Bismillahirrohmaanirrohiim

SADAR DI TENGAH KETIDAKSADARAN

Judul Buku    : Quo Vadis Pragmatisme vs Idealisme
Penulis          : Astar Hadi, Awang Dharmawan, dkk.
Cetakan        : Cetakan Pertama, Januari 2011
Tebal Buku    : 158 halaman
Penerbit        : Forum Madzhab Djaeng dan HMI Komisariat FISIP UMM bekerja sama dengan Litera Buku, Yogyakarta
Peresensi       : Cecep Zakarias El Bilad
   
SADAR DI TENGAH KETIDAKSADARAN
 
“Jika negara (pemerintah) kita tidak memiliki kapabilitas untuk beradaptasi dengan Globalisasi 3.0, maka tidak berarti Indonesia akan mati. Negeri ini masih memiliki rakyat. Rakyat masih memiliki mahasiswa. Mereka adalah kader-kader penggerak perubahan bangsa saat ini dan terutama di masa depan. Sekarang mereka tengah belajar dan berlatih mempersiapkan diri untuk tugas mulia itu. Bukan begitu kawan-kawan?”
       Demikian kutipan paragraf terakhir buku tulisan mahasiswa FISIP-UMM ini. Pertanyaan yang mengakhiri diskusi buku ini adalah sebuah tantangan bagi para mahasiswa, termasuk para penulis sendiri, juga khalayak pembaca umum.
       Buku kumpulan esai ini adalah sebuah auto-critique, pembacaan kritis 14 penulis atas fenomena dirinya dan mahasiswa pada umumnya sebagai kelas intelektual dari bangsa ini. Globalisasi menjadi akan persoalan. Mengutip Marlin Albrow, globalisasi diartikan sebagai sebuah proses dimana orang-orang di seluruh dunia semakin tersatukan menjadi sebuah masyarakat dunia atau masyarakat global (hal.136). Artinya, sebuah proses pengikisan keragaman masyarakat secara global. Mereka kian menjadi satu, meski fisik mereka berbeda dan terpisah: satu selera, satu gaya hidup, satu budaya atau bahkan satu “agama.” Modernitas.
      Sayangnya, modernitas ternyata bukan ke-serba-satu-an yang baru dan netral. Ia adalah bungkus dari sebuah hegemoni/keunggulan selera, gaya hidup, budaya dan agama kelompok masyarakat tertentu. Barat. Amerika. Dengan keunggulan ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi dan militernya, mereka mampu memasarkan produk-produknya baik barang, ide maupun budaya ke segala penjuru dunia, tanpa terkecuali negeri kita.
       Sebagai bagian dari masyarakat, mahasiswa pun banyak yang keranjingan modernitas. Selera pakaian dan musik mahasiswa kita, misalnya, kini tak jauh beda dengan selera anak muda di Amerika. Begitu juga dengan gaya hidup. Tentu tak susah kita temukan remaja yang berstatus mahasiswa di ruang-ruang hiburan seperti mall, diskotik dan kafe. Sementara dari budaya hubungan lawan jenis, istilah pacaran (dating), pacar (boy/girl friend), putus (break up), tentu tak banyak dikenal di masyarakat kita tahun 60-an ke belakang. Paling tidak masih sangat tabu. Saat itu mungkin hanya dikenal kata cinta, lamaran dan menikah. Tapi kini, istilah-istilah ini sudah begitu populer dan membudaya di khalayak muda kita, mahasiwa bahkan pelajar.
      Dengan judul Quo Vadis Pragmatisme vs Idealisme, buku ini mencoba mengkaji wajah modernitas di dunia mahasiswa. Secara etimologis, Quo Vadis adalah bahasa Latin yang berarti “ke mana engkau pergi?” Sesuai dengan judulnya, buku ini menggiring pembaca menelusuri perjalanan mahasiswa menggeluti dunia kampusnya di tengah gempita pragmatisme, semisal budaya hedonis dan serba praktis, yang ditawarkan beragam jenis teknologi modern.
      Jika dipetakan, meski agak kabur karena ditulis “kerokyokan,” esai-esai dalam buku ini cukup cerdas mengupas dunia mahasiswa dan menawarkan tiga macam kesadaran. Pertama, dengan membenturkan gambaran mahasiswa dulu dan sekarang sebagian isinya melahirkan kesadaran kontemplatif, bahwa kini ada degradasi moral-intelektual pada diri mereka. Kedua, dengan “menelanjangi” tubuh mahasiswa saat ini sebagian isinya memberikan kesadaran yang mencerahkan, bahwa banyak dari mereka terbius wewangian modernitas sehingga lupa pada tugas utama mereka membangun kualitas pribadi. Ketiga, dengan menganalisis posisi sentral mahasiswa di tengah masyarakat dan dunia secara kritis dan teoritis, beberapa esainya membangun sebuah kesadaran optimisik, bahwa mahasiswa adalah arsitek utama masa depan bangsa dan dengan potensi yang dimilikinya, mereka akan mampu membangun bangsa ini sesuai dengan yang diimpikan.
       Buku ini sendiri adalah buah kesadaran para penulisnya yang diperjuangkan selama ini. Sadar akan rayuan-rayuan modernitas di dunia kampus yang memang nampak indah dan menggiurkan, demi menjaga idealismenya sebagai pengkaji ilmu, mereka membentuk komunitas intelektual, Mazhab Djaeng: Multicultural Studies and Social Sciences. Sebagian yang dari jurusan Hubungan Internasional juga membentuk the Malang School: Forum for International Relations Studies. Dengan forum-forum ini, mereka memperkaya wawasan, mengasah ketajaman berpikir, membangun budaya kritis dan memperkuat militansi intelektual.
       Buku ini merupakan upaya nyata para penulisnya, mahasiswa, untuk membumikan julukan yang diembannya agen perubahan (agent of change). Lepas dari kekurangan-kekurangan yang ada, buku ini dan proses kelahirannya sangat layak untuk diapresiasi. Selamat membaca. Semoga menjadi inspirasi.


.

PALING DIMINATI

Back To Top