Bismillahirrohmaanirrohiim

JANGAN MELEWATI BATAS

Oleh: Jum’an Basalim

Dari sisi positipnya, manusia memang luar biasa. Mampu menciptakan pesawat luar angkasa, senjata penghancur massal sampai membedah syaraf otak yang begitu halus. Dari sisi negatip ternyata manusia sangat lemah dan serba terbatas. Coba bayangkan betapa rendahnya batas kemampuan kita. Baru jam 9 malam saja mata sudah mulai mengantuk padahal belum solat isya. Naik tanjakan baru setengah jalan nafas sudah ngos-ngosan. Tugas baru sebagian dikerjakan, dead-line sudah datang duluan. Tulisan sudah diperiksa lima kali masih saja ada kesalahan. Baru selesai mengerjakan tiga soal ujian, waktu hanya tinggal lima menit. Test sudah berkali-kali dilakukan tetapi waktu diterapkan ternyata tidak jalan. Rencana pernikahan sudah disusun matang-matang sampai pada saatnya ada saja yang kurang. Sulit sekali merencanakan sesuatu dengan sempurna. Meskipun demikian kita selalu lupa seolah-olah tenaga kita tidak terbatas sehingga menerima tugas atau pesanan diluar kemampuan, waktu kita selalu cukup sehingga semua janji kita iyakan. Uang kita berlimpah sehingga semua mau kita sediakan. Semua akan kita selesaikan seolah-olah tenaga dan stamina tak pernah berkurang. Kita termotivasi oleh pemikiran seakan-akan kita ini bebas hambatan, kekal dan penuh kuasa. Padahal otak kita terbatas, tenaga kita terbatas, waktu kita terbatas dan sumber daya kita terbatas.

Kelalaian mengukur batas kemampuan sering harus kita bayar mahal dengan hilang reputasi dan kepercayaan, kerugian harta, stress dan tidak jarang nyawa melayang.  Saya mengira bahwa  almarhum Haji Benyamin Sueb meninggal dunia karena lupa mengukur batas kemampuan. Pada umur 55 tahun masih bersemangat  bermain sepak bola. Detak jantung ada limitnya. Tekanan darah ada limitnya dan tegangan staraf juga ada limitnya. Banyak sekali contoh kasus mirip Bang Ben yang kebanyakan ditanggapi dengan sikap pasrah, memang sudah takdirnya. Suatu kali selama sehari penuh saya sibuk dengan aktifitas hampir tanpa henti dipacu dengan rokok dan direfresh dengan kopi. Sore harinya masih saya teruskan menonton pertunjukan sampai jam 11 malam. Tengah malam badan saya terasa melayang  dan ternyata tekanan darah saya sudah mencapai 250. Belakangan dokter mengatakan bahwa banyak fungsi dari organ tubuh saya yang lainpun sudah mendekati limit. Itulah angin maut yang sering meniup orang pada umur 50an; sebagai peringatan bahwa ia sudah terlalu dekat dengan limit yang berbahaya. Meskipun rasanya masih sehat dan masih kuat. Meskipun saya terpaksa harus berjaga-jaga selama bertahun-tahun berikutnya, saya merasa bersyukur karena tidak tumbang oleh angin maut itu. Banyak yang tidak sempat menyelamatkan diri.

Kita harus mencermati dengan pengetahuan dan perasaan keterbatasan kita masing-masing dalam segala bidang. Sesudah mengetahuinya kita harus menerimanya sebagai  bagian dari diri kita. Bila kita merasa terlalu dekat dengan garis limit, jangan ragu-ragu  untuk mengatakan “tidak”,  menurunkan kecepatan atau berhenti. Jadikan sebagai tanda bahwa kita sudah saatnya meminta bantuan orang lain. Orang muda merasa bahwa ia boleh lari secepat-cepatnya melompat setinggi-tinggina dan mengangkat yang seberat-beratnya. Bercita-cita setinggi langit. Semangat itu terpuji dari satu sisi. Dari sisi lain alangkah baiknya kalau cita-cita itu disesuaikan dengan limitasi kita. Mulailah dengan mengetahui dan menerima batas kemampuan kita dan manggunakannya sebagai pertimbangan yang utama dalam menentukan  cita-cita. Jangan sampai lewat garis batas. Kita bisa celaka. Begitu kan ya?


.

PALING DIMINATI

Back To Top