Bismillahirrohmaanirrohiim

𝐇𝐀𝐁𝐈𝐁 𝐙𝐄𝐈𝐍 𝐁𝐈𝐍 𝐈𝐁𝐑𝐀𝐇𝐈𝐌 𝐁𝐈𝐍 𝐒𝐌𝐈𝐓𝐇:𝐔𝐋𝐀𝐌𝐀 𝐌𝐀𝐃𝐈𝐍𝐀𝐇 𝐊𝐄𝐋𝐀𝐇𝐈𝐑𝐀𝐍 𝐍𝐔𝐒𝐀𝐍𝐓𝐀𝐑𝐀 (𝐁𝐀𝐆𝐈𝐀𝐍 𝐥)


Oleh: Zaki Abigeva

𝟭. 𝗣𝗿𝗼𝗹𝗼𝗴
𝟮. 𝗞𝗲𝗹𝘂𝗮𝗿𝗴𝗮 𝗱𝗮𝗻 𝗠𝗮𝗿𝗴𝗮 𝗦𝘂𝗺𝗮𝗶𝘁𝗵
𝟯. 𝗦𝗶𝗹𝘀𝗶𝗹𝗮𝗵 𝗡𝗮𝘀𝗮𝗯
𝟰. 𝗥𝗶𝗵𝗹𝗮𝗵 𝗜𝗹𝗺𝗶𝗮𝗵 𝗱𝗮𝗻 𝗣𝗮𝗿𝗮 𝗚𝘂𝗿𝘂
     𝗔. 𝗣𝗲𝗿𝗶𝗼𝗱𝗲 𝗝𝗮𝘄𝗮
     𝗕. 𝗣𝗲𝗿𝗶𝗼𝗱𝗲 𝗛𝗮𝗱𝗵𝗿𝗮𝗺𝗮𝘂𝘁
     𝗖. 𝗣𝗲𝗿𝗶𝗼𝗱𝗲 𝗕𝗮𝗶𝗱𝗵𝗮'
     𝗗. 𝗣𝗲𝗿𝗶𝗼𝗱𝗲 𝗠𝗮𝗱𝗶𝗻𝗮𝗵
𝟱. 𝗠𝗮𝘁𝗮 𝗥𝗮𝗻𝘁𝗮𝗶 𝗦𝗮𝗻𝗮𝗱 𝗞𝗲𝗶𝗹𝗺𝘂𝗮𝗻 𝗱𝗮𝗻 𝗦𝗮𝗻𝗮𝗱 𝗧𝗵𝗮𝗿𝗶𝗾𝗮𝗵 𝗦𝗮𝗮𝗱𝗮𝗵 𝗔𝗹𝗶 𝗕𝗮'𝗮𝗹𝗮𝘄𝗶 
𝟲. 𝗞𝗮𝗿𝘆𝗮-𝗸𝗮𝗿𝘆𝗮 𝗜𝗹𝗺𝗶𝗮𝗵
𝟳. 𝗜𝗿𝘁𝗶𝗯𝗮𝘁𝗵 𝗞𝘂𝗮𝘁 𝗗𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗛𝗮𝗯𝗮𝗶𝗯, 𝗣𝗲𝘀𝗮𝗻𝘁𝗿𝗲𝗻 𝗱𝗮𝗻 𝗣𝗮𝗿𝗮 𝗠𝘂𝗿𝗶𝗱 𝗱𝗶 𝗡𝘂𝘀𝗮𝗻𝘁𝗮𝗿𝗮
𝟴. 𝗦𝗼𝘀𝗼𝗸 𝗛𝗮𝗯𝗶𝗯 𝗭𝗲𝗶𝗻 𝗯𝗶𝗻 𝗜𝗯𝗿𝗮𝗵𝗶𝗺 𝗱𝗶 𝗠𝗮𝘁𝗮 𝗣𝗮𝗿𝗮 𝗨𝗹𝗮𝗺𝗮'
𝟵. 𝗞𝘂𝗺𝗽𝘂𝗹𝗮𝗻 𝗞𝗮𝗹𝗮𝗺, 𝗜𝗷𝗮𝘇𝗮𝗵 𝗔𝘂𝗿𝗮𝗱 𝗱𝗮𝗻 𝗗𝗼𝗮.

--------

1. Prolog

Ulama ibarat oase di tengah masyarakat. Keberadaan mereka bagai pelita dalam gelap. Dawuh dan bimbingannya laksana embun penyejuk dalam kering dan tandusnya hati. Tak keliru jika mereka disebut pewaris para nabi. Keharuman namanya pun selalu dikenang oleh umat sepanjang zaman. Maka dengan segala hikmah dan kasih sayang-Nya, Allah SWT yang Maha Kasih tak membiarkan umat Islam (dalam setiap generasinya) lengang dari para ulama yang membimbing mereka kepada jalan kebenaran. Diawali oleh para pendahulu terbaik umat ini (𝒔𝒂𝒍𝒂𝒇𝒖𝒔𝒉 𝒔𝒉𝒂𝒍𝒊𝒉) dari kalangan sahabat Nabi, tabi’in, dan tabi’it tabi’in, kemudian secara estafet dilanjutkan oleh para ulama dari generasi ke generasi.

Orang-orang agung yang dipilih oleh Allah SWT sebagai pewaris para nabi yang gigih menjaga ajaran Islam di awal abad 21 ini salah satu yang begitu masyhur di kalangan umat Islam Indonesia adalah Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki. Sepeninggal beliau yang wafat di tahun 2004, kemudian diteruskan putranya yakni Sayyid Ahmad bin Muhammad al-Maliki. Di samping itu masih ada banyak lagi ulama' sepuh dari kalangan saadah (para sayyid atau habaib) dari penjuru arah lainnya yang turut menyebarkan ajaran Islam 'ala manhaj ahlus sunnah wal jamaah dan menjadi rujukan dan cukup berpengaruh di kalangan umat Islam khususnya umat Islam di Nusantara. Sebut saja Habib Abdul Qadir bin Ahmad As-Seggaf Jeddah (w. 2010), Habib Hasan bin Abdullah asy-Syathiri (w. 2004), Sayyid Abbas al-Maliki (w. 2015), Habib Umar bin Hafidz, Habib Abu Bakar al-Masyhur al-Adny, Habib Salim asy-Syatiri (w. 2017), Habib Umar al-Jaylani, Habib Zein bin Ibrahim bin Smith dan masih banyak lagi.

Dan di antara sekian nama yang disebutkan di atas, siapa sangka salah satunya ada yang lahir dan tumbuh remaja di Indonesia. Beliau adalah Habib Zein bin Ibrahim bin Smith. Seorang ulama' agung yang berilmu tinggi, penjaga tradisi ulama' salaf, pejuang ahlus sunnah wal jama'ah yang dikenal 𝒌𝒉𝒖𝒎𝒖𝒍 dan memiliki sifat 𝒕𝒂𝒘𝒂𝒅𝒉𝒖' luar biasa.

Tak hanya manaqib para kiai di Nusantara saja yang perlu diangkat, biografi singkat para sayyid dan habaib seperti Habib Zein bin Ibrahim berikut ini perlu juga untuk disimak dan dikenalkan kembali agar masyarakat mendapat gambaran utuh tentang sosok mereka. Sehingga dengan ahlu bait Nabi SAW kita bisa lebih mengenal, tak mudah dibenturkan, meminimalisir salah paham, curiga dan syak-wasangka yang akhir-akhir ini terkesan tumbuh liar di kalangan awam. Sangat tepat kiranya satu peribahasa lama yang menyebutkan, "tak kenal maka tak sayang". 

2. Keluarga dan Marga Sumaith (Smith)

Al-Habib Zein bin Ibrahim bin Smith dilahirkan pada tahun 1357 H (1936 M) di Kota Jakarta. Beliau lahir dari keluarga yang sholeh dan religius. Ayah beliau, al-Habib Ibrahim bin Zein pernah menjadi imam di Masjid Habib Abdullah bin Muhsin di Bogor di akhir usianya. Bahkan ayah Habib Zein bin Ibrahim ini wafat dan dimakamkan di pemakaman Lolongok tak jauh dari makam keramat Empang Bogor. Di pemakaman ini pula Habib Abdur Rahman bin Ahmad as-Seggaf seorang ulama masyhur dari Bukit Duri Jakarta juga dimakamkan di sana.

Sejarah penamaan marga Smith itu sendiri berawal dari kisah masa kecil Sayyid Muhammad bin Ali yang lahir di Tarim Hadramaut Yaman. Ketika masih kecil, Sayyid Muhammad dipakaikan sebuah kalung oleh ibunya, kalung itu terbuat dari benang. Dalam tradisi Arab, kalung itu disebut sumayt atau sumaith, yang artinya “kalung kecil".

Suatu ketika saat ia sedang berjalan bersama ibunya, tanpa disadari kalung yang dipakai si anak tersebut jatuh. Orang-orang yang melihatnya, kemudian berteriak memanggil mereka dengan menyerukan kata-kata: "𝒔𝒖𝒎𝒂𝒊𝒕𝒉, 𝒔𝒖𝒎𝒂𝒊𝒕𝒉, 𝒔𝒖𝒎𝒂𝒊𝒕𝒉...". Setelah itu panggilan Ibnu Sumaith melekat kepada Sayyid Muhammad, dimana nama ini kemudian juga disematkan kepada anak-anak dan cucunya serta menjadi label marga hingga sekarang.

Pada perkembangannya pengucapan atau penulisan marga Sumaith ini bervariasi meskipun memiliki makna dan akar yang sama, dari 𝑺𝒖𝒎𝒂𝒊𝒕𝒉, 𝑺𝒖𝒎𝒂𝒚𝒕𝒉, 𝑺𝒖𝒎𝒂𝒚𝒕, 𝑺𝒖𝒎𝒂𝒊𝒕, 𝑺𝒆𝒎𝒂𝒊𝒕𝒉, 𝑺𝒆𝒎𝒂𝒊𝒅, 𝑺𝒆𝒎𝒊𝒕, hingga 𝑺𝒎𝒊𝒕𝒉. Di Indonesia sendiri penulisan dan penyebutan kata "Smith" lebih dikenal dan masyhur ketimbang yang lain. Cerita mengenai marga ini juga sempat dituliskan dalam sebuah buku, yang berjudul 𝑺𝒖𝒇𝒊𝒔 𝒂𝒏𝒅 𝑺𝒄𝒉𝒐𝒍𝒂𝒓𝒔 𝒐𝒇 𝒕𝒉𝒆 𝑺𝒆𝒂: 𝑭𝒂𝒎𝒊𝒍𝒚 𝑵𝒆𝒕𝒘𝒐𝒓𝒌𝒔 𝒊𝒏 𝑬𝒂𝒔𝒕 𝑨𝒇𝒓𝒊𝒄𝒂 1860-1925. 

Keturunan Sayyid Muhammad Smith bin Ali menyebar di berbagai wilayah Timur Tengah, sampai di Afrika, hingga ke Nusantara. Orang dengan marga Smith banyak ditemui di beberapa daerah di Indonesia, seperti Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan, bahkan Sulawesi.

Sebenarnya cukup banyak tokoh terkenal dari keluarga Smith di Indonesia, terutama saat era pergerakan nasional pada zaman Belanda. Salah satu tokoh tersebut adalah Sayyid Hasan bin Smith. Ia aktif dan menjadi pengurus 𝒂𝒍-𝑯𝒊𝒍𝒂𝒍 𝒂𝒍-𝑨𝒉𝒎𝒂𝒓 (Bulan Sabit Merah), dulu cukup dikenal karena sempat membuat penggalangan dana besar pada tahun 1912. Selain itu ia merupakan salah satu pemimpin Sarekat Islam (SI) di Surabaya, serta memiliki hubungan sangat dekat dengan H.O.S. Tjokroaminoto selaku pemimpin besar SI pada saat itu. Kiprah Sayyid Hasan semasa pergerakan nasional juga pernah ditulis dalam buku berjudul, 𝑭𝒂𝒊𝒕𝒉 𝒂𝒏𝒅 𝒕𝒉𝒆 𝑺𝒕𝒂𝒕𝒆: 𝑨 𝑯𝒊𝒔𝒕𝒐𝒓𝒚 𝒐𝒇 𝑰𝒔𝒍𝒂𝒎𝒊𝒄 𝑷𝒉𝒊𝒍𝒂𝒏𝒕𝒉𝒓𝒐𝒑𝒚 𝒊𝒏 𝑰𝒏𝒅𝒐𝒏𝒆𝒔𝒊𝒂. 

Tokoh lainnya yang lahir belakangan di antaranya adalah Habib Zein bin Umar bin Smith, beliau adalah ketua Rabithah Alawiyyah Indonesia, sebuah lembaga yang bergerak dalam bidang pencatatan silsilah dzurriyah Nabi yang kantornya berpusat di bilangan Tanah Abang Jakarta. Pernah juga menjabat sebagai mustasyar PBNU (dewan penasehat), namun pasca Munas NU 2019 di Kota Banjar Jawa Barat ia memilih mengundurkan diri secara resmi disebabkan karena beberapa pertimbangan. Meski begitu beliau tetap menjalin silaturrahim dengan baik dan dekat dengan para kiai, pesantren dan tokoh-tokoh NU lainnya. 

3. Silsilah Nasab

Jalur nasab Habib Zein bin Ibrahim sendiri sampai hingga Rasulullah SAW dapat dilacak dari urutannya sebagai berikut:

1. Rasulullah SAW
2. Sayyidah Fathimah az-Zahra
3. Sayyid Husein
4. Sayyid Ali Zainal Abidin
5. Sayyid Muhammad al-Baqir
6. Sayyid Ja'far Shadiq
7. Sayyid Ali al-Uraidhi
8. Sayyid Muhammad an-Naqib
9. Sayyid Isa
10. Sayyid Ahmad al-Muhajir
11. Sayyid Ubaidullah
12. Sayyid Alwi
13. Sayyid Muhammad
14. Sayyid Alwi
15. Sayyid Ali
16. Sayyid Muhammad Shahib al-Mirbath
17. Sayyid Abdul Rahman
18. Sayyid Ahmad
19. Sayyid Alwi
20. Sayyid Ahmad
21. Sayyid Abdul Rahman
22. Sayyid Ali
23. Sayyid Muhammad Smith
24. Sayyid Abdillah
25. Sayyid salim
26. Sayyid Ali
27. Sayyid Abdul Rahman 
28. Sayyid Ahmad
29. Sayyid Abdul Rahman
30. Sayyid Zein
31. Sayyid Muhammad
32. Sayyid Zein
33. Sayyid Ibrahim
34. Sayyid Zein

3. Rihlah Ilmiah dan Para Guru

Pengembaraan Habib Zein dalam mencari ilmu dapat dibagi dalam 4 periode atau masa, hal ini disesuaikan dengan tempat dimana beliau pernah bergelut dengan ilmu dan bermulazamah dengan para gurunya. Berikut ini adalah uraiannya:

𝑨. 𝑷𝒆𝒓𝒊𝒐𝒅𝒆 𝑱𝒂𝒘𝒂

Al-Habib Zein bin Ibrahim Bin Smith mendapat didikan awal agamanya oleh ayahandanya sendiri dan bimbingan para ulama' dan pemuka habaib di Jawa. Sedari kecil beliau telah dibawa oleh ayahnya untuk hadir ke halaqah ilmu, majlis rauhah dan maulid yang dianjurkan oleh Habib 'Alwi bin Muhammad al-Haddad di Bogor naqib para saadah di Tanah Jawa dan seorang ulama dan waliyullah yang terkemuka pada masanya. Habib Alwi wafat pada tahun 1373 H dan dimakamkan di Empang Bogor. Hingga saat ini makamnya banyak diziarahi. Masyarakat awam lebih mengenal dengan sebutan makam Keramat Empang Bogor. Beliau inilah di antara guru awal Habib Zein bin sumaith. Selain itu, Habib Zein juga sering dibawa ayahandanya untuk meneguk ilmu dan hikmah di majlis seorang ulama dan waliyullah yaitu Habib Ali bin Abdur Rahman al-Habsyi (Habib Ali Kwitang). 

𝑩. 𝑷𝒆𝒓𝒊𝒐𝒅𝒆 𝑻𝒂𝒓𝒊𝒎 𝑯𝒂𝒅𝒓𝒂𝒎𝒂𝒖𝒕

Pada tahun 1371 H (1950 M), ketika usianya lebih kurang 14 tahun, Habib Zein dibawa oleh ayahandanya ke Tarim, tempat asal keturunannya. Di sana, Habib Zein tinggal di rumah ayahnya yang telah lama ditinggalkan. beliau berguru kepada sejumlah ulama setempat, berpindah dari madrasah satu ke madrasah lainnya, hingga pada akhirnya beliau belajar di Rubath Tarim.
 
Di antara guru-guru beliau di Tarim adalah: Al-Habib Muhammad bin Salim bin Hafidz, dengan beliau al-Habib Zein bin Ibrahim Bin Smith belajar dan menghafal kitab 𝑺𝒐𝒇𝒘𝒂𝒉 𝒂𝒛-𝒁𝒖𝒃𝒂𝒅 karya Imam Ibn Ruslan, kitab 𝒂𝒍-𝑰𝒓𝒔𝒚𝒂𝒅 karya Ibn Muqri dan 𝑵𝒂𝒅𝒛𝒂𝒎 𝑯𝒂𝒅𝒊𝒚𝒚𝒂𝒉 𝒂𝒔𝒉-𝑺𝒉𝒂𝒂𝒅𝒊𝒒 karya al-Habib Abdullah bin Husein bin Thohir. Selain itu beliau belajar kitab-kitab karangan al-Habib Muhammad bin Salim bin Hafidz dalam ilmu faraidh dan munakahat, sebagian dari kitab 𝑴𝒊𝒏𝒉𝒂𝒋, kitab-kitab tasawwuf dan ilmu falak. 

Selain itu juga berguru kepada al-Habib 'Umar bin 'Alwi al-Kaaf dengan mengkaji ilmu Nahwu, Ma’ani dan Bayan dan menghafal Nadzam 𝑨𝒍𝒇𝒊𝒚𝒚𝒂𝒉. Tak berhenti di situ beliau juga belajar kepada Habib Alwi bin Abdullah Bin Syihaabuddin dan mengikuti majlis-majlis pengajian al-Habib Alwi di Rubath Tarim, juga mengikuti rauhah yang diadakan di kediamannya dan majelis Syeikh Ali bin Abu Bakar as-Sakran.

Semangat mencari ilmu terus berlanjut, hingga Habib Zein bin Smith berguru kepada Habib Abu Bakar 'Atthas bin 'Abdullah al-Habsyi. Dari sini beliau belajar kitab 𝒂𝒍-𝑨𝒓𝒃𝒂𝒊𝒏 𝒂𝒍-𝑼𝒔𝒉𝒖𝒍 karya Imam al-Ghazali. Juga menjadi murid dari Habib Salim bin 'Alwi al-Khird dengan mempelajari kitab 𝑴𝒖𝒍𝒉𝒂𝒒 𝒂𝒍-‘𝑰𝒓𝒂𝒃 karya Abu Muhammad al-Qasim bin ‘Ali al-Hariri al-Bashri. Begitupun juga beristifadah kepada Habib Abdur Rahman bin Hamid as-Sariy mempelajari Ushul Fiqh. Tak sampai di situ beliau juga menjadi murid Syaikh Mahfuz bin Salim az-Zubaidi (ahli fiqih), Syaikh Salim bin Sa`id Bukayyir Baghitsan al-Mufti dan Syaikh Fadhl bin Muhammad Bafadhal. 

𝑪. 𝑷𝒆𝒓𝒊𝒐𝒅𝒆 𝑩𝒂𝒊𝒅𝒉𝒂’

Setelah kira-kira 8 tahun menuntut ilmu di Tarim, Habib Zein bin Smith diperintah oleh guru beliau Habib Muhammad bin Salim bin Hafidz agar "hijrah" ke Kota Baidha' untuk mengajar dan berdakwah di samping meneruskan beristifadah kepada para ulama di sana, di antaranya kepada mufti Baidha`, Habib Muhammad bin 'Abdullah al-Haddar yang kemudian dikenal sebagai ayah mertuanya. 

Kedatangannya ke Baidha` disambut dengan penuh kegembiraan oleh Habib Muhammad bin Abdullah al-Haddar. Habib Zein telah ditugaskan oleh Habib Muhammad al-Haddar untuk mengajar dan membantu beliau dalam berdakwah. Kagum dengan beliau, akhirnya Habib Muhammad al-Haddar menikahkan beliau dengan puterinya. Dengan demikian maka Habib Zein bin Smith dan Habib Umar bin Hafidz adalah sama-sama menantu dari al-Habib Muhammad al-Haddar. 

Sebagai seorang murid dan menantu, Habib Zein diijazahkan pelbagai riwayat oleh Habib Muhammad bin Abdullah al-Haddar. Begitu juga beliau banyak belajar dan mengambil ijazah dari para ulama' lainnya. Seperti: al-Habib Muhammad bin Hadi as-Saqqaf, al-Habib Ahmad bin Musa al-Habsyi, al-Habib 'Umar bin Ahmad Bin Smith, al-Habib Ahmad Masyhur bin Taha al-Haddad dan lain sebagainya.

Beliau terus menetap di Baidha` dan meneruskan pengabdiannya terhadap ilmu dan dakwah dan menjadi rujukan fatwa. Ketinggian ilmunya diakui oleh para ulama sehingga Habib Muhammad al-Haddar menyatakan bahwa apabila sesuatu permasalahan itu telah dijawab oleh Habib Zein, maka tidaklah perlu untuk membuat rujukan lain. 

𝑫. 𝑷𝒆𝒓𝒊𝒐𝒅𝒆 𝑴𝒂𝒅𝒊𝒏𝒂𝒉

Setelah menetap dan mengajar di Baidha' selama kurang lebih 21 tahun dengan mengabdikan diri untuk ilmu dan berdakwah, tepat pada bulan Ramadhan 1406 Habib Zein memutuskan untuk pindah dan menetap di kota datuk beliau, Madinah al-Munawwarah untuk menjadi pengasuh Rubath Habib 'Abdur Rahman bin Hasan al-Jufri atau lebih dikenal dengan sebutan Rubath al-Jufri. Beliau di sana bersama-sama dengan Habib Salim bin Abdullah bin Umar asy-Syathiri diamanati untuk mengasuh Rubath al-Jufri tersebut. 

Walaupun beliau sudah dikenal alim dan mempunyai banyak murid, beliau masih menyempatkan diri untuk menimba ilmu dari ulama-ulama Madinah. Rasa tawadhu', tidak gengsi dan haus akan ilmu begitu jelas beliau perlihatkan dengan berguru di antaranya kepada:

1. Syaikh Muhammad Zaidan asy-Syanqiti al-Maliki, beliau mempelajari ilmu ushul, mengkaji kitab 𝒂𝒕-𝑻𝒊𝒓𝒚𝒂𝒒 𝒂𝒏-𝑵𝒂𝒇𝒊’ ‘𝒂𝒍𝒂 𝑴𝒂𝒔𝒂𝒊𝒍 𝑱𝒂𝒎’𝒖𝒍 𝑱𝒂𝒘𝒂𝒎𝒊’ karya al-Imam Abu Bakar bin Syahab dan kitab 𝑴𝒂𝒓𝒂𝒒𝒊 𝒂𝒔-𝑺𝒖’𝒖𝒅 karya Syarif Abdullah al-‘Alawi asy-Syanqitiy.

2. Syaikh Ahmad bin Muhammad Hamid al-Hasani asy-Syanqiti, beliau mengkaji kitab Syarah al-Qathr, kitab 𝑰𝒃𝒏𝒖 ‘𝑨𝒒𝒊𝒍, 𝑰𝒅𝒉𝒂’𝒂𝒉 𝒂𝒍-𝑫𝒖𝒋𝒖𝒏𝒏𝒂𝒉 karya Imam al-Maqqari, 𝑰𝒕𝒎𝒂𝒎 𝒂𝒅-𝑫𝒊𝒓𝒂𝒚𝒂𝒉 𝒍𝒊 𝑸𝒖𝒓𝒓𝒂 𝒂𝒏-𝑵𝒂𝒒𝒂𝒚𝒂𝒉 karya as-Sayuthi, 𝒂𝒍-𝑴𝒂𝒒𝒔𝒚𝒖𝒓 𝒘𝒂 𝒂𝒍-𝑴𝒂𝒎𝒅𝒖𝒅 dan 𝑳𝒂𝒎𝒊𝒚𝒂𝒉 𝒂𝒍-𝑨𝒇’𝒂𝒍 karya Ibnu Malik, 𝑴𝒖𝒈𝒉𝒏𝒊 𝑳𝒂𝒃𝒊𝒃 karya Ibnu Hisyam, kitab 𝑱𝒂𝒖𝒉𝒂𝒓 𝒂𝒍-𝑴𝒂𝒌𝒏𝒖𝒏 dan lain-lain.

Begitulah keseriusan dan 𝒈𝒉𝒊𝒓𝒂𝒉 Habib Zein bin Ibrahim bin Smith saat bergumul dengan ilmu. Membaca, mengkaji, mengaji dan mengajar adalah bagian terpenting dari keseharian beliau. Layaknya sebuah wirid, akan menjadi hampa dan kosong jika hal itu terlewatkan dikarenakan kebiasaan tersebut telah menjadi kelaziman dan kecintaan beliau sejak lama. Semangat mencari dan menebar ilmu begitu kuat, tak mengenal waktu dan tak kenal tempat.

𝘽𝙚𝙧𝙨𝙖𝙢𝙗𝙪𝙣𝙜... 

(Biografi singkat di atas 𝒊𝒏𝒔𝒚𝒂𝒂𝒍𝒍𝒂𝒉 dapat dinikmati kelanjutannya di bagian epilogue Buku kami yang berjudul: "𝑫𝒂𝒌𝒘𝒂𝒉 𝑴𝒊𝒍𝒍𝒆𝒏𝒊𝒂𝒍 𝑽𝒊𝒂 𝑴𝒆𝒅𝒊𝒂 𝑺𝒐𝒔𝒊𝒂𝒍" jilid 2) 

Sungkem-salim 🤝🙏


.

PALING DIMINATI

Back To Top