Bismillahirrohmaanirrohiim

SEPUTAR MASALAH HUKUM ZINA

Zina adalah Persetubuhan yang dilakukan oleh orang yg bukan suami istri, atau hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan di luar perkawinan; tindakan pelacuran atau melacur, bisa jg di artikan hubungan seksual yang tidak diakui oleh masyarakat.

Zina merupakan perbuatan amoral, munkar dan berakibat sangat buruk bagi pelaku dan masyarakat, sehingga Allah mengingatkan agar hambanya terhindar dari perzinahan :
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk. QS. 17:32

Allah juga memberikan jalan untuk menghindari perzinahan yaitu dengan berpuasa, menjaga pandangan dan memakai Jilbab bagi perempuan, dan Allah juga memberikan ancaman yang luar biasa bagi pelaku zina agar hambanya takut untuk melakukan zina :

Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera. QS. 24:2

Maka ketika hukum Islam dijalankan, hasilnya sangat fantastis, perbuatan zina dan amoral betul-betul sangat minim dan masyarakatnya menjadi masyarakat yang baik. Amatilah dengan teliti dan obyektif sejak pemerintahan Rasulullah SAW hingga saat ini, ketika diterapkan hukum Islam secara utuh, maka terciptalah masyarakat yang baik.

Tetapi bila kita menengok hukum zina dalam Alkitab, yang tampak adalah adanya kontradiksi antara keras hukumannya dan tidak dihukum.

Zina Dalam Pandangan Islam

Di dalam Islam, zina termasuk perbuatan dosa besar. Hal ini dapat dapat dilihat dari urutan penyebutannya setelah dosa musyrik dan membunuh tanpa alasan yang haq, Allah berfirman: “Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan (alasan) yang benar dan tidak berzina.” (QS. Al-Furqaan: 68). Imam Al-Qurthubi mengomentari, “Ayat ini menunjukkan bahwa tidak ada dosa yang lebih besar setelah kufur selain membunuh tanpa alasan yang dibenarkan dan zina.” (lihat Ahkaamul Quran, 3/200). Dan menurut Imam Ahmad, perbuatan dosa besar setelah membunuh adalah zina.

Islam melarang dengan tegas perbuatan zina karena perbuatan tersebut adalah kotor dan keji.
Allah berfirman: “Dan janganlah kamu mendekati perbuatan zina. Sesungguhnya zina itu suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”. (QS. Al-Isra’: 32)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir  , Berkata :

“Allah Swt telah mengategorikan zina sebagai perbuatan keji dan kotor. Artinya, zina dianggap keji menurut syara’, akal dan fitrah karena merupakan pelanggaran terhadap hak Allah, hak istri, hak keluarganya atau suaminya, merusak kesucian pernikahan, mengacaukan garis keturunan, dan melanggar tatanan lainnya”. (lihat tafsir Kalaam Al-Mannan: 4/275)

Imam Ibnul Qayyim menjelaskan, “Firman Allah Swt yang berbunyi: “Katakanlah, Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan keji, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi” (QS.Al-Maidah: 33), menjadi dalil bahwa inti dari perbuatan zina adalah keji dan tidak bisa diterima akal. Dan, hukuman zina dikaitkan dengan sifat kekejiaannya itu”. Kemudian ia menambahkan, “Oleh karena itu, Allah berfirman: “Dan janganlah kamu mendekati perbuatan zina. Sesungguhnya zina itu suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”. (QS. Al-Isra’: 32) (lihat At-Tafsir Al-Qayyim, hal 239)

Oleh karena itu, Islam telah menetapkan hukuman yang tegas bagi pelaku zina dengan hukuman cambuk seratus kali bagi yang belum nikah dan hukuman rajam sampai mati bagi orang yang menikah. Di samping hukuman fisik tersebut, hukuman moral atau sosial juga diberikan bagi mereka yaitu berupa diumumkannya aibnya, diasingkan (taghrib), tidak boleh dinikahi dan ditolak persaksiannya. Hukuman ini sebenarnya lebih bersifat preventif (pencegahan) dan pelajaran berharga bagi orang lain. Hal ini mengingat dampak zina yang sangat berbahaya bagi kehidupan manusia, baik dalam konteks tatanan kehidupan individu, keluarga (nasab) maupun masyarakat.

Hukuman zina tidak hanya menimpa pelakunya saja, tetapi juga berimbas kepada masyarakat sekitarnya, karena murka Allah akan turun kepada kaum atau masyarakat yang membiarkan perzinaan hingga mereka semua binasa, berdasarkan sabda Rasulullah saw: “Jika zina dan riba telah merebak di suatu kaum, maka sungguh mereka telah membiarkan diri mereka ditimpa azab Allah.” (HR. Al-Hakim). Di dalam riwayat lain Rasulullah saw bersabda: “Ummatku senantiasa ada dalam kebaikan selama tidak terdapat anak zina, namun jika terdapat anak zina, maka Allah Swt akan menimpakan azab kepada mereka.” (H.R Ahmad).

Ibnul Qayyim mengatakan bahwa zina adalah salah satu penyebab kematian massal dan penyakit tha’un. Tatkala perzinaan dan kemungkaran merebak dikalangan pengikut Nabi Musa as, Allah Swt menurunkan wabah tha’un sehingga setiap hari 71.000 orang mati (lihat Ath-Thuruq Al-Hukmiyah fii As-Siyaasah Asy-Syar’iyyah, hal 281).

Kemungkinan besar, penyakit berbahaya yang dewasa ini disebut dengan HIV/AIDS (Human Immunodefienscy Virus/Acquire Immune Defisiency Syindrome) adalah penyakit tha’un (penyakit mematikan yang tidak ada obatnya di zaman dulu) yang menimpa ummat terdahulu itu. Na’uu zubilahi min zalik..semoga kita tidak ditimpakan musibah ini.

Melihat dampak negatif (mudharat) yang ditimbulkan oleh zina sangat besar, maka Islampun mengharamkan hal-hal yang dapat menjerumuskan kedalam maksiat zina seperti khalwat, pacaran, pergaulan bebas, menonton VCD/DVD porno dan sebagainya, berdasarkan dalil sadduz zari’ah. Hal ini perkuat lagi dengan kaidah Fiqh yang masyhur: “Al wasilatu kal ghayah” (sarana itu hukumnya sama seperti tujuan) dan kaidah: “Maa la yatimmul waajib illa bihi fahuwa waajib” (Apa yang menyebabkan tak sempurnanya kewajiban kecuali dengannya maka ia menjadi wajib pula).

Dan berdasarkan makna tersurat dalam firman Allah: “Dan janganlah kamu mendekati perbuatan zina. Sesungguhnya zina itu suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”. (QS. Al-Isra’: 32). Maka secara mafhum muwafaqah, maknanya adalah mendekati zina saja hukumnya dilarang (haram), terlebih lagi sampai melakukan perbuatan zina, maka ini hukumnya jelas lebih haram.

Inilah rahasia kesempurnaan agama Islam dan misinya yang menjadi rahmatan lil ‘aalamiin (rahmat bagi segenap penghuni dunia). Islam sangat memperhatikan kemaslahatan ummat manusia, baik dalam skala individu, sosial (masyarakat), maupun Negara. Selain itu, Islam juga menolak dan melarang segala kemudharatan (bahaya) yang dapat menimpa pribadi, masyarakat dan Negara. Prinsip ini dalam ilmu Ushul Fiqh dikenal dengan maqashid syar’i (maksud dan tujuan syariat). Dalam prinsip maqashid syari’, ada 5 hal pokok dalam kehidupan manusia (adh-dharuriyatul al-khamsah) yang wajib dijaga dan pelihara yaitu: hifzu ad-diin (menjaga agama), hifzu an-nafs (menjaga jiwa), hifzu al-aql (menjaga akal), hifzu maal (menjaga harta) dan hifzu an-nasl (menjaga keturunan). Untuk memelihara lima pokok inilah syariat Islam diturunkan. Oleh sebab itu, menjadi kewajiban kita sebagai seorang muslim untuk menjaga adh-dharuriyaat al-khamsah ini berdasarkan nash-nash Al-Quran dan hadits, dengan mentaati setiap perintah dan larangan di dalam nash-nash tersebut.

Masalah – Masalah Seputar  Zina :

Si A dan Si B sebelum kawin, berzina, kemudian si B hamil. Bolehkah mereka dikawinkan ???
Kalau pandangan Madzhab Maliki , tidak sah perkawinan mereka kelak. Yang sudah berhubungan seks secara tidak sah, lalu hamil dan akan dikawinkan. Kalaupun dia dikawinkan, maka dia dinilai berzina terus menerus sampai anaknya lahir. Itu pandangan Imam Maliki.

Pandangan Imam Syafi’i lebih longgar. Bukan lantas, zina boleh ajah. Itu salah, karena perzinaan apapun sudah terkutuk. Imam Syafi’i berkata, “Kalau satu orang mencuri buah dari satu pohon, ketika itu haram. Kemudian dia beli pohon itu, maka apakah buahnya tadi masih haram atau sudah halal ? ?Itu sudah halal. Tadinya haram kemudian menikah baik-baik maka menjadi halal”. Tapi agar tidak salah paham- apakah dia terbebas dari dosa berzina ataukah dia terbebas dari murka Tuhan ? TIDAK. Itu tadi dari segi hukum.

Bagaimana anaknya ???
Sah anaknya atau tidak ???

Kalau kita bicara dari segi substansi, dari pandangan Allah, itu bukan anak yang sah. Hukum datang lagi karena dampaknya begitu besar. Anak itu kita lihat lahirnya kapan ? Batas minimal waktu kehamilan berapa lama ? Ada orang mengalami hanya 7 bulan. Jadi kalau anak itu lahir dalam batas minimal dan tidak melewati batas maksimal (katakanlah 1 tahun), dari segi hukum (bukan substansi) dianggap anaknya sah.

Dari segi dosa, orang tua-nya sudah 2 kali mereka berdosa, pertama dosa berzina dan yang kedua, dosa berbohong karena mengatakan “itu anaknya” padahal menurut Allah itu bukan anaknya. Jadi tetap dosanya sangat besar. Hanya hukum memberi peluang. Masih ada ulama lain memberikan kelonggaran-kelonggaran.

Tapi secara umum, kalau kita mau menganut paham Imam Malik, maka tidak sah perkawinan itu, dan mereka tetap dinilai berzina bila mereka menikah sampai anaknya lahir, sampai bersih dia baru mereka dikawinkan. Itu pandangan yang ketat. Kalau Imam Syafi’i, kasihan anaknya, kita itu kan disuruh oleh Allah untuk menetapkan hukum sesuai yang nyata. Kalau yang nyata, anaknya lahir setelah 8 bulan walaupun ibunya berzina setahun yang lalu. Tapi itu dalam konteks kehidupan masyarakat, bukan dalam pandangan Allah.

Disisi lain, agama melarang kita mendekati tempat-tempat yang buruk. Jadi bagaimana bisa membuktikan perzinaan ? Jadi pembuktian tentang perzinaan itu lahir dari pengakuan.

Si A misalkan berkata, bahwa dia berzina dengan si B. Lalu lama kemudian, dia meralat, maka sanksi jadi batal. Apabila si A mengaku berzina dengan si B, tapi si B tidak mengaku, maka yang terkena sanksi hanya si A. Pada masa Rasulullah, ada seorang yang mengaku kepada Nabi bahwa dia telah berzina. Nabi pura-pura tidak mendengar. “Jatuhi saya sanksi, saya berzina”, begitu katanya. Nabi tidak mau mendengar. Ketiga kalinya, Nabi mendengarkan, dan berkata, “ini orang gila atau tidak ?”. Orang ini mau bertaubat. Kritik sementara orang kepada Islam, yang mengatakan bahwa hukum Islam kejam. Itu salah. Sebenarnya dalam Al Quran itu hanya bersifat ancaman daripada benar-benar jatuh hukuman. Supaya kita menghindar dari perbuatan itu. Tapi sekali lagi, kalaupun sanksi hukum tidak dijatuhkan di dunia, substansinya tetap kotor, di mata Allah tetap kotor dan bersalah.

Pertanyaan :

1. Apabila ada dua insan berzina tapi tidak sampai kehamilan. Kemudian mereka bertaubat, bagaimana status dosa mereka nantinya di akhirat ???
Pada prinsipnya semua dosa yang dimohonkan oleh yang bersangkutan secara tulus dan dia benar-benar bertaubat, Allah akan ampuni. Hanya yang perlu kita ketahui, bahwa taubat itu bukan sekedar meminta ampun. 
Taubat itu :

1. mengetahui bahwa apa yang sudah dilakukannya itu adalah salah dan telah melanggar lalu sadar 2. timbul penyesalan atas kesalahan itu 3. bertekad untuk tidak mengulanginya 4. melakukan tindakan/kegiatan yang berada dalam kemampuannya untuk menghapus kesalahan itu.
Jadi tidak ada dosa yang tidak diampuni, kecuali syirik kepada Allah yang dibawa mati. Apabila seseorang berbuat syirik, lantas bertaubat ketika masih hidup, insya Allah, akan diampuni. Kita lihat, sebagian sahabat nabi adalah dulunya berbuat syirik, kemudian bertaubat dan beriman, mereka semua diampuni.

2.Misalnya ada perzinaan kemudian menghasilkan anak. Bagaimana dengan nasib anak itu karena pada umumnya masyarakat mencap anak itu adalah anak haram ? ??Bagaimana agar anak itu tidak terbebani moral karena sebutan anak haram itu ???

Itulah salah satu bukti bahwa memang dalam adat manusia seluruhnya anak yang lahir dari perzinaan itu jelek. Inilah salah satu bukti kebenaran firman Allah tadi. Hanya dalam agama mengatakan bahwa seorang manusia tidak memikul dosa yang lain. Anak tidak memikul dosa orang tuanya. Di mata Allah, anak itu tidak berdosa, tetapi dalam pandangan hukum, ada dampak. Masyarakat mustinya jangan mempersalahkan anak, dan jangan menamai anak itu anak haram. Anak itu lahir dari hubungan yang haram. Jadi yang haram itu adalah hubungannya, bukan anaknya. Anaknya tidak menanggung apa-apa di sisi Allah, yang hanya harus ditanggung oleh anak itu adalah dia tidak bisa menishbahkan pada bapaknya.

3. Apakah hidup anak itu akan terselamatkan sampai akhir hayatnya ???
Anak itu tidak terganggu sama sekali dari segi substansi, tapi dari segi hukum ada. Itu sebabnya kita bedakan antara hukum dan substansi. Menurut Imam Syafi’i pernikahan mereka sah dalam pandangan hukum, pengakuan ayah bahwa anak itu adalah anaknya sah menurut hukum, tapi pandangan substansi (Allah), itu bukan anaknya. Jadi walaupun sah, tapi itu tetap dosa, dan itu masih tetap juga mempunyai titik hitam. Betapapun susu yang begitu banyak sudah masuk nila, itu tetap saja ada walau sedikit atau banyak.

4. Apakah sifat keburukan itu akan menurun kepada anak itu ???

Secara psikologis bisa menurun, karena apa ??? Ilmuwan berkata seperti berikut, kondisi kejiwaan yang dialami oleh bapak dan ibu pada saat terjadi pembuahan itu mempengaruhi jiwa anak. Ibu yang terlalu takut ketika melakukan hubungan, maka anaknya bisa jadi penakut, seperti yang telah diterangkan di atas sebelumnya. Itu sebabnya juga, ilmuwan berkata, sebagian besar kompleks-kompleks kejiwaan yang dialami oleh seseorang itu terjadi pada saat bayi, pada saat kecil atau pada saat pembuahan. Karena itu, perempuan yang hamil banyak disuruh makan yang bergizi, berdzikir, supaya punya pengaruh kepada anak yang dikandungnya. Nah termasuk pengaruh hal-hal yang berdosa kepada anak.

5. Bagaimana caranya agar anak-anak terhindar dari perzinaan ???

Disinilah perlunya kita memberikan perhatian pada anak-anak. Kita bisa memberikan kelonggaran tapi dalam batas-batas yang dibenarkan agama. Memang kita tidak bisa seperti dulu, anak tidak boleh keluar dan sebagainya. Tapi koridor agama yang tidak boleh mereka lampaui, seperti anak keluar sampai jam 12 malam. Sekarang anak-anak kita, katakan ke kampus, mereka kan bergaul dengan teman-temannya, maka kita tanamkan kepada mereka bahaya pergaulan yang sangat bebas. Begitu kita melihat ada gejala-gejala ke arah sana, maka kita cegah. Jadi harus ada tanggung jawab ibu dan bapak. Bukan hanya jangan sampai mereka berzina tapi jangan sampai mereka mendekati. Itulah kewajiban ibu bapak memelihara mereka.

6. Apakah bayi yang semula tidak najis menjadi najis kalau berasal dari hubungan yang haram ???
Itu bukan saja hanya sudah najis lagi, tapi sudah lebih dari najis. Karena najis, Anda masih bisa bersihkan. Tapi ini sudah jadi buruk. Pandangan Imam Malik, tempat dalam arti rahimnya sudah kotor, benihnya pun sudah kotor sehingga bercampur kekotoran itu, walaupun kemudian (setelah menikah) ditambah dengan benih yang suci, tetap saja kotor, karena telah bercampur dengan yang kotor. Untung ada Imam Syafi’i yang berpendapat lain. Tapi kalaupun menurut pandangan Imam Syafi’i sahnya pernikahan orang yang berzina seperti yang telah dijelaskan, tetap saja dalam pandangan substansi, menurut Allah dia sudah kotor, dari segi pandangan ilmu dikatakan sudah ada pengaruh psikologis pada sang anak. Karena kita semua manusia menyadari bahwa perbuatan zina itu buruk, walaupun ada yang melakukannya tapi dia mengakui kalau itu buruk.

Solusi permasalahan moral ini :

Islam adalah agama fitrah yang mengakui keberadaan naluri seksual. Di dalam Islam, pernikahan merupakan bentuk penyaluran naluri seks yang dapat membentengi seorang muslim dari jurang kenistaan. Maka, dalam masalah ini nikah adalah solusi jitu yang ditawarkan oleh Rasulullah saw sejak 14 abad yang lampau bagi gadis/perjaka.

Selain itu, penerapan syariat Islam merupakan solusi terhadap berbagai problematika moral ini dan penyakit sosial lainnya. Karena seandainya syariat ini diterapkan secara kaffah (menyeluruh dalam segala aspek kehidupan manusia) dan sungguh-sungguh, maka sudah dapat dipastikan tingkat maksiat khalwat, zina, pemerkosaan dan kriminal lainnya akan berkurang drastic, seperti halnya di Arab Saudi. Survei membuktikan, kasus kriminal di Arab Saudi paling sedikit di dunia.

Orang tua pun sangat berperan dalam pembentukan moral anaknya dengan memberi pemahaman dan pendidikan islami terhadap mereka. Orang tua hendaknya menutup peluang dan ruang gerak untuk maksiat ini dengan menyuruh anak gadisnya untuk berpakaian syar’i (tidak ketat, tipis, nampak aurat dan menyerupai lawan jenis). Memberi pemahaman akan bahaya pacaran dan pergaulan bebas. Dalam konteks kehidupan masyarakat, tokoh masyarakat dapat memberikan sanksi tegas terhadap pelaku zina sebagai preventif (pencegahan). Jangan terlalu cepat menempuh jalur damai “nikah”, sebelum ada sanksi secara adat, seperti menggiring pelaku zina ke seluruh kampung untuk dipertontonkan dan sebagainya. Selain itu, majelis ta’lim dan ceramah pula sangat berperan dalam mendidik moral masyarakat dan membimbing mereka.

Begitu pula sekolah-sekolah dan kampus sebagai tempat pendidikan secara formal dan informal mempunyai peran dalam pembentukan moral pelajar/mahasiwa. Dengan diajarkan mata pelajaran Tauhid, Al-Quran, Hadits dan Akhlak secara komprehensif dan berkesinambungan, maka para pelajar/mahasiswa diharapkan tidak hanya menjadi seorang muslim – muslimah yang cerdas intelektualnya, namun juga cerdas moralnya (akhlaknya).


.

PALING DIMINATI

Back To Top