Bismillahirrohmaanirrohiim

Kang Said: Jangan Pelajari Islam Seperti Mie Instan


Jakarta, NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj menyatakan bahwa dalam memahami Islam tidak bisa ditempuh dalam waktu yang singkat. Karena ilmu di dalam Islam sangatlah luas. “Akibatnya jika Islam dipelajari dengan cara cepat saji seperti mie instan maka hasilnya adalah pemahaman Islam yang sangat dangkal,” ujarnya.

Akibat dari dangkalnya pengetahuan Islam adalah munculnya radikalisme dalam Islam. “Sedikit-sedikit teriak Allahu Akbar, Negara Islam. Ini surga, ini neraka. Kalau tidak Negara Islam, maka akan celaka. Pemahaman seperti ini didapat karena belajar Islam terlalu singkat,” papar Kang Said.

Di pesantren saja, paling tidak dibutuhkan waktu empat tahun untuk belajar Islam. “Yang di pesantren saja belum tentu matang, apalagi yang kilat, cuma dua minggu pas liburan sekolah,” katanya.

Untuk menutupi kekurangan pengetahuan mereka tentang Islam, mereka berpakaian dan berpenampilan ala Arab. “Itu (pakaian Arab, red) adalah budaya. Sehingga yang budaya jadi agama, dan agamanya malah hilang. Sedangkan hal yang prinsip dalam agama tidak mereka pahami. Padahal jika kita mau membaca al Quran, di sana disebutkan, laa ikraaha fiddin, tidak boleh ada kekerasan dalam agama,” jelas Kang Said.

Makna ayat ini pun bisa dibalik, artinya tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan. “Jadi, kalau ada kelompok yang melakukan kekerasan, itu bukan agama, sama sekali bukan sedang mengamalkan agama,” tegasmya.

Menurut Kang Said, Islam memiliki konsep tasamuh atau toleran, namun hal ini masih jarang dipraktekkan. Al Quran mengajarkan, jika Muslim memiliki tetangga non Muslim dan tidak mengganggu maka seorang Muslim harus berbuat bakti tehadapnya. "Jadi bukan hanya berbuat baik, tapi berbuat bakti. Misalnya saya punya tetangga Katolik, masuk angin lalu saya kerokin," papar Kang Said.

Seperti yang tersebut dalam "Piagam Madinah" yakni, wa laa udwaana illa ala al dzaalimin, tidak ada permusuhan kecuali kepada mereka yang zalim. "Jadi tidak boleh bermusuhan karena perbedaan agama, politik, dan lain sebagainya. Yang menjadi musuh kita adalah mereka yang zalim. Seperti penjahat narkoba, koruptor, dan sejenisnya," pungkas Kang Said.

Munculnya gerakan radikalisme dan terorisme di Indonesia yang meresahkan dan merenggut banyak korban jiwa adalah karena selama ini Nahdlatul Ulama tidak pernah diajak bekerjasama oleh Pemerintah. Demikian disampaikan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, kepada NU Online, 28 Desember 2010.

“Kenapa muncul Amrozi, Ali Gufron, Mukhlas, dan gerakan radikal lain? Jawabannya mudah, karena Nahdlatul Ulama tidak diajak bersama-sama membangun bangsa ini selama 32 tahun,” tegasnya. Lalu ia mencontohkan bahwa selama Orde Baru berlangsung, Menteri Agama, kepala kantor wilayah departemen agama hingga kepala madrasah tidak boleh dipegang orang NU.

Kang Said menambahkan, “Padahal khazanah keagamaan mereka sangat minim. Kalau hal ini terjadi di Jawa mungkin masih ditolerir, karena masih banyak kiai. Namun kalau di luar Jawa, mereka benar-benar menjadi satu-satunya tempat bertanya tentang agama.”

“Dalam satu, dua, hingga tiga kali ceramah mungkin penyampaiannya masih bagus. Namun di ceramah selanjutnya, karena minimnya pengetahuan mereka dan kehabisan bahan ceramah, maka yang disuarakan adalah, ‘awas ada kristenisasi’, ‘mari bakar gereja itu’, dan lain sebagainya,” tambah pria kelahiran Cirebon ini.

Untuk menutupi minimnya pengetahuan mereka, masih menurut Kang Said, mereka menutupinya dengan pakaian ala Arab. “Jangan mengira bahwa yang memakai gamis dan berjenggot itu hanya Nabi Muhammad, Abu Jahal pun juga bergamis dan berjenggot. Jadi jangan mudah tertipu dengan penampilan, karena belum tentu jelas pengetahuannya tentang Islam,” ujar Kang Said sambil tersenyum.

“Kesimpulannya, kalau Indonesia ini ingin selamat, NU harus diajak bersama-sama membangun bangsa ini,” pungkas Kang Said. (bil)


.

PALING DIMINATI

Back To Top