Bismillahirrohmaanirrohiim

SAYA BUKAN SARJANA GADUNGAN


Ketika menjadi ketua Rukun Tetangga dulu saya pernah dipaksa oleh beberapa warga untuk mendamaikan pertengkaran dirumah seorang tetangga. Saya kira ketua RT yang melerai pertengkaran hanya ada di televisi; atau saya korban warga pecandu sinetron? Kedatangan saya dirumah itu tidak meredakan suasana. Pak Solikun 60 tahun dengan darah mendidih menggebrak-gebrak meja sedang memarahi anak-anaknya yang dia anggap telah bertindak keterlaluan. Saya sendiri tidak punya ilmu untuk menyelesaikan perkara jenis begini jadi saya hanya duduk diam lama mendengarkan mereka. Sebelum saya diberi waktu untuk angkat bicara, kemarahan Pak Solikun sudah mulai mereda. Ia menjabat tangan saya sambil berkata: “Maaf Pak RT, keributan ini sudah terlalu sering terjadi. Saya mengalah sekarang daripada syaraf saya putus”. Sayapun mendukung dan memuji sikapnya dan mencoba menyabarkan hati anak-anaknya. Ia berterima kasih kepada saya, yang katanya sudah ikut mendinginkan suasana. Padahal saya hampir tidak berbuat apapun kecuali sebagai pendengar yang baik dan mengucapkan sedikit kata-kata penutup. Tidak jarang saya mengalami peristiwa serupa dalam pekerjaan dimana tugas saya selesai meskipun bukan hasil pekerjaan saya sepenuhnya. Bahkan meskipun merupakan hasil pekerjaan saya, tetap saja ada perasaan tertolong oleh nasib baik dan kebetulan.

Saya bersyukur tetapi pada saat yang sama muncul perasaan diri palsu dan menipu dalam hati. Palsu karena tidak sepenuhnya berfungsi dan menipu karena sesudah dipercaya dan diandalkan masih bersandar kepada nasib dan kebetulan.  Perasaan naif itu bahkan melantur: jangan-jangan suatu saat nanti orang menganggap prestasi saya hanyalah keberuntungan atau hasil rekayasa dan mencap saya sarjana gadungan. Saya   sudah terbiasa mengatasi kendala dalam pekerjaan dan berhasil dengan baik. Tetapi perasaan palsu itu tetap menghantui.  Ketika rahasia pribadi ini saya ceritakan kepada seorang teman, ia kaget dan berkata “Hah? Sampean begitu? Saya juga! Tetapi saya mau bilang malu!”  Rasa diri gadungan wajar kalau dialami oleh seorang guru ketika pertama kali mengajar didepan kelas atau  pengacara yang baru pertama menangani perkara, dokter yang baru praktek dan mereka yang baru mulai bekerja. Ada yang cepat hilang ada pula yang menahun. Takut berbuat kesalahan dan malu ketahuan bodoh. Orang tua yang menganjurkan anak-anaknya supaya belajar dari kesalahan-kesalahan, sering tidak konsekwen. Baru sedikit saja anaknya berbuat kesalahan mereka buru-buru mengatasinya  sampai-sampai tugas sekolah anaknyapun mereka ambil alih. Malu ketahuan anaknya bodoh. Biarkan saja anak-anak salah menghitung karena belum memahami kaidah ”kali- bagi- tambah- kurang” sampai mereka betul-betul menyadari akibat kesalahan itu; baru dijelaskan. Kesalahan dapat menjadi sumber rasa malu tetapi juga sumber pendidikan, tergantung sikap kita.
Mungkin kita dapat mengusir rasa diri palsu,penipu dan gadungan ini dengan cara menguasai rahasia pekerjaan kita sedetil mungkin atau meyakinkan diri bahwa rasa gadungan ini hanyalah angan-angan, yang berbeda dan dan tidak ada hubungannya dengan benar-benar gadungan.  Atau teruskan berpura-pura sebagai seorang bodoh, merendahkan diri sebagai starategi melindungi diri dan diam-diam membangun kepercayaan daripada bersikap siap dan kompeten (seharusnya begitu) tetapi takut menghadapi tantangan baru, takut dibilang bodoh, takut dievaluasi, dan tidak berani berkompetisi. Berbuat kesalahan adalah jamak. Segala hal ada celahnya; dari situlah cahaya masuk.
 


.

PALING DIMINATI

Back To Top