Dulu saat mondok di PP MUS Sarang, saya pernah menjadi bendahara pribadi Mbah Yai Sa’id hafizhahullah, meskipun tidak lama, sebab saya sendiri yang mundur, merasa ngga mampu.
Ceritanya, beliau memiliki beberapa usaha, dan usaha-usaha itu bukan murni demi profit yang kembali kepada beliau, tapi lebih sebagai sarana belajar enterpreneur para santri. Suatu kali beliau ingin mengetahui pembukuan hasil salah satu usahanya, ternyata tidak rapi, tidak jelas, dan bisa dibilang morat-marit, juga beberapa kali sudah disuntik modal akan tetapi dalam beberapa bulan barang hampir habis tapi modal tidak balik.
Mengetahui itu apakah beliau marah?, sama sekali tidak, beliau tetap santai, bahkan tetap beliau kasih modal lagi, yang penting santri tetap belajar menjalankan usaha lagi dengan lebih baik kata beliau, sebab tujuan usaha itu memang sebagai sarana belajar santri, dan mereka hanya disuruh pembukuannya agar dirapikan.
Lalu saya kebetulan waktu itu oleh beliau ditugasi untuk mengaudit keuangan salah satu usaha itu, dan karena beliau merasa puas dengan hasil kerja saya, maka semua santri yang memegang usaha-usaha beliau pun diperintahkan untuk menyetorkan hasil usahanya ke saya. Walhasil, kadang dalam satu hari saya bisa memegang uang seratus juta atau bahkan lebih, sebab semua harus disetorkan setiap hari, nanti kalo butuh untuk belanja baru mereka minta ke saya.
Bayangkan, posisi masih di pondok tapi memegang uang sebanyak itu dan tidak punya brangkas untuk menyimpannya, jadi saya hanya menaruhnya di kotak lemari pondok. Berjalan sekitar setengah bulan saya pun sowan Mbah Yai, hendak menyetorkan uang kepada beliau, agar saya tidak lagi membawa dan menyimpan uang sebanyak itu, sebab takut hilang dan sebagainya. Tapi jawab beliau ketika saya matur, “Mosok aku mbok kon ngurusi duit?”
Saya masih ingat betul jawaban itu. Memang begitulah beliau, teramat sangat zuhud. Membuat usaha yang bukan hanya tidak menghasilkan laba, tapi bisa dikatakan rugi, namun tetap beliau teruskan, sebab beliau ingin agar santri belajar berwirausaha. Ketika ada usahanya yang sukses dan profitnya tinggi maka beliau berikan kepada pondok, semua hasilnya beliau berikan ke pondok untuk membantu meringankan syahriyah santri.
Diantara bukti zuhudnya beliau lagi adalah beliau belum pernah ganti mobil, sejak saya masuk Sarang tahun 2004 hingga saya menikah 16 tahun kemudian, mobil beliau masih sama, yaitu mobil sedan Honda Accord yang sudah sangat sering masuk bengkel itu, entah sekarang sudah ganti apa belum. Setiap kali diminta agar ganti mobil yang lebih baik, beliau selalu menolak. Padahal seandainya mau ganti maka beliau sangatlah mampu. Dan masih banyak bukti-bukti kezuhudan beliau lainnya.
Orang luar yang tidak tahu bagaimana kehidupan Para Kyai kami mungkin menyangka beliau hidup bermewah-mewah, mobilnya sedan Accord (padahal kami tahu bahwa mobil itu bisa dikatakan mobil rongsokan), sarungnya BHS mahal semua (padahal semua itu hadiah dari para alumni yang sudah sukses), 24 jam dilayani anak ndalem (padahal anak-anak ndalem hanya beberapa jam kerja, tapi biaya hidup mereka ditanggung beliau, dibayarkan syahriyah pondok dan madrasah mereka, jangan dikira kalo khadim Kyai itu tidak bayar syahriyah pondok ataupun madrasah, mereka tetap bayar, tapi yang bayar adalah Mbah Yai, dari kantong pribadi beliau), dan lain sebagainya.
Jadi kalo ada yang bilang santri diperbudak oleh kyainya, mengurus rumah dan memasak untuk kyai tapi tidak dibayar, itu jelas salah besar. Khadim ndalem itu ditanggung biaya hidupnya selama di pesantren, kebutuhan pendidikannya dipenuhi, syahriyah ditanggung, bahkan kitab-kitab yang menjadi kurikulum madrasah juga dibelikan, belum lagi dibelikan pakaian, dan ketika ada kegiatan pondok atau madrasah mereka juga diperintahkan untuk tetap sekolah dan belajar.
Dan tidak ada paksaan sama sekali untuk menjadi khodim ndalem, bahkan mereka sangat senang bisa tetap mondok dengan menjadi anak ndalem. Sebab rata-rata yang berkhidmah di ndalem itu anak-anak dari keluarga kurang mampu, tapi semangat mondok mereka tinggi. Memang ada institusi nonpesantren yang pimpinannya mau membiayai dan mencukupi semua kebutuhan hidup dan pendidikan muridnya hanya dengan imbalan bantuan tak seberapa dan hanya beberapa jam di luar jam belajar mereka?, ada?, berapa jumlahnya? 😊
inframe : Mbah Yai Said Abdurrahim, Mbah Yai Anwar Manshur, Almaghfurlah Mbah Yai Adib Abdurrahim
Oleh Ahmad Atho
