Bismillahirrohmaanirrohiim

The Islamist : Sebuah Buku Biografi Mantan Penganut Islam Radikal

The Islamist (Resensi)
Penulis : Ed Husain
Penerbit : Penguin UK

Buku The Islamist - Catatan Perjalanan Seorang Islamis (Alvabet,
2008), ditulis oleh Ed Husain. Dalam buku ini, Ed Husain
menggambarkan dirinya sebagai aktivis gerakan Islam, termasuk
Hizbut Tahrir Britain (HTB) di London Inggris. Tapi setelah
mengalami berbagai fase peristiwa, akhirnya ia memutuskan
meninggalkan semua aktivitas itu dan memilih jalan spiritual sufi.
Fase-fase peristiwa, khususnya semasa kurun 2 tahun ia bersama
HTB, itulah yang menjadi isi utama dari buku ini. Jadi, buku The
Islamist boleh juga disebut sebagai biografi spiritual atau cerita
perjalanan spiritual dari seorang anak muda keturunan imigran
muslim Pakistan yang hidup di negeri Barat. Tapi lebih dari sekedar
cerita perjalanan spiritual, buku ini sesungguhnya juga sarat kritik
intelektual terhadap berbagai gerakan, khususnya terhadap HTB
sesuatu yang kemudian menjadi alasan Ed Husain meninggalkan
semua gerakan-gerakan itu. Sebagai sebuah kritik, tentu buku ini
sangat dipengaruhi oleh subyektifitas penulis, termasuk tingginya
kadar emosi dari seorang anak muda dan rendahnya pengetahuan
ke Islaman penulis yang memang tidak memiliki latar belakang
keilmuan yang memadai mengingat ia bukanlah berlatar pendidikan
tsaqafah Islam.
Pada awalnya Ed Husain adalah pemuda yang penuh semangat.
Pada usianya yang masih 16 tahun sudah terlibat dalam kegiatan
dakwah, menjadi anggota gerakan yang ia sebut "Islam
fundamentalis", atau "Islamist" pengikut gerakan "ekstrimis" dan
"Islam politik" seperti al-ikhwan al-Muslimun, Hizb ut-Tahrir, dan
Jamat-e-Islami. Ed juga menyebut Young Muslim Organisation UK
(YMO), Islamic Forum Europe (IFE), Dawatul Islam, Islamic Society of
Britain (ISB), Islamic Foundation in Leicester dan Muslim Council of Britain (MCB) sebagai kelompok Islamist. Dalam
perjalanannya, Ed kemudian "melihat" kesalahan-kesalahan dari gerakan Islamis, dan menjadi sadar untuk kembali
ke pangkuan "Islam Moderat." Melalui buku ini, Ed ingin menunjukkan bahwa kelompok-kelompok "Islamist" adalah
ancaman yang jelas berbahaya terhadap negaranya. Ed berusaha menunjukkan bagaimana awal ketertarikannya
pada "pemikiran ekstrimis", bagaimana kaum fanatik memasuki komunitas muslim dan agenda mereka dalam
merusak peradaban Barat dan Islam moderat.
Ia mengakui bahwa istilah "Islamisme" sebenarnya bisa bermakna bermacam-macam. Ia menunjuk Sayyid Abu'l-A'la
Mawdudi, Sayyid Qutb dan Taqi al-din Nabhani sebagai tokoh Islamisme. Nampaknya ia memaksudkan tokoh
"Islamisme" sebagai tokoh "Islam Politik", yaitu mereka yang menginginkan Islam sebagai faktor penentu dalam ordo
politik. Di akhir bukunya, Husain menolak pemikiran tentang "Islam Politik" dengan berkata, "Agama bukan milik
pemerintah, atau negara. Ia adalah milik individu. Negara boleh membantu warganya dalam menunaikan ibadahnya,
namun pemerintah Negara tersebut tidak boleh dan tidak semestinya menyatakan keyakinan agama tertentu." Dengan
kata lain, Ed Husain adalah sepenuhnya seorang sekuler.
Dalam usahanya mendekonstruksi Nabhani, Ed menuding bahwa Nabhani mengambil ide dari Rousseau bahwa
Tuhan menurunkan seperangkat hukum bagi manusia. Tapi definisi dan penolakan Ed Husain terhadap apa yang ia
sebut sebagai "Islam politik" menurut Andrew Booso seorang kritikus buku The Islamist yang paling keras, ternyata
tidak didukung oleh karya tokoh yang ia banggakan sebagai salah satu tokoh "Islam moderat" yaitu Nuh Keller, yang
menulis terjemahan dari "Reliance of the Traveler" (’Umdat al-Salik). Buku ini mendapatkan sertifikasi dari Al Azhar dan
menurut Ed Husain buku ini juga merupakan ‘buku tafsir kitab suci umat Islam’ yang sangat dihormati. Dalam buku
‘Reliance’ ini, Nuh Keller menambahkan satu bab tambahan yang tidak ada dalam manuskrip aslinya yaitu bab
tentang ‘al Khilafah’. Nuh Keller menjelaskan tambahan ini sebagai berikut:
Bab ini merupakan penambahan dari penerjemah (yaitu Nuh Keller) karena keberadaan Khilafah adalah kewajiban
tersendiri dan juga merupakan prasyarat dari pelaksanaan ratusan peraturan atau hukum Islam yang ALLAH telah
tentukan dan berfungsi sebagai tuntunan kehidupan beragama umat Islam. ’
Oleb sebab itu, Mawdudi, Qutb, dan Nabhani tidak bisa dituduh sebagai kaum ekstrimis, hanya karena mereka
ternyata meyakini dan menyebarluaskan suatu konsep yang sudah diakui kebenarannya oleh ahli hukum Islam di
masa lalu. Di samping itu, Husain juga salah mengutip kata-kata Hamza Yusuf yang konon berkata bahwa ‘tidak ada
negara Islam’. Padahal yang terjadi adalah Yusuf hanya mengatakan bahwa kata ‘Negara’ dalam bahasa Inggris
tidaklah tepat dalam menjelaskan konsep khilafah, dan juga Yusuf juga tidak pernah bermaksud untuk menafikan
Islam sebagai faktor penentu dalam suatu ordo politik.
Tentang rendahnya taraf penguasaan tsaqafah Islam Ed Husian ditunjukkan oleh Adrew Booso. Kata Booso,
” Meskipun Ed Husain menggarisbawahi perjalanan keilmuan Islam selama 1400 tahun melalui sistem periwayatan
(isnad), dan juga dengan kemampuan Ed untuk menghafal tidak kurang dari separuh Al Quran, Ed Husain ternyata
memiliki kelemahan pengetahuan tentang teologi dan Hukum Islam sebagaimana yang dibangun oleh para ulama.
Dalam salah satu bagian dari bukuknya, Ed berkata, “Selama ini tidak pernah terbersit di benakku, apabila isu
pemerintahan Islam sebegitu pentingnya, mengapa tidak satupun teks atau literatur klasik Islam menaruh
pembahasan tentang ini ?”
Untuk menanggapi klaim Ed Husain ini, Booso mengajak untuk mencermati tulisan Nuh Keller, yaitu seorang tokoh
yang Ed sangat banggakan, menerjemahkan karya ulama klasik. Dalam karya terkenalnya yang berjudul al-Qawanin
al-fiqhiyyah ternyata memiliki satu bab tersendiri yang secara khusus membahas tentang ‘al-imamah’, dimana ia
uraikan beberapa prasyarat tradisional [ash-shurut]. Ini semua menunjukkan bahwa istilah-istilah ‘Islamist’,
‘Islamisme’ dan ‘politic Islam’ menjadi tidak bermakna karena apa yang dituduhkan oleh Ed Husain ternyata
ditemukan pada karya ulama klasik.
Islam menyerukan agar Islam harus mengatur kehidupan publik dan kehidupan privat manusia, artinya Islam menolak
sekularisme karena di dalam Islam tidak ditemukan prinsip yang biasa ditemukan dalam Kristen, ”… Berikan kepada
Kaisar apa yang menjadi hak Kaisar, dan berikan kepada Tuhan apa yang menjadi hak Tuhan.”
Kelemahan Ed Husain dalam pemahamannya tentang hukum dan studi teologi Islam juga terlihat dalam gayanya
yang berlagak sebagai ulama dalam menyikapi penggunaan kata ‘kafir’ (bentuk jamaknya kuffar atau kafirun/kafirin).
Padahal, Nuh Keller dalam menerjemahkan buku ‘Umdat Salik’ (The Reliance), ia menggunakan kata ‘kafir’ untuk
mendeskripsikan umat non-muslim. Anehnya, Husain yang menganggap Nuh Keller sebagai tokoh moderat justru
menuduh kaum ‘Islamist’lah yang pertama kalinya menggunakan kata kafir untuk mengidentifikasi non-muslim.
Menurut opini Ed Husain, Quran menggunakan kata ‘kafir’ hanya diperuntukkan bagi kaum non-muslim penyembah
berhala yang menindas umat Islam. Lebih jauh lagi, Ed Husain mengatakan bahwa kaum Yahudi dan Kristen tidak
tepat dipanggil sebagai ‘kafir’, tetapi lebih cocok sebagai ‘ahli kitab’. Pemahaman Ed Husain seperti ini sayangnya
justru menunjukkan keterbatasan pengetahuannya.
Buku ini memang mendapatkan sambutan dan banyak pujian, khususnya dari media dan komunitas Barat.
Diantaranya, kolumnis The Daily Mail dan pengarang buku Londonistan, Melanie Phillips memuji habis buku ini. Dia
tanpa sungkan menyatakan bahwa Ed Husain harus mendapatkan aplaus untuk keberaniannya menunjukkan
kejujuran dan ketekunan intelektual.
Selain pujuan, juga tidak sedikit yang mengkritik habis. Diantaranya, Ziauddin Sardar melalui koran The Independent,
memprotes yang apa yang telah ditulis Ed Husain. sebagai “reductive extremist” activity. Ia kemudian menolak buku Ed
Husain ini dengan mengatakan “The Islamist seems to have been drafted by a Whitehall mandarin as a PR job for the
Blair government.”
Dalam blognya, peneliti masalah-masalah ke Islaman, Yahya Birt mengkritik buku ini karena melakukan penyimpulan
secara umum dari keadaan sekarang berdasarkan realitas di awal tahun 90-an, itupun dalam konteks keterlibatan Ed
Husain dalam gerakan Islam dalam kurun yang sangat pendek. Meski dia sendiri tidak menolak perlunya membaca
buku yang menawarkan sebuah pandangan insider ’s view, tapi dia menolak saran Ed untuk melarang Hizbut Tahrir.
Kritik tajam juga datang penulis muslim, Andrew Booso yang menilai Ed Husain sebagai anak muda yang miskin
pengetahuan agama, tapi berlagak seperti ulama. Katanya, “he shows a serious inadequacy of knowledge regarding
theology and Sacred Law as expounded by the masters through the ages.” Salah satu yang membuat Booso berang
adalah kritik Ed Husain terhadap ide khilafah yang dikatakan tidak memiliki landasan teologis apa pun. Dengan lugas
Booso mengatakan bahwa kewajiban syar ’iy dari tegaknya kekhilafahan adalah keyakinan standar yang telah
disepakati oleh para ulama di sepanjang waktu.
Ada yang mencurigai, apa yang dilakukan oleh Ed Husain adalah demi kepentingan Partai Buruh. Dan kecurigaan ini
belakangan terbukti. Kini, setelah mempelajari sufi hingga ke Syria, alih-alih Ed Husain menjadi muslim kaffah
pembela kepentingan Islam, ia malah menjadi muslim liberal. Ia berpendapat wanita muslim boleh menikah dengan
orang kafir, perempuan muslim tidak harus memakai jilbab, ia juga mendukung keterlibatan Inggris dalam perang
Irak. Ia kini juga menjadi aktifis Partai Buruh dan menjadi bagian penting dari organisasi neokonservativ bernama the
Center for Social Cohesion yang dipimpin Douglas Murray yang menolak adanya hari libur agama, menyerukan
penutupan masjid-masjid dan pelarangan secara total imigrasi muslim di seluruh Eropa.
Tentang keterlibatan Ed Husain dalam HTB mendapatkan klarifikasi oleh Imran Waheed (mantan media
representative HTB). Melalui email kepada Jubir HTI, ia menegaskan bahwa Ed Husain tidak pernah menjadi anggota
HTB. Ia hanya pernah menjadi daris (pelajar) kurang dari 2 tahun. Ia juga tidak pernah memegang posisi apapun
dalam struktur HTB (maka sangatlah aneh kalau di Indonesia sini Ed Husain sering dikatakan sebagai pimpinan
HTB). Ia juga menegaskan bahwa sebagaian besar dari buku Ed Husain itu penuh dengan kebohongan. Ia
mencontohkan kasus anggota HTB bernama Isa, yang disebut Ed sebagai anggota al Qaeda yang sangat dicari CIA.
Isa adalah anggota HTB dan tinggal di London. Ia orang bebas dan bebas pula dari segala keterkaitan seperti yang
dituduhkan Ed.
Tentang kebohongan Ed Husain juga ditunjukkan oleh Kaashif Nawaz –saudara laki-laki dari Maajid Nawaz, anggota
HTB yang pernah ditahan pemerintah Mesir. Diantaranya kasus pembunuhan di East – Ham College – yang membuat
Ed Husain memutuskan keluar dari HTB karena menganggap HTB lah dengan doktrin-doktrinya yang telah
mendorong terjadinya pembunuhan di sana. Kaashif Nawaz menegaskan bahwa orang yang terbunuh di sana
bukanlah orang Kristen, melainkan orang yang tengah mabuk dan terlibat pertikaian dengan orang lain. Peristiwa itu
juga sama sekali tidak melibatkan anggota HTB. Ia membenarkan bahwa periode di mana Ed Husain aktif dalam HTB
sangat dipengaruhi oleh sosok Omar Bakri yang sangat keras. Tapi sepeninggal Omar Bakri, HTB berubah, kini
tidaklah seperi yang diceritakan oleh Ed Husain. Maksudnya, HTB di masa lalu dinilai telah dibajak oleh Omar Bakri
sehingga menyimpang dari warna yang semestinya ada. Ia juga menegaskan bahwa, berbeda dengan Syed Qutb or
Maududi, Taqiudeen al-Nabhani adalah ulama yang alim, lulusan al Azhar dan Darul Ulum Kairo dan pernah menjadi
profesor di Fakultas Shariah di Amman. Taqiyyuddin juga mempunyai latar belakang sufi melalui kakeknya Sufi Sheikh
Yusuf al-Nabhani. Maksudnya, kalau sekiranya hanya jalan sufi yang dicari oleh Ed Husain, semestinya ia tidak perlu
keluar dari HTB dan kemudian mencaci maki sedemikan rupa karena toh Hizbut Tahrir sesungguhnya juga
menyediakan jalan itu. (Muhammad Ismail Yusanto, NusantaraOnline.com)


.

PALING DIMINATI

Back To Top