi koruptor serta adil dan amanah dalam jabatan. Pemerantasan korupsi, suap dan sebagainya dimulai dari pendidikan dan disinilah peran pesantren. Dan kitab ini bisa menjadi bahan bacaan wajib mengenai fiqh suap dan korupsi dan di sini pulalah urgensi kitab karya Ibnu Hajar Al Haitami. Meski demikian, dalam kitab ini ada beberapa persoalan yang tidak relevan dengan situasi kontemporer kita. Misalnya hakim yang mengambil upah dari pihak-pihak yang bersengketa. Hal ini karena di zaman dahulu memang ada hakim yang tidak menerima gaji dari pemerintah, berbeda halnya dengan zaman sekarang.

Kitab yang ditahkik oleh RidhaFathi Muhammad Khalil Al’Ibadi ini memang patut diapresiasi karena hasil tahkik kitab ini sangat membantu pembaca karena banyaknya anotasi atau footnote yang diberikan, baik berkaitan dengan nama, riwayat hidup tokoh-tokoh dan ulama-ulama yang ada di dalam kitab ini disajikan dengan baik atau pendapat-pendapat yang ada dirujukkan kepada kitab-kitab fiqh yang menjadi acuan didalam Mazhab Syafi’i atau mazhab yang lain. Tahkik kitab ini juga ditambah dengan biografi lengkap Ibnu Hajar, senarai judul-judul karya Ibnu Hajar dan sumber-sumber kitab manuskrip juga beberapa variasi perbedaan antara berbagai manuskrip disajikan sebagai footnote. Keseriusan tahkik ini dapat dilihat dari referensi yang digunakan yang jumlahnya mencapai 213 judul kitab, baik yang berbahasa arab atau bahasa inggris, jerman dan perancis ditambah lagi dengan fihris baik al Qur-an atau al Hadis maupun tokoh-tokoh ulama. (Samito, MSI, Guru Madrasah Nurul Ummah Kotagede Yogyakarta)


.

PALING DIMINATI

Back To Top