Bismillahirrohmaanirrohiim

Ketika Salafi-Wahabi Menyusun Ensiklopedi

oleh: Abdul Wahab Ahmad, MHI

Sudah jamak diketahui bahwa Salafi-Wahabi tidak punya akar sejarah hingga ke zaman salaf (tiga generasi pertama). Akar gerakan tersebut hanya sampai pada Muhammad ibn Abd al-Wahhab (1206 H) dari Nejd yang banyak meramu pemikirannya dari pendapat-pendapat Ibnu Taymiyah al-Harrani (728 H.) dan murid-muridnya, terutama Ibnu Qayyim al-Jauziyah (751 H). Namun demikian, sudah maklum bahwa mereka mengklaim gerakannya adalah gerakan yang bersumber langsung dari al-Qur’an, Hadis serta tindak tanduk para ulama saleh. Atas klaim ini mereka menyebarkan gerakannya ke seluruh dunia dengan label purifikasi atau pemurnian; Pemurnian pemahaman agama yang menurut mereka telah dikotori dengan bid‘ah dan kemusyrikan.
Meskipun gerakan Salafi-Wahabi kini telah menyebar luas, namun tentu saja gerakan ini tetaplah minoritas di kalangan muslim dunia saat ini yang mayoritas bermazhab Syafi’i dan ketiga mazhab fikih lain dan mengikuti konsep tauhid ulama salaf yang dihidupkan kembali oleh Imam al-Asy’ari dan al-Maturidi. Kalau kita melihat ke belakang hingga ke zaman sahabat, tentu gerakan Salafi-Wahabi ini makin terlihat minoritas karena yang diajarkan oleh mayoritas ulama dari dulu hingga sekarang tidaklah sama, bahkan bertentangan, dengan apa yang diserukan oleh gerakan ini.
Dewasa ini ada kalangan Salafi-Wahabi yang menyusun sebuah Ensiklopedi tentang akidah dan metode pengajaran para intelektual muslim dari zaman sahabat hingga kini. Isinya antara lain tentang akidah dan posisi lebih dari seribu ulama dalam menyikapi bid‘ah, kemusyrikan dan berbagai aliran menyimpang. Judulnya adalah Mausu’ah Mawāqif a-Salaf Fi al-Aqidah wa al-Manhaj wa al-Tarbiyah (Ensiklopedi posisi Salaf dalam akidah, manhaj dan pengajaran) karya Abu Sahl Muhammad dan diterbitkan di Kairo oleh penerbit al-Maktabah Islamiyah. Fenomena ini sangat menarik karena bila Ensiklopedia tersebut menyebutkan profil tokoh-tokoh besar dari generasi salaf hingga kini, maka semestinya itu menjadi “senjata makan tuan” bagi mereka karena mayoritas tokoh-tokoh tersebut tidak sependapat dengan Salafi-Wahabi dalam banyak masalah. Di sinilah menariknya dan di sini pulalah kejanggalannya hingga membuat saya menulis artikel ini di situswahab.
Ternyata, meskipun Ensiklopedi tersebut dibuat seilmiah mungkin, karena karya ini sebenarnya adalah sebuah disertasi doktoral dari si penulis, dan berukuran jumbo hingga sepuluh jilid, namun itu tidak membuatnya objektif dan netral. Karya yang seharusnya hebat tersebut tak lebih dari sekedar apologi dan klaim terhadap ajaran Salafi-Wahabi dengan “bersembunyi” di belakang nama-nama besar para ulama. Sangat disayangkan karya besar tersebut bukan hasil penelitian objektif tentang pemikiran tokoh-tokoh Islam yang diakui dunia dalam memandang akidah, bid‘ah, kemusyrikan dan aliran sempalan.
Untuk membuktikan subtjektifitas pengarang ensiklopedi yang sangat tendensius itu sangat mudah. Ini bisa dilihat dari indikasi sederhana berikut:
  • Pandangan ulama salaf tentang masalah bid‘ah.
Dalam wacana Islam sudah maklum bahwa Imam al-Syafi’i (204 H), Imam Imam al-Qurthubi (656 H), Imam Izz Ibn Abd al-Salam (660 H), Imam Abu Syamah al-Dimasyqi (665 H), Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani (852 H), Imam Nawawi (676 H) dan banyak sekali nama besar lain­—terutama dari kalangan Syafi’iyah—yang secara global membagi bid‘ah menjadi dua, yakni bid‘ah sayyi’ah (buruk) dan bid‘ah hasanah (baik) dan secara detail membagi bid‘ah menjadi lima hukum, yakni: wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Hal ini salah satunya didasarkan pada perkataan Khalifah Umar bin Khattab (23 H) yang terkenal tentang salat Tarawih: نعمت البدعة هذه (bid‘ah yang paling baik adalah ini).
Namun tentu saja karena pembagian bid‘ah menjadi dua dianggap sebagai pendapat sesat oleh Salafi Wahabi, maka jangan harap anda temukan pembagian seperti ini dalam profil nama-nama besar yang saya sebut di atas. Perkataan “cerdas” Khalifah Umar tersebut juga tidak ada dalam profil beliau ketika memandang bid‘ah. Seperti diduga sebelumnya, perkataan Khalifah Umar tersebut justru dibahas panjang lebar dalam pembahasan tentang posisi Ibnu Taymiyah al-Harrani dalam memandang bid‘ah yang tentu saja sesuai dengan madzhab Salafi-Wahabi sendiri meskipun nyata-nyata berbeda dengan pemahaman ulama-ulama besar sebelum dan sesudah era Ibnu Taymiyah.
Dalam profil Imam Abu Syamah al-Dimasyqi misalnya (Vol. VII, hlm. 394), ditulis bahwa secara global di masa itu tidak ada orang yang seperti beliau dalam keberagamaannya, iffah-nya dan amanahnya. Tapi kemudian kitab beliau yang berjudul al-Bā’its ‘ala Inkar al-Bida’ (Motivasi pengingkaran terhadap bid‘ah) disebut “mengandung sesuatu yang berlawanan dengan akidah salaf” karena kitab tersebut mendukung perayaan maulid Nabi. Padahal hakikatnya kitab tersebut membahas tentang bid‘ah dengan baik dan objektif dengan disertai dalil-dalil yang memadai. Silakan anda buktikan sendiri objektivitas kitab Imam Abu Syamah itu dan bandingkan dengan isi Ensiklopedi tersebut.
  • Pandangan ulama salaf dalam masalah takwil.
Sudah maklum dalam kajian-kajian hadis dan tafsir bahwa Sahabat yang bergelar Tarjuman al-Qur’an, yakni Ibnu Abbas (68 H) melakukan takwil terhadap ayat sifat Allah, seperti komentarnya terhadap ayat al-Qalam: 42 yang mentakwil kata “betis” dengan arti “kesulitan”, begitu pula komentarnya terhadap ayat al-Dzariyat: 47 yang mentakwil kata “tangan-tangan” dengan “kekuasaan”. Takwilan Ibnu Abbas terhadap ayat sifat Tuhan tersebut diikuti oleh ulama-ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah setelah beliau, semisal Imam Mujahid (101 H), Qatadah (117 H), Sufyan al-Tsauri (161 H) dan mayoritas ulama lain setelah mereka. Ini bisa dilihat dalam tafsir-tafsir salaf semisal al-Thabari, al-Qurthubi, Ibnu Kathir atau lainnya selain tafsir-tafsir karya Salafi-Wahabi.
Namun tentu saja karena takwil terhadap ayat-ayat sifat merupakan “kesesatan yang tak terampuni” menurut Salafi-Wahabi, maka jangan buang-buang waktu mencari komentar para ulama salaf yang melakukan takwil terhadap ayat-ayat sifat dalam ensiklopedia tendensius ini kecuali pasti “dihakimi”.
Kita lihat misalnya pembahasan tentang Imam besar Ahlus Sunnah wa al-Jama’ah, Imam Abu al-Hasan al-‘Asy’ari (324 H). Sudah maklum bersama bahwa beliau melakukan takwil terhadap ayat-ayat sifat sehingga Salaf-Wahabi sangat anti terhadap para Asy’ariyah (Pengikut Imam Asy’ari). Si penulis Ensiklopedi tampaknya tak kuat menahan kegundahannya pada tokoh mulia satu ini sehingga berkomentar sinis seperti berikut:
 والذي تبين لي أن أبا الحسن رجع عن مذهب الاعتزال، ورد عليه، وهذا أمر مجمع عليه، واعتنق مذهب أهل السنة، ولكن مع بقايا من علم الكلام والتأثر بمذهب المعتزلة، والرجل لم يكن له علم بالحديث ولا أهله، وإن ذكروا في ترجمته أنه تلقى بعض علم الحديث، عن زكريا بن يحيى الساجي، فلعل ذلك كان قليلاً. (أبو سهل محمد بن عبد الرحمن المغراوي، موسوعة مواقف السلف في العقيدة والمنهج والتربية، المكتبة الإسلامية للنشر والتوزيع، القاهرة،  ج: 5 ص: 88)
Yang jelas bagiku sesungguhnya Abu al-Hasan keluar dari madzhab Muktazilah dan menolaknya, ini sudah jadi kesepakatan. Kemudian dia memeluk madzhab Ahlus Sunnah, tetapi tetap menyisakan ilmu kalam dan pengaruh madzhab Muktazilah. Orang itu tidak punya ilmu hadis dan bukan ahlinya. Meskipun mereka menyebut dalam profilnya bahwa dia menerima sebagian ilmu hadis dari Zakaria bin Yahya al-Saji, mungkin itu hanya sedikit.
Tidak perlu saya sebutkan bagaimana pendapat penulis Enskilopedi tendensius tersebut panjang lebar, tapi yang perlu digarisbawahi adalah “penghakimannya” terhadap tokoh Ahlus Sunnah wa al-Jama’ah yang ilmunya diakui semua ulama besar tersebut karena seperti biasa didasari pada statemen-statemen “hakim agungnya” yang sepertinya menurut si penulis Ensiklopedi itu tidak mungkin salah. Anda pasti paham siapa yang saya maksud, siapa lagi kalau bukan Ibnu Taymiyah dan muridnya, Ibnu al-Qayyim al-Jawziyah yang notabene jauh lebih khalaf daripada Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari tapi selalu mengesankan dirinya sebagai “salafi”.
Begitulah secuil contoh di antara subjektivitas penulis ensiklopedi yang sangat menyalahi norma keilmuan tersebut karena menyembunyikan kebenaran tentang posisi ulama salaf dalam memandang banyak permasalahan. Penulisnya terlihat jelas dengan sengaja mengesankan bahwa madzhab Salafi-Wahabi benar-benar madzhab salaf dengan cara membuang komentar-komentar para ulama salaf yang bertentangan dengan keyakinan pribadinya. Tetapi bagaimana pun kebenaran disembunyikan, dia akan tetap mencuat keluar dengan sendirinya dengan pertolongan Allah. Berikut ini beberapa contoh kebenaran yang samar-samar mengintip keluar di antara aura tendensius ensiklopedi tersebut:
  • Dalam profil Ibnu Abbas ra, disebutkan komentar beliau:
ما كان في القرآن من حلال أو حرام فهو كذلك، وما سكت عنه فهو مما عفي عنه. (ج: 1 ص: 324)
Apa yang dalam al-Qur’an dihalalkan atau diharamkan, maka seperti itulah dan apa yang didiamkan, maka termasuk yang dimaafkan (mubah).
Mungkin penulisnya tidak menyadari bahwa komentar Ibnu Abbas ra. tersebut adalah dalil bahwa apa-apa yang tidak diterangkan oleh al-Qur’an dan al-Hadis hukum asalnya adalah mubah, bukan dengan serta merta divonis sebagai bid‘ah yang sesat.
  • Klaim bahwa tauhid terbagi tiga sama sekali tidak ada dalam profil ulama salaf manapun karena yang memulai pembagian kontroversial yang menyulut fitnah besar itu (fitnah menggolongkan orang yang disebut al-Qur’an sebagai musyrik pada golongan orang bertauhid dan fitnah menggolongkan ahli tauhid pada golongan kaum musyrik serta fitnah akidah tajsim hasyawiyah) memang bukan ulama salaf, tapi ulama belakangan. Anda tentu bisa menebak siapa yang saya maksud.
  • Dalam mukaddimahnya (hlm. 7), Si Penulis mengakui bahwa yang mencela gerakan yang dia sebut sebagai “Salafiyah” adalah ندوة كبيرة في بعض البلاد الإسلامية (Kumpulan besar orang di sebagian negeri-negeri Islam) meskipun sebenarnya bukan di sebagian negara Islam saja, tapi di hampir semua negara Islam. Tapi setidaknya penulisnya juga mengakui bahwa كبار القوم (orang-orang besar/ulama) juga ikut andil dalam usaha mencela “Salafiyah” itu dan menyebarkan kritik melalui media masa. Ini bukti kalau gerakan yang dibelanya adalah minoritas.
  • Juga dalam mukaddimahnya (hlm. 7), Si Penulis yang waktu itu masih kandidat Doktor itu mengaku bahwa posisi dan manhaj salaf (yang menurutnya benar) tidak diketahuinya kecuali dalam buku-buku Ibnu Taymiyah, ibnu al-Qayyim dan Muhammad bin Abd al-Wahab saja. Bagi orang yang berpikiran jernih, tentu aneh dan tidak masuk akal bila manhaj dan posisi ulama salaf hanya ada dalam buku tiga orang muta’akhkhirin (ulama belakangan) itu karena kitab-kitab ulama salaf (yang sebenarnya) telah tersebar luas ke seluruh dunia. Ucapan Si penulis yang kandidat Doktor itu justru menandakan bahwa keyakinan yang dianutnya tidak punya akar sejarah pada ulama salaf dan bahwa pemikirannya eksklusif terfokus pada pemikiran tiga orang itu saja tanpa memedulikan ulama lain.
Semoga tulisan sederhana ini dapat menjadi informasi bermanfaat mengingat ensiklopedi ini sekarang telah dijadikan salah satu standar rujukan profil (tarjamah) dalam aplikasi Maktabah Syamilah terbaru saat tulisan ini dibuat.
*Informasi lengkap tentang kitab-kitab yang membahas tentang bid’ah, madzhab Asy’ariyah, Wahabiyah, takwil dan hal lain-lain yang disinggung dalam tulisan ini tidak disampaikan secara lengkap karena sempitnya waktu dan ruang. Mohon maaf bila ini tidak memuaskan, tapi semuanya terjamin valid dan saya rasa dapat dengan mudah dilacak.
[ http://situswahab.wordpress.com/2012/07/02/ketika-salafi-wahabi-menyusun-ensiklopedi/]


.

PALING DIMINATI

Back To Top