Bismillahirrohmaanirrohiim

Laporan Bedah Buku Hadâiq Al-Ahzân Karya Musthafa Labbad


oleh Lakpesdam Mesir pada 19 Maret 2012 pukul 22:19 






Sebagai sebuah Negara Republik Islam, Iran (Persia) menjadi potret yang unik dari citra suatu peradaban manusia. Mengingat mengkaji Iran, sebagaimana disinggung Musthafa Labbad, berarti mengkaji sebuah peradaban yang mempunyai banyak wajah. Ada keunikan tersendiri, baik secara tradisi, sejarah filsafat, hingga nalar irfâniy (sufism) yang mereka miliki. Hal ini tentunya juga akan menjadi tantangan tersendiri bagi para pengkaji Iran, mulai dari analisa agama, politik, hingga kebudayaan di dalamnya. Karena selama ini, analisa yang hadir, terutama terkait sekte Syi`ah, masih cenderung berpijak pada nilai-nilai doktrinal ketika mendekatinya. Seolah ada semacam ketegangan yang tidak bisa dijembatani, sehingga pembacaannya tidak bisa hadir secara objektif. Hal ini jelas terlihat sebagaimana isu sekte Syi`ah yang marak diperbincangkan di Indonesia masih berkutat pada paradigma doktrin Syi`ah-Sunni secara parsial.

Tapi tidak sedikit pula cendikiawan muslim yang mencoba mereduksi ketegangan doktrinal tersebut, dengan melakukan pembacaan Syi`ah sedekat mungkin dari akar paradigmatiknya, dengan berusaha mencari titik temu antara sekte Sy`iah dan Sunni. Kendati upaya ini terkadang menuai pro dan kontra dikalangan kaum elit agama Islam itu sendiri, namun perjuangan harmonisasi itu tetap digalakan. Atas dasar semangat objektivitas itulah, Lembaga Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PCINU-Mesir pada kesempatan kali ini mencoba membedah buku karya Musthafa Labbad yang berjudul ‘Hadâiq Al-Ahzân’, dengan Ahmad Hadidul Fahmi sebagai pembedah dan Muslihun Maksum sebagai moderator. Buku ini sendiri secara umum mengkaji tatanan politik Syi`ah, mulai dari kemunculanya sampai terbentuk menjadi Republik Islam Iran.

Pada mulanya, sebagai bagian dari potret laku keberislaman, sekte Syi`ah cenderung tertutup. Tidak banyak—untuk tidak mengatakan tidak ada—di luar mereka yang bisa mengkonsumsi buku-buku Syi`ah. Buku-buku Syi`ah justru baru bisa dikonsumsi oleh masyarakat umum tatkala meletusnya revolusi Iran pada tahun 1979. Namun pada tahapan awal, kemunculan buku-buku Sy`iah tersebut masih berupa berkutat pada sentiment sektarian, terutama oleh sekte Sunni. Hal ini menyebabkan terjadinya pembacaan miring terhadap sekte tersebut. Bisa jadi, karena referensi yang digunakan pengikut Sunni masih terbilang karya sekunder. Sebaliknya Sy`iah justru telah banyak membaca karya orang-orang Sunni. Tidak berhenti pada karya-karya ulama Sunni, mereka juga sering kali menelaah tulisan-tulisan Muktazilah. Tak heran, paradigma keberislaman Syi`ah mempunyai kaitan doktrinal yang cukup kuat dengan sekte Muktazilah yang notabene berpengaruh besar terhadap perkembangan gerakan politik Iran. Rasionalitas Muktazilah ini terimplementasikan dalam perkembangan teknologi yang sangat pesat dan membanggakan hingga saat ini.

Kembali ke buku tadi, menarik untuk dicermati bahwa salah satu alasan Musthafa Labbad menamainya dengan Hadaiq Al-Ahzân karena dia sangat takjub dengan peradaban Iran yang memiliki taman-taman yang sangat indah dan konstruksi bangunan-bangunannya yang terbilang unik. Lain pada itu, Mustafa Labbad seolah ingin menceritakan kesedihan-kesedihan masyarakat Iran yang cenderung terkucilkan, sebagai kelompok minoritas yang ‘murung’. Seoalah sengaja tidak dilibatkan dalam proses pembentukan identitas Islam secara umum yang masih didominasi oleh citra Sunni. Mengingat, doktrin imamologi yang mengakar kuat dalam kesadaran mereka mendapat resistensi yang hebat dari ‘lawan-lawannya’.

Pada titik ini, Musthafa Labbad hendak menganalisa doktrin sekte Syi`ah yang begitu kental, utamanya terkait gagasan Wilayât al-Faqîh (Guardianship of the Islamic Jurists). Ia memulai analisanya dengan melacak akar historis gerakan-gerakan sekte Syi`ah dan relasi para fuqaha dengan Negara Iran (pasal pertama). Sudah sejak lama, gerakan politik Iran sangat kuat berkelindan dengan agamawan, bahkan sudah sejak peradaban Arsacides (249 SM.-226 M.), yang termanifestasikan dalam bentuk—katakanlah—majlis pemusyawaratan para agamawan. Bahkan tradisi ini berlanjut hingga peradaban Sasania (Sassanid Empire-652 M.). Adapun masuknya Islam ke Iran pada abad ke-7 M tidak serta-merta menghilangkan tradisi ini. Memang terjadi perubahan sosial yang cukup signifikan, tapi kesadaran laten bentukan peradaban sebelumnya tidak begitu saja hilang, atau terjadi semacam akulturasi. Hal ini menyebabkan tradisi keberislaman di Iran memiliki keunikannya tersendiri, terutama tradisi keberislaman ala Syi`ah-nya. Pada titik tertentu, teks wahyu menjadi sangat kental dengan interpretasi yang disesuaikan dengan kesadaran yang telah mereka miliki tersebut. Tak ayal, mereka sangat terkenal dengan kegemarannya melakukan aktivitas takwil.

Selanjutnya Musthafa Labbad menganalisa pijakan ontologis-epistemologis gagasan Wilayât Al-Faqîh dan keterkaitannya dengan Imam Al-Khomeini (pasal kedua). Gagasan ini sejatinya adalah akumulasi dari perkembangan fikih sekte Syi`ah selama bertahun-tahun, bukan semata-mata gagasan yang muncul secara tiba-tiba dari Al-Khomeini pada pertengahan Abad ke-20. Tapi akar paradigmatiknya mulai bisa dilacak dari semenjak samarnya identitas Al-Mahdi Al-Munthdzar (Imam ke-12). Pada rentang waktu hilannya Imam ke-12 dan kemunculan gagasan Wilayât Al-Faqîh, kekuasaan Iran diserahkan kepada politikus, dengan catatan harus bermadzhab Syi`ah. Sedangkan kekuasaan fuqaha hanya terbatas pada permasalahan al-hisbiyyah saja, seperti hukum al-khumus (1/5 harta rampasan).

Keterbatasan ruang fuqaha pada wilayah al-hisbiyyah ini pada akhirnya dibenturkan dengan wacana baru yang diusung Muhammad ibn Makki Al-Juzainiy Al-`Amaliy (w. 876 H.) dalam bukunya; Al-Lum`ah Al-Dimasyqiyyah. Maksudnya, ia hendak memperluas wilayah kekuasaan fuqaha hingga menyentuh pada tatanan sosial secara umum. Sejak itu, munculah istilah Nâib Al-Imâm yang diposisikan sebagai pengganti dari Al-Mahdi Al-Munthdzar; Juris/Fakih sebagai pengganti Imam Ma`shum di fase penungguan (al-intidzar). Teori ini dinamakan Niyâbat Al-Fuqahâ Al-`Âmah, yang meliputi permasalahan hudûd, shalat Jum’at dan hakim. Akan tetapi, menurut Musthafa Labbad, kitab ini belum mendapat perhatian dari peneliti Syi`ah, sampai terungkap bahwa kitab ini merupakan pondasi awal konsep Wilayât Al-Faqîh. Dari kitab ini pula didapat predikat Nâib Al-Imam, yang kemudian disematkan pada Ayatullah Al-Khomeini selepas memenangkan revolusi.

Setelahnya, gagasan tersebut dikembangkan oleh Ahmad ibn Muhammad Mahdi Nuraqi Kasyani (w. 1248 H.) dalam buku `Awâid Al-Ayyâm fî Bayân Qawâ`id Al-Ahkâm. Sebab, walaupun Al-Juzainiy merupakan pencetus pertama gagasan penggantian, akan tetapi tugas pengganti hanya terbatas pada otoritas Fakih sebagai hakim, kebijakan hudûd dan shalat Jum’at. Nuraqi sendiri merupakan orang yang pertama kali memunculkan istilah Wilayât Al-Faqîh, sekaligus menolak Taqiyyah (religious dissimulation/penipuan agama) dan gagasan `ashr al-intidzhar (masa menunggu kemunculan Imam Mahdi). Ada semacam gerakan untuk memberikan ruang yang lebih luas pada fuqaha agar ikut terlibat dalam urusan hukum sosial-kemasyarakatan dan kenegaraan. Gagasan Nuraqi ini kemudian disebarluaskan oleh muridanya, Murtadla Anshariy (w. 1281 H.), dalam bukunya; Al-Bai`. Dari sini bisa dilihat bahwa fungsi fuqaha cenderung berubah-ubah dari hanya sebatas penyampai hadits Nabi, hingga keterlibatannya dalam wilayah kenegaraan.

Nuraqi mengatakan, ibadah orang yang menolak taklid tidak sah (kewajiban taklid pada Fakih). Hal ini sekaligus mengukuhkan otoritas Juris/Fakih di hadapan masyarakat sebagai pijakan referensial aktivitas keagamaan dan politik Syi`ah. Selepas itu, Imam Al-Khomeini membawa bendera revolusi sistem politik secara total untuk diganti dengan Wilayât Al-Faqîh di Qum. Ia mendapat pertentangan dari Abu Al-Qasim Al-Khu`i yang tetap kekeuh bahwa di masa penungguan, Juris tidak mempunyai otoritas apapun selain seperti yang telah digariskan. Walaupun begitu, menurut Musthafa Labbad, pandangan Imam Al-Khomeini merupakan perpaduan antara pembacaan terhadap objektivitas teks dan realitas yang melingkupi di satu sisi, serta pengembangan proses inferensi hukum di sisi yang lain. Dari sini bisa dilihat bahwa fungsi fuqaha di Iran cenderung berubah-ubah, dari hanya sebatas penyampai hadits Nabi, hingga keterlibatannya dalam wilayah kenegaraan.

Musthafa Labbad juga mendedah bagaimana pergeseran-pergeseran paradigma masyarakat Iran tentang model kekuasaan, hingga akhirnya terjadi penyerahan kekuasaan penuh pada Wilayât al-Faqîh, dengan menyingkirkan bentuk tatanan politik lain (pasal ketiga). Peralihan kekuasaan kepada Ali Khamenei, serta keterpengaruhannya secara politik maupun paradigma oleh Al-Khomeini, juga tak terlepas dari bidikan Musthafa Labbad (pasal keempat). Terakhir, ia menganalisa wacana keagamaan yang berkembang di Iran dan perubahan-perubahan nalar politik, yang akhirnya menjadi bentuk Republik Islam Iran (pasal kelima).

Setelah mendedah secara mendalam analisa-analisa Musthafa Labbad dalam buku tersebut, pembedah juga memaparkan masalah eksistensi sekte Syi`ah. Pada dasarnya, tradisi keberislaman Syi`ah sangatlah beragam, namun yang tersisa pada masa modern mengerucut pada tiga bentuk: Syi`ah Itsna `Asyar, Syi`ah Ismailiyyah, dan Syi`ah Zaidiyyah. Dinamakan dengan Syi`ah Itsna `Asyar sebab sebab mereka meyakini kepemimpinan Imam ke-12. Mereka juga kerap disebut Syi`ah Ja`fariyyah, yang dinisbatkan pada Imam Ja`far Al-Shadiq, penggagas Ushul Fikih Syi`ah. Mereka tersebar mayoritas di Iran, sebagian penduduk Iraq, Lebanon Selatan, negara-negara Teluk, Asia Timur, dan 15% di Pakistan. Sedang Syi`ah Zaidiyyah—kelompok Syi’ah yang dianggap paling moderat dan dekat dengan Ahl al-Sunnah—tersebar di Yaman. Sekte Isma`iliyyah—yang meyakini kepimimpinan Ismail bin Ja`far al-Shadiq—tersebar di India dan Asia Timur. Salah satu contoh paling nampak adalah semangat keberislaman dan persaudaraan yang kuat diantara mereka, bahkan terhadap kelompok lainnya. Ini terlihat bagaimana mereka mampu mampu memberontak embargo yang datang dariAmerika dan menyuarakan kemerdekaan untuk tanah Palestina.

Dari pemaparan sederhana ini bisa ditarik kesimpulan bahwa gerak peradaban Iran tidak bisa dibilang statis, namun terbentuk melalui liku kesadaran yang cukup kompleks. Bahkan pada abad modern, mereka cenderung menyuarakan dan mempertanyakan kembali doktri-doktrin yang telah melekat dalam diri mereka.

***

Setelah mengupas kandungan buku Hadaiq Al-Ahzân secara mendalam, sesi berikutnya adalah tanggapan rekan-rekan Lakpesdam lain, baik terkait kandungan di dalam buku tersebut, ataupun paradigma sekte Syi`ah secara umum. Bagi rekanita Wahyuni, cara ibadah sholat yang dijalankan oleh orang-orang Sy`iah terbilang ‘unik’. Di Mesir sendiri, terdapat sebuah masjid yang sering digunakan tempat ibadah orang Syi`ah; masjid Al-Hakim ibn Amrillah di kawasan Bab Al-Futuh. Salah satu perbedaan denga orang Sunni adalah cara sholat yang tidak menggunakan i’tidal. Perbedaan lainnya, sebagaimana diutarakan rekanita Mei Rahmawati, terletak pada tradisi sekte Syi`ah yang sangat menghargai kedudukan dan kebebasan wanita, khususnya wanita Iran. Tapi walaupun secara ritual kegamaan ataupun tradisi yang cenderung berbeda dengan Sunni, rekanita Lutfiani Istiqomah memandang bahwa sekte Syi`ah tidak bisa begitu saja dijustifikasi secara semena-mena dan arogan sebelum dikaji gagasan teologis dan tatanan politik mereka terlebih dahulu. Bukankan dalam beberapa hal, doktrin Syi`ah memiliki kebermiripan yang sangat kuat dengan doktrin Sunni, papar rekan Abdul Mun`im.

Lantas bagi rekanita Lum`ahtul Choirot, Musthafa Labbad seolah ingin menghadirkan wajah sekte Syi`ah dari dalam. Dalam gagasan Wilayât Al-Faqîh sendiri, ternyata ada kesamaan paradigmatik dengan gagasan Paus di Vatikan, sebagai potret kekuasan tertinggi. Jadi, kemunculan Republik Islam Iran bisa dikatakan sebagai akumulasi dari terkucilkannya bangsa Persia. Hal ini, sebagaimana dipaparkan rekan `Athoillah, bisa dilihat dari rentetan kesejarahannya, ketika Umar ibn Khatab menaklukan Persia. Kemudian pada masa dinasti Umaiyah, orang-orang Persia semakin terkucilkan oleh hegemoni bangsa Arab. Adanya penaklukan ini telah menjadikan identitas filsafat di Iran menjadi tercampur. Menurut rekan Roni, ideologi yang diusung Sy`iah sendiri pada dasarnya terbentuk dari percampuran berbagai corak filsafat. Dialektika filsafat Timur dan Barat dikomunikasikan oleh golongan Sy`iah, kemudian dimunculkan dalam perwatakannya yang baru. Dari sanalah terbentuk doktrin imamologi yang berkembang pada masa-masa berikutnya.

Terakhir, bagi rekan Nova, keadaan bangsa Iran yang terkucilkan ini pada akhirnya justru menjadikan mereka bangsa yang mandiri. Bahkan bisa jadi kedepannya, doktrin Syi`ah akan menjadi tren dunia Islam jika mereka berhasil menaklukan hegemoni lawan-lawannya.

***

Untuk selanjutnya, Lakpesdam akan membedah buku Thatawwur Al-Fikr Al-Syî`i Al-Siyâsi karya Ahmad Katib. Bedah buku ini merupakan upaya awal bagi kawan Lakpesdam, terhadap pendedahan pemikiran Syi`ah, baik tafsir, hadits, teologi, teologi, fikih dan beberapa disiplin ilmu lainnya yang akan dibahas dalam proyek Lakpesdam ke depan. “Kita sekarang memang sedang mengakrabkan pada kawan-kawan Lakpesdam tentang bangunan epistemologis Syi’ah. Hal ini dimaksudkan, agar saat proyek pendedahan pemikiran Syi’ah dari kawan-kawan bisa lebih komprehensif”, tutur Fahmy Farid, koordinator Divisi Pemikiran Islam Lakpesdam Mesir. [Muslihun Maksum]


.

PALING DIMINATI

Back To Top