Oleh Muhammad Syamsudin
Beberapa waktu terakhir, masyarakat kembali heboh oleh tantangan terbuka dari seorang pesohor yang dikenal dengan julukan Pesulap Merah kepada para santri Pondok Pesantren Lirboyo. Dengan penuh percaya diri, ia menantang untuk membuktikan apakah santet benar-benar ada atau tidak. Ia menganggap bahwa santet hanyalah tipuan, sugesti, atau permainan psikologis belaka—sesuatu yang bisa dijelaskan dengan logika dan alat-alat sains.
Sekilas, apa yang disampaikan tampak masuk akal. Tetapi di balik logika itu ada hal yang lebih dalam: ia menolak keberadaan sesuatu yang sudah dijelaskan dengan sangat terang oleh wahyu. Ia menolak sisi kehidupan yang tidak kasat mata, padahal Islam dengan tegas menempatkan keimanan pada yang ghaib sebagai bagian paling mendasar dari akidah. Dalam Al-Qur’an Allah menyebut bahwa orang beriman adalah mereka الذين يؤمنون بالغيب—mereka yang beriman kepada hal-hal ghaib.
Santet, atau dalam istilah Al-Qur’an disebut sihir, bukanlah dongeng rakyat atau khayalan orang kampung. Ia nyata, meski tidak dapat ditangkap oleh alat ukur manusia. Allah sudah menyinggungnya dalam surah al-Baqarah ayat 102 ketika menceritakan tentang setan-setan yang mengajarkan manusia sihir pada masa Nabi Sulaiman.
وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ
Dalam ayat itu Allah dengan tegas menjelaskan bahwa sihir itu ada, dan bahkan pelakunya bisa jatuh ke dalam kekufuran karena melibatkan bantuan setan. Ini adalah peringatan keras agar manusia tidak bermain-main dengan hal yang berada di luar batas kekuasaan dirinya.
Bahkan Rasulullah ﷺ—manusia paling mulia dan dijaga dari dosa—pernah diuji dengan sihir. Dalam riwayat sahih disebutkan bahwa beliau disihir oleh seorang munafik bernama Labid bin al-A‘sham. Peristiwa ini bukan untuk menodai kemuliaan Nabi, tetapi justru menunjukkan bahwa sihir itu benar-benar ada, dan bahwa hanya Allah-lah yang berkuasa menyembuhkan. Nabi sendiri berkata setelah Allah menyembuhkannya:
أما الله فقد شفاني، وكرهت أن أثير على الناس شرّا
Allah telah menyembuhkanku, dan aku tidak ingin menimbulkan keburukan di tengah manusia.
Kalimat ini sederhana, tapi penuh makna kemanusiaan. Rasulullah tidak menebar fitnah, tidak mempermalukan pelaku sihir, dan tidak menimbulkan keresahan. Beliau memilih untuk menenangkan umat. Di sinilah letak pelajaran besar bagi kita semua—bahwa menyikapi perkara ghaib tidak bisa dengan provokasi dan tantangan, tapi dengan hati yang tunduk, tenang, dan penuh kebijaksanaan.
Karena itu, ketika seseorang menantang santri untuk membuktikan santet di depan kamera, sebenarnya ia keliru sejak awal. Ia ingin menguji sesuatu yang sifatnya ghaib dengan alat ukur duniawi. Padahal urusan ghaib tidak bisa dibuktikan dengan mikroskop atau eksperimen, karena ia berada di wilayah yang hanya diketahui oleh Allah.
Ilmu pengetahuan adalah anugerah besar. Tapi jika ilmu itu digunakan untuk menolak wahyu, maka justru menjadi sumber kesombongan. Sains dan iman seharusnya berjalan beriringan. Sains mengajarkan cara memahami dunia yang tampak, sementara iman mengajarkan kita untuk menghormati dunia yang tak tampak.
Para ulama sejak dulu sudah sepakat bahwa sihir itu nyata. Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam Fath al-Bari menulis:
أجمع العلماء على أن السحر له حقيقة، وأن له تأثيراً بإذن الله
Para ulama telah sepakat bahwa sihir memiliki hakikat dan pengaruh, atas izin Allah.
Artinya, sihir—dan dalam konteks budaya kita, santet—adalah sesuatu yang mungkin terjadi, tapi tidak bisa keluar dari kendali Allah. Ia tidak memiliki kekuatan mandiri. Allah-lah yang mengizinkan atau menahannya. Maka keyakinan seorang muslim seharusnya tidak goyah oleh perdebatan atau tantangan.
Masalahnya bukan apakah santet bisa dibuktikan atau tidak, tapi apakah kita masih percaya bahwa ada kekuasaan Allah yang bekerja di luar jangkauan akal manusia.
Sihir tidak perlu ditakuti secara berlebihan, tapi juga tidak boleh ditertawakan. Ia bagian dari ujian iman, agar manusia semakin yakin bahwa perlindungan sejati hanya ada pada Allah. Rasulullah ﷺ mengajarkan doa perlindungan yang begitu indah dalam surah al-Falaq dan an-Nas:
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ ... وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ
Katakanlah: Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh, dari kejahatan para penyihir yang meniup pada buhul-buhul.
Ayat ini menenangkan kita. Tidak perlu menantang, tidak perlu takut, cukup kembali kepada Allah. Itulah makna sejati dari iman kepada yang ghaib.
Maka, ketika seseorang dengan enteng berkata bahwa santet tidak ada, sebenarnya ia sedang mengingkari sebagian dari ajaran agama. Ia sedang menutup mata dari kenyataan yang telah ditegaskan oleh wahyu dan disepakati oleh para ulama. Tugas kita bukan menantang ghaib, tapi menundukkan hati kepada Yang Maha Ghaib.
Dan mungkin, justru di sinilah letak kebesaran pesantren—terutama Lirboyo—yang tetap sabar, tidak terpancing emosi, dan memilih menjawab dengan ilmu, bukan kemarahan. Karena bagi mereka, kebenaran tidak perlu dipertontonkan; cukup dijaga dalam keyakinan, diajarkan dengan hikmah, dan dihidupkan dengan iman.