Bismillahirrohmaanirrohiim

AMALIAH SHALATREBO WEKASAN: Antara Pro Dan Kontra

AMALIAH SHALAT REBO WEKASAN : Antara Pro Dan Kontra

A.   Diskripsi
Telah dapat diketahui bersama bahwa “Rebo Wekasan” adalah hari Rabo terakhir di bulan shafar (صَفَرْ) dimana masyarakat meyakini bahwa pada hari itu Allah SWT menurunkan 320.000 bala’ (dalam istilas jawa) atau cobaan/bencana. Dari pengertian ini, mereka meyakini bahwa dengan melakukan ibadah shalat di hari “Rebo Wekasan” diharapkan mereka bisa terhindar dan selamat dari bala’ (cobaan/bencana) yang akan turun.
Dalam perkembangan selanjutnya, ibadah shalat Rebo Wekasan tersebut menjadi suatu tradisi yang menjamur di masyarakat, terutama warga Nahdliyyin. Dari tradisi inilah, yang dikemudian hari dikenal dengan istilah “Shalat Rebo Wekasan”.

B.   Tata Cara Melaksanakan Amaliah Shalat Rebo Wekasan
Shalat Rebo Wekasan ini dikerjakan sebagaimana mengerjakan shalat sunah lainnya, yaitu:
a.       Niat shalat sunah
b.      Dikerjakan 4 (empat) rakaat dengan 2 (dua) salam
c.       Tiap-tiap rakaat, membaca:
1)      Surat al-Fatihah 1 (satu) kali
2)      Surat al-Kautsar 17 (tujuh belas) kali
3)      Surat al-Ikhlash 5 (lima) kali
4)      Surat An-Nas 1 (satu) kali

C.   Permasalahan
Dari tradisi amaliyah Shalat “Rabo Wekasan” seperti itulah, muncul pertanyaan besar dikalangan para ahli hukum Islam, diantaranya ialah :
1.      Bagaimana pendapat para Ahli hukum Islam tentang tradisi shalat Rebo Wekasan tersebut…?.
2.      Apakah amalan tersebut terdapat dasar hukumnya, baik yang membolehkan maupun yang tidak membolehkan..?.
3.      Bagaimana analisis dalil yang dipakai oleh para ahli hukum prihal boleh dan tidaknya mengerjakan amalan shalat Rebo Wekasan tersebut..?.

D.   Jawaban Dan Dalilnya
Untuk menjawab masalah tersebut, ditemukan adanya dua pandangan, yaitu:
1.    Pendapat Pertama, membolehkan mengerjakan shalat Rebo Wekasan.
a)    Dasar Hukumnya adalah sbb :
1.      Kitab Mujarrobat, dalam akhir BAB XVIII, yang redaksinya sbb :

فَائِدَةٌ أخْرَى: ذَكَرَ بَعْضُ الْعَارِفِيْنَ مِنْ أهْلِ الْكَشْفِ وَالتَّمْكِيْنِ أنَّهُ يَنْزِلُ كُلَّ سَنَةٍ ثَلاَثُمِائَةٍ وَعِشْرُوْنَ ألْفًا مِنَ الْبَلِيَّاتِ. وَكُلُّ ذَلِكَ فِى يَوْمِ الأرْبِعَاءِ الآخِيْرِ مِنْ شَهْرِ صَفَرَ فَيَكُوْنُ فِى ذَلِكَ الْيَوْمِ أصْعَبَ أيَّامِ السَّنَةِ كُلِّهَا. فَمَنْ صَلَّى فِى ذَلِكَ الْيَوْمِ أرْبَعَ رَكَعَاتٍ .... اِلَخْ.
Artinya:
sebagian orang ma’rifat dari kelompok ahli al-Kasy-syaf dan tamkin menyebutkan bahwa setiap tahun, turun 320.000 (tiga ratus dua puluh ribu) cobaan. Semuanya itu pada hari Rabo akhir bulan shafar (صَفَرْ). Makanya pada hari itu menjadi hari paling sulit-sulitnya hari di tahun tersebut. Barang siapa yang shalat di hari itu 4 (empat rakaat) dan seterusnya…


2.      Kitab Jawahirul Khoms, Oleh Muhammad al-‘Ath-thor, hal: 50-51:

(صلاة الصَّفَر) يُصَلِّى اللَّيْلَةَ الأوْلَى بَعْدَ الْعِشَاءِ وَقَبْلَ الْوِتْرِ اَرْبَعَ رَكَعَاتٍ يَقْرَاءُ فِى الأوْلَى بَعْدَ الْفَاتِحَةِ قُلْ يَا أيُّهَا الْكَافِرُوْنَ وَفِى الثَّانِيَةِ سُوْرَةُ الإخْلاَصِ وَفِى الثَّالِثَةِ الْفَلَقِ وَفِى الرَّابِعَةِ النَّاسِ يَقْرَاءُ فِى كُلٍّ مِنْهَا إحْدَى عَشَرَ مَرَّةً وَيَقُوْلُ بَعْدَ السَّلاَمِ سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ .. اِلَى الْعَظِيْمِ سَبْعِيْنَ مَرَّةً  وَكَذَلِكَ يَقُوْلُ "إيَّاكَ نَعْبُدُ وَ إيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ" بَعْدَ التَّسْبِيْحِ الْمَذْكُوْرِ وَأيْضًا مَنْ يَقْرَاءُ كُلَّ يَوْمٍ مِنْ أيَّامِ صَفَرَ هَذَا الدُّعَاءَ حَفِظَهُ اللهُ تَعَالَى فِى تِلْكَ السَّنَةٍ مِنَ الآفَاتِ وَالْبَلِيَّاتِ اِلَى صَفَرَ الْقَابِل  وَلَمْ يُصِبْهُ فِيْهَا بَلاَءٌ قَطُّ ... اِلَى أنْ قَالَ.... قَالَ الشَّيْخُ قَالَ الشَّيْخُ الْكَامِلُ فَرِيْدُ الدِّيْنْ سكر جنج رَأيْتُ فِى أوْرَادِ الْخَوَارِجَامُعِيْنِ الدِّيْنِ قَدَّسَ اللهُ سِرَّهُ الْعَزِيْرُ إنَّهُ يَنْزِلُ فِى كُلِّ سَنَةٍ ثَلاَث مِائَةِ ألْفِ وَعِشْرِيْنَ ألْفًا مِنَ الْبَلِيَّاتِ  وَكُلُّهَا فِى يَوْمِ الأرْبِعَاءِ  الأخِيْرَةِ مِنْ شَهْرِ صَفَرَ فَيَكُوْنُ ذَلِكَ الْيَوْمُ أصْعَبَ أيَّامِ تِلْكَ السَّنَةِ فَمَنْ صَلَّى فِى ذَلِكَ الْيَوْمِ أرْبَعَ رَكَعَاتٍ يَقْرَاءُ فِى كُلٍّ مِنْهَا بَعْدَ الْفَاتِحَةِ إنَّا أعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ سَبْعَةَ عَشَرَ  وَالإخْلاَصَ خَمْسَ عَشَرَ مَرَّاتٍ وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ مَرَّةً وَيَدْعُوْا بِهَذَا الدُّعَاءِ (بِالدُّعَاء الْمَذْكُوْرِ) حَفِظَهُ اللهُ تَعَالَى بِكَرَمِهِ مِنْ جَمِيْعِ الْبَلاَيَا الَّتِى تَنْزِلُ فِى ذَلِكَ الْيَوْمِ وَلَمْ تَحْمِ حَوْلَهُ بَاِيَّةً مِنْ تِلْكَ الْبَلاَيَا إلَى تَمَامِ السَّنَةِ... إهب
Artinya
( Shalat Shafar/صَفَرْ ) adalah shalat empat rakaat pada malam pertama setelah shalat ‘Isya’ dan sebelum melakukan shalat witir. Dengan tata cara sebagai berikut :
a.       Rakaat pertama, membaca surat al-Fatihah, dan surat al-Kafirun 11 X.
b.      Rakat kedua, membaca surat al-Fatihah, dan surat al-Ikhlash 11 X
c.       Rakaat ke-tiga, membaca surat al-Fatihah, dan surat al-Falaq 11 X
d.      Rakaat ke-empat, membaca surat al-Fatihah, dan surat An-Nas.
e.       Setelah salam, membaca  سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ sampai lafal الْعَظِيْمِ sebanyak 70 (tujuh puluh) kali.
f.       Lalu membaca  إيَّاكَ نَعْبُدُ وَ إيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ sebanyak 70 (tujuh puluh ) kali.
Siapa saja yang membaca do’a tersebut setiap hari di bulan Shafar (صَفَرْ), maka ia dijaga oleh Allah SWT pada tahun itu dari bencana dan musibah sampai bulan shafar (صَفَرْ) yang akan datang dan sama sekali ia tidak terkena mushibah.
Syekh Kamil Fariduddin Sukarja berkata : Saya melihat di dalam kitab Auradil Khowarija karya Syekh Mu’inuddin “semoga di sucikan hatinya oleh Allah”, Sesungguhnya ditiap-tiap tahun akan turun 320.000 bencana, dan semuanya turun pada hari Rabo  dari bulan Shafar (صَفَرْ), maka pada hari ini adalah hari yang paling berat dari hari-hari di tahun tersebut. Maka barang siapa shalat pada hari itu 4 rakaat dan pada setiap rakaat setelah membaca surat al-Fatihah membaca :
·         Surat al-Kautsar 17 X
·         Surat al-Ikhlash 5 X
·         Surat al-Falaq 1 X
·         Surat An-Nas 1 X
Kemudian berdo’a dengan do’a tersebut, maka ia akan dijaga oleh Allah SWT dengan sifat kedermawanannya dari segala bencana yang akan turun pada hari itu, dan di sekitarnya tidak akan terkenan panasnya musibah yang turun pada hari itu sampai sempurna masa setahun.

2.      Pendapat Kedua, mengatakan BID’AH MADZMUMAH, dalam arti Haram dan berdosa.
a)      Dasar Hukum
Dasar Pertama :
Fatwa KH Hasyim Asy’ari, sebagaimana yang tercantum di dalam Hasil Keputusan Bahtsul Masail NU Wilayah Jawa Timur, hal: 13-17 tentang shalat Rebo Wekasan dan rangkaiannya, dengan pertanyaan :
ü  Bagaimana hukum shalat Rebo Wekasan menurut fuqoha’ dan bagaimana pula menurut ulama’ sufi..?.
Jawaban :
Menurut fatwa Rois Akbar al-Marhum Syekh Hasyim Asy’ari tidak boleh shalat Rebo Wekasan, karena tidak disyari’atkan dalam syara’ dan tidak ada dalil syara’nya.
Fatwa Rois Akbar ini sama halnya penadapat yang terdapat di dalam dokumen asli yang ada pada cabang NU Sidoarjo dengan
Pertanyan:
a)      Bagaimana hukum mengerjakan shalat Rabo Wekasan yang disebutkan di dalam kitab Mujarrobat yang redaksinya seperti dibawah ini…?.

فَائِدَةٌ أخْرَى: ذَكَرَ بَعْضُ الْعَارِفِيْنَ مِنْ أهْلِ الْكَشْفِ وَالتَّمْكِيْنِ أنَّهُ يَنْزِلُ كُلَّ سَنَةٍ ثَلاَثُمِائَةٍ وَعِشْرُوْنَ ألْفًا مِنَ الْبَلِيَّاتِ. وَكُلُّ ذَلِكَ فِى يَوْمِ الأرْبِعَاءِ الآخِيْرِ مِنْ شَهْرِ صَفَرَ فَيَكُوْنُ فِى ذَلِكَ الْيَوْمِ أصْعَبَ أيَّامِ السَّنَةِ كُلِّهَا. فَمَنْ صَلَّى فِى ذَلِكَ الْيَوْمِ أرْبَعَ رَكَعَاتٍ .... اِلَخْ.
Artinya:
sebagian orang ma’rifat dari kelompok ahli al-Kasy-syaf dan tamkin menyebutkan bahwa setiap tahun, turun 320.000 (tiga ratus dua puluh ribu) cobaan. Semuanya itu pada hari Rabo akhir bulan shafar. Makanya pada hari itu menjadi hari paling sulit-sulitnya hari di tahun tersebut. Barang siapa yang shalat di hari itu 4 (empat rakaat) dan seterusnya…
b)      Bagaimana hukum mengerjakan shalat hadiyah yang disebutkan di dalam kitab Hasyiyah al-Mubha ‘alas sittina masalah yang tertuang di akhir bab nyelameti mayyat yang redaksinya seperti dibawah ini…..?.

وَنَصَّهُ: فَائِدَةٌ: ذَكرَ فِى نَزْهَةِ الْمَجَالِسِ عَنْ كِتَابِ الْمُخْتَارِ وَمَطَالِعِ الأنْوَارِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله عليه وسلم لاَيَأتِى عَلَى الْمَيِّتِ أشَدُّ مِنَ اللَّيْلَةِ  الأولَى فَارْحَمُوْا مَوْتَاكُمْ بِالصَّدَقَةِ فَمَنْ يَجِدْ فَلْيُصَلِّ رَكْعَتَيْنِ يَقْرَاءُ فِى كُلِّ رَكْعَةٍ فِيْهِمَا فَاتِحَة الْكِتَابِ وَآيَة الْكُرْسِيِّ وَإلَهُكُمْ .... وَ قُلْ هُوَ اللهُ أحَدٌ إحْدَى عَشْرَةَ مَرَّةً وَيَقُوْلُ: أللَّهُمَّ إنِّى صَلَّيْتُ هَذِهِ الصَّلاَةَ وَيَعْلَمُ مَا أُرِيْدُ اللَّهُمَّ ابْعَثْ ثَوَابَهَا إلَى قَبْرِ فُلاَنِ بْنِ فُلاَنٍ فَيَبْعَثُ اللهُ مِنْ سَاعَتِهِ إلَى قَبْرِهِ ألْفَ مَلَكٍ نُوْرٌ هَدِيَّةً يُؤَنِّسُوْنَهُ فِى قَبْرِهِ اِلَى أنْ يُنْفَخَ فِى الصُّوْرِ وَيُعْطِى اللهُ الْمُصَلِّيَ  بِعَدَدِ مَا طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ ألْفَ شَهِيْدٍ وَيُكْسِى ألْفَ حُلَّةٍ. إنْتَهَى وَقَدْ ذَكَرْنَا هَذِهِ الْفَائِدَةَ لِعَظْمِ نَفْعِهَا وَخَوْفًا مِنْ ضِيَاعِهَا , فَيَنْبَغِى لِكُلِّ مُسْلِمٍ أنْ يُصَلِّيْهَا كُلَّ لَيْلَةٍ لأمْوَاتِ الْمُسْلِمِيْنَ
Terjemahan:
Dijelaskan di dalam kitab Nazhatil Majalis dari kitab al-Mukhtar Wa Matholi’ul Anwar, dari Nabi SAW tidak bisa datang pada mayat hal-hal yang lebih berat kecuali pada malam pertama, maka belasilah mereka dengan shadaqah. Siapa saja yang tidak punya, maka shalatlah dua rakaat, setiap rakaat membaca fatihah, ayat kursi dan suratألْهَاكُمُ التَّكَاثُرْ  (al-Hakumut taka tsur), dan قُلْ هُوَ اللهُ أحَدْ (Qul Huwallaohu ahad) 11 kali, dan berdo’a “Ya Allah saya shalat ini, engkau mengetahui apa yang saya kehendaki, ya Allah, kirimkanlah pahala shalatku ini kepada kuburan Fulan bin Fulan. Maka Allah akan mengirimkan saat itu juga 1000 malaikat ke kuburan Fulan dan setiap Malaikat membawa Nur sebagai hadiyah yang bisa menghibur di kuburannya, sampai terompet di tiupkan (dihari kiyamat) dan bagi orang yang melakukan shalat tersebut akan di beri pahala dengan pahala orang yang mati syahid sebanyak benda  yang tersinari matahari, dan akan diberi pakaian perhiyasan sebanyak 1000 macam. Telah saya sebutkan ini karena sangat besar manfaatnya dan takut tersia-sia. Maka sebaiknya, bagi setiap muslim untuk melakukan shalat tersebut pada setiap malam untuk kemanfaatan orang islam yang sudah mati.
Jawaban:
a)      Tidak boleh memberikan fatwa dan mengajak orang lain untuk mengerjakan shalat Rebo Wekasan dan shalat Hadiyah, sebab kedua ibadah shalat ini tidak termasuk shalat yang disyari’atkan dalam syara’dan tidak ditemukan adanya kalimat USHALLI (اُصَلِّى) dalam syara’, sebab hal ini tidak ditemukan di dalam kitab-kitab fiqh yang mu’tabar, seperti kitab Taqrib, Kitab al-Minhaj al-Qowim, Kitab Fathul Mu’in, Kitab al-Tahrir, Kitab Tuhfah, kitab al-Nihayah, kitab al-Muhadzab dan kitab Ihya’ Ulumuddin.
Dan seandainya ada dasarnya, maka pasti para pengarang kitab-kitab mu’tabar diatas berlomba-lomba untuk mencantumkannya di dalam kitab mereka dan menyebutkan fadlilahnya.
b)      Tidak boleh pula mengambil hukum untuk suatu kasus dari kitab Mujarrobat dan kitab Nuzhatul Majalis. Hal ini berdasarkan pada keterangan kitab - kitab sbb :
1.      Kitab Hawasyil Asybah Wa al-Nadloir, karya imam al-Hamdi, beliau berkata sebagai berikut: 
قَال: وَلاَيَجُوْزُ الإفْتَاءُ مِنَ الْكُتُبِ الْغَيْر الْمُعْتَبَرَة
2.      kitab Tadzkiratul Maudlu’ah karya Mula ‘Ali al Qori’, katanya sbb :
لاَيَجُوْزُ نَقْلُ الأحَادِيْثِ النَّبَوِيَّةِ وَالْمَسَائِلِ الْفِفْهِيَّةِ وَالتَّفَاسِيْرِ القُرْأنِيَّةِ إلاَّ مِنَ الْكُتُبِ الْمُدَاوَلَةِ (الْمشهورة) لِعَدَمِ الإعْتِمَادِ عَلَى غَيْرِهَا مِنْ وضع الزَّنَادِقَةِ وَإلْحَادِ الْملاَحَدَةِ بِخِلاَفِ الْكُنُبِ الْمَخْفُوْظَةِ. أنتهى...
3.      kitab Tanqih al-Fatwa al-Hamidiyyah yang berbunyi 
وَلاَيَحِلُّ الإفْتَاءُ مِنَ الْكُتُبِ الْغَريْبَةِ وَقَدْ عَرَفْت أنَّ نَقْلَ الْمُجَرَّبَاتِ الدَّيْرِيْبِيَّةِ وَحَاشِيَةِ السِّتِّيْن لاسْتِحْبَابِ هَذِهِ الصَّلاَةْ الْمَذْكُوْرَةِ يُخَالِفُ كُتُبَ الْفُرُوْعِ الْفِقْهِيَّةِ فَلاَ يَصِحُّ وَلاَيَجُوْزُ الإفْتَاءُ بِهَا
4.      Adanya penjelasan bahwa hadits yang terdapat di dalam kitab Hasyiyah al-Sittin tersebut adalah hadits maudlu’, sebagaimana penjelasan kitab al-Qostholani ‘alal Bukhori yang katanya sbb:
وَيُسَمَّى الْمُخْتَلف الْمَوْضُوْع وَيَحْرُمُ رِوَايَتُهُ مَعَ الْعِلْمِ بِهِ مُبَيَّنًا وَالْعَمَلُ بِهِ مُطْلَقًا. انتهى
قَال فى نيل الأمَانى: وَيَحْرُمُ رِوَايَتُهُ أى عَلَى مَنْ عَلِمَ أوْ ظَنَّ  أنَّهُ مَوْضُوْعٌ سَوَاءٌ كَانَ فِى الأحْكَام أوْ فِى غَيْرِهَا كَالْمَوَاعِظِ وَالْقِصَصِ وَالتَّرْغِيْبِ إلاَّ مَعَ بَيَانِ وَضْعِهِ لِقَوْلِهِ صلى الله عليه وسلم: مَنْ حَدَّثَ عَنِّى يَرَى أنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أحَدُ الْكَذَّابِيْنَ وَهُوَ مِنَ الْكَبائِر حَتَّى قَالَ الْجُوَيْنِى عَنْ أئِمَّةِ أصْحَابِنَا يَكْفُرُ مُتَعَمِّدُهُ وَيُرَاقُ دَمُهُ. وَالْجُمْهُوْرُ أنَّهُ لاَيَكْفُرُ إلاَّ إن اسْتَحَلَّهُ وَإنَّمَا يُضَعَّفُ وَتُرَدُّ رِوَايَتُهُ بَلْ يُخْتَمُّ ... إنتهى. وَليْسَ لإحَدٍ أنْ يَسْتَبْدِلَ بِمَا صَحَّ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم أنَّهُ قَال: الصَّلاَةُ خَيْرُ مَوْضُوْعٍ فَمَنْ شَاءَ فَلْيَسْتَكْثِر فَمَنْ شَاءَ فَلْيَسْتَقْلِلْ, فَإنَّ ذَلِكَ مُخْتَصٌّ بِصَلاَةٍ مَشْرُوْعِيَّةٍ
(Sekiranya kesunatannya shalat hadiyah tidak bisa tetap dengan menggunakan dalil berupa hadits maudlu’, maka status kesunatani mengerjakan shalat rebo wekasan juga tidak bisa tetap dengan menggunakan dasar sabdanya sebagian ulama ahli ma’rifat, bahkan bisa dianggap haram lantaran bisa dianggap melakukan pembawuran ibadah dengan ibadah yang dianggap fasidah. Ini jawaban al-faqir Muhammad Hasyim Asy’ari Jombang).
Dasar Kedua dari landasan dasar hukum pendapat kedua adalah Kitab Minhajus Surur, hal: 17-18, yaitu:
(تَنْبِيْهٌ) قَال الْعَلاَّمَةُ الشَّيْخ زَيْنُ الدِّيْن تِلْمِيْذُ ابْنِ حَجَر الْهَيْتَمِى فِى كِتَابِ إرْشَاد الْعِبَاد كَغَيْرِهِ مِنْ عُلَمَاء الْمَذْهَبِ وَمِنَ الْبِدَعِ الْمَذْمُوْمَةِ الَّتِى يَأثِمُ فَاعِلُهَا وَيَجِبُ عَلَى وُلاَةِ الأمْرِ مَنْعُ فَاعِلِهَا صَلاَة الرَّغَائِبِ.. الَى أنْ قَال... أمَّا أحَادِيْثُهَا فَمَوْضُوْعَةٌ بَاطِلَةٌ وَلاَ يَغْتَرُّ عَنْ ذِكْرِهَا إنتهى. قُلْتُ  وَمِثْلُهُ صَلاَةُ الصَّفَرِ..... انتهى
Artinya:
(Peringatan). Al-‘allamah syekh Zainuddin, murid Ibnuy Hajar al-Haitami berkomeantar dalam kitabnya Irsyadul ‘Ibah sebagaimana komentar para ulama madzhab Syafi’i:  tergolong bid’ah-bid’ah yang tercelka dan berdosa bagi pelakunya dan wajib bagi para penguasa untuk melarang pelakunya, yaitu adalah shalat raghaib. Sedang hadfis yang dipakai pegangan adalah hadits palsu yang batil, dan tertipu yang menyebutkannya. Saya berkata seperti shalah al-Ragaib adalah shalat shafar (صَفر)

E.   Analisis dalil
Dari paparan dalil-dalil tentang kasus shalat “Rebo Wekasan” seperti tersebut diatas, dapat diambil analisisnya sebagai berikut :
1.      Dalam tradisi ilmu Hadits disebutkan bahwa penutur (perawi) riwayat dalam dalil pertama seperti yang termaktub di dalam kitab Mujarrobat, nampaknya penuturan sebagian ahli ma’rifat dalam redaksinya masih Mubham (samar). Hal ini bisa dilihat dari adanya ketidak jelasan pada :
a.       Siapa perowi yang dimaksud dalam kalimat sebagian ahli ma’rifat tersebut.
b.      Dari perowi siapa penukilan riwayat tersebut.
2.      Kitab Mujarrobat yang dijadikan landasan amaliyah shalat Rebo Wekasan itu, tidak termasuk kategori kitab-kitab fiqh yang mu’tabar atau represintatif sebagai dasar beristinbat hukum.
3.      Begitu juga dalam landasan hukum dalil kedua seperti yang termaktub di dalam kitab Jawahirul Khoms, yang dalam penuturan perowi dalam redaksinya masih juga dianggap Mubham (samar). Hal ini bisa dilihat dari adanya :
a)      Siapa Syekh al-Kamil Faridudin Sakarjanj dan
b)      Siapa pula syekh Khowarija Mu’inuddin
Sehingga identitas keduanya dinilai tidak jelas (Majhulil Hal/مَجْهُوْل الْحَال)
4.      Peraktik amaliah shalat Rebo Wekasan seperti itu, tidak ditemukan atau termaktub di dalam kitab-kitab tasawwuf yang dianggap mu’tabar, seperti kitab Ihya’ ‘Ulumuddin, karya Imam al-Ghazali, atau kitab al-Ghunyah karya Syekh Abdul Qadir al-Jilani dan lain sebagainya.Begitu juga tidak ditemukan didalam kitab-kitab fiqh mu’tabaroh.
5.      Adanya Talabbus bi ‘ibadatin fasidatin ( pembawuran ibadah dengan ibadah yang fasid), sebagaimana pandangan al-faqir Muhammad Hasyim Asy’ari Jombang ).
Dari adanya kekuatan dalil-dalil dari pendapat diatas, jika dilihat dari sisi kualitasnya, maka pendapat yang mengharamkannya itu lebih kuat dari pada yang membolehkannya. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqhiyyah sebagai berikut:
إذَا تَعَارَضَ الْمُقْتَضَى وَالْمَانِعُ قُدِّمَ الْمَانِعُ
Jika terjadi pertentangan antara muqtadli (yang menginstruksikan) dan mani’ (yang melarang), maka yang diperioritaskan adalah al-mani’ (yang melarang)
Akan tetapi, jika masih ditemukan adanya masyarakat yang meyakini akan kebolehan melakukan shalat rebo wekasan, maka sayogyanya dilakukan dengan cara sbb :
a.       Niatnya shalat nafl mutlak
b.      Dilakukan sendiri-sendiri
c.       Tidak ditentukan bilangan rakaatnya
Sebagaimana yang termaktub di dalam kitab Minhajus Surur, hal: 18, yaitu
فَمَنْ أرَادَ الصَّلاَةَ فِى وَقْتِ هَذِهِ الأوْقَاتِ فَالْيَنْوِ النَّفْلَ الْمُطْلَقَ فُرَادَى مِنْ غَيْرِ عَدَدٍ مُعَيَّنٍ وَهُوَ مَا لاَ يُتَقَيَّدُ بِوَقْتٍ وَلاَ سَبَبٍ وَلاَ حَصْرَ لَهُ. انتهى
Artinya :
Siapa saja yang masih berkeinginan untuk melakukan shalat shafar (صَفَرْ), sebaiknya dilakukannya dengan berniat shalat sunnah mutlak secara sendiri-sendiri tanpa ditentukan jumlahnya dan tidak terikat dengan waktu dan sebab.


.

PALING DIMINATI

Back To Top