Bismillahirrohmaanirrohiim

Mesir : Negeri Seribu Ilmu

Bukan hal biasa bila ribuan mahasiswa dari Tanah Air berbondong-bondong menekuni dan mendalami agama Islam di negeri Mesir. Sudah barang tentu Mesir menyimpan suatu magnet yang dahsyat, ialah al-Azhar yang telah berhasil menarik simpati seluruh umat manusia di muka bumi ini. Akan tetapi, sadarkah kita, ternyata al-Azhar hanyalah umpan belaka?!.
 Penulis tidak heran melihat sejumlah mahasiswa al-Azhar yang ternyata tidak puas dengan suguhan sehari-hari al-Azhar. Mereka lebih banyak belajar dari kitab-kitab terdahulu, lembaga-lembaga non-formal, majelis-majelis ta’lim maupun organisasi-organisasi kemahasiswaan. Sebab realitanya, dosen-dosen al-Azhar tidak memiliki komunikasi yang harmonis bersama segenap mahasiswa yang ada. Diktat-diktat al-Azhar pun selalunya tidak dijadikan sebagai pegangan ataupun rujukan.
Bahasa Arab pun tidak dapat ditingkatkan dalam gedung al-Azhar tanpa melalui kursus-kursus eksternal. Bahkan penguasa nahwu sharf yang berdomisili di Mesir mengakui bahwa keahlian mereka itu diperoleh secara murni sejak mondok di Indonesia. Selebihnya, dari kursus-kursus atau buku-buku. Peran al-Azhar ternyata hanya dua persen. Itu paling banyak!.
Faktanya, kehebatan alumni al-Azhar amat bergantung pada ketekunannya menghadiri halaqah-halaqah talqqi, membaca buku-buku, diskusi-diskusi sesama mahasiswa, maupun keaktifannya dalam organisasi-organisasi kemahasiswaan. Apabila seorang mahasiswa salah memilih lembaga, halaqah atau organisasi, maka salah pula yang akan dibawa ke kampung halaman, dan al-Azhar tetaplah al-Azhar. Dengan demikian, penulis berani menyimpulkan bahwa al-Azhar hanya menang nama dan popularitas. Al-Azhar hanyalah umpan yang paling diandalkan Mesir untuk memancing pendatang dari mana-mana, juga sebagai umpan andalan alumninya untuk memancing perhatian dan dukungan massa. Tidak lebih dari itu!.
Namun di waktu yang sama, penulis mengakui kesuksesan ganda al-Azhar dalam menyebarkan moderatisme Islam di seluruh dunia. Tokoh-tokoh tulen al-Azhar pun banyak yang patut dibanggakan dunia. Contohnya Syeikh Ibrahim al-Baijuri, Syeikh Muhammad Mushthafa al-Maraghi, Syeikh Abdul Halim Mahmud, Syeikh Ahmad Umar Hasyim, Syeikh Abdul Jalil Qasim, Syeikh Hasan al-Syennawi, Syeikh Ali Jum’ah al-Syafi’i, dll.
Apapun fenomenanya, setelah 7 tahun hidup di Mesir, penulis akhirnya sadar bahwa negeri Mesir memang pantas dikatakan sebagai sumber ilmu, inspirasi dan kenyamanan. Namun al-Azhar bukanlah sebab utama. Letakkanlah al-Azhar itu di nomor enam, tujuh, atau puluhan. Yang jelas bukan nomor satu dan mungkin lebih tepat disebut sebagai umpan saja. Sebab utama keagungan negeri Mesir adalah keberadaan sesepuh-sesepuh Ahlul Bait di dalamnya!.
Saya teringat pada pesan Habib Luthfi, Ro’is Am Jam’iyah Ahli Thariqah Mu’tabarah Nahdliyah sekaligus Ketua MUI Jawa Tengah, bahwa ziarah maqam orang-orang shalih dapat menarik pertolongan, petunjuk dan perlindungan Allah Swt. Habib Luthfi menyebutkan bahwa sering silaturahmi dengan para wali, baik yang sudah wafat maupun yang masih hidup, dapat menimbulkan kecintaan dan keridhoan Allah Swt. sehingga rahmat dan barokah serta maghfirahNya selalu terlimpah, jauh dari bala’, musibah, penyakit dan diberi kelancaran rizki.
Habib Luthfi menambahkan “Berziarah (mengunjungi) kaum shalihin jangan hanya ketika ada maunya, kalau ada perlunya saja. Hal itu baik tidak terlarang, tetapi kurang kemanfaatannya untuk jangka panjang. Hanya untuk kebutuhan manfaat sesaat belaka, sungguh sangat disayangkan. Tetapi alangkah baiknya kita berziarah shalihin itu karena mahabbah ila al-mahbub (kecintaan kepada yang dicintai). Kalau hal ini dijalin dengan baik maka ia akan mendapat limpahan madad (pertolongan), sir al-asror (rahasia) dan jah (intisari) dari ziarahnya”.
Terlebih bagi kawula penuntut ilmu, ziarah maqam tidaklah layak dijadikan sebagai ajang refreshing dan jalan-jalan semata. Tidak jarang juga maqam dijadikan sebagai tempat narsisan sesaat, lalu pindah ke daerah wisata lainnya. Sungguh memprihatinkan!.
Menuntut ilmu di Mesir tidaklah mudah. Beban tanggung jawab yang akan dibawa pulang pun lebih berat dan lebih menakutkan. Penulis berkeyakinan, tanpa ziarah rutin kepada maqam-maqam Ahlul Bait dan para wali yang ada, tentu jauh lebih menyusahkan lagi!. Sungguh rugi dan jauh dari barokah bila hidup di Mesir tanpa menjalin hubungan akrab dengan para wali dan Ahlul Bait yang ada. Sayang, maqam Fir’aun masih lebih sering diingat dan diziarahi!. 
Ibu kota Mesir saja sudah banyak dihuni pembesar-pembesar Ahlul Bait, sahabat dan para wali. Ada Imam al-Husain, Sayidah Zainab, Sidi Ali Zainal Abidin, Sayidah Fathimah al-Nabawiyah, Sayidah Sakinah, Sayidah Nafisah, Sayidah A’isyah, Sayidah Ruqayyah, Saidina Uqbah bin Amir, Saidina Sariyah, Sidi Zunnun al-Mashri, Imam Syafi’i, Syeikh Zakaria al-Anshari, Sidi Ibnu Atha’illah al-Sakandari, Sidi Ali al-Khawwash, Sidi Ibnul Faridh, Sidi Abdul Wahhab al-Sya’roni, Sidi Ahmad al-Dardir, Sidi Ali Abu Syubbak, Saidina Mujahid al-Anshari, Syeikh Shalih al-Ja’fari, dan masih banyak lagi.
Di provinsi Tanta ada Sidi Ahmad al-Badawi dan Saidina Abdullah bin al-Harits. Di provinsi Kafr el-Syeikh ada Sidi Ibrahim al-Dusuqi dan Sidi Thalhah bin Madyan. Di Suez ada Sidi Gharib dan Sidi al-Arba’in. Di Alexandria ada Nabi Danial, Imam Bushairi dan Sidi Mursi Abul Abbas. Di provinsi Laut Merah ada Sidi Abul Hasan al-Syadzuli. Di provinsi Asyuth ada Syeikh Jalaluddin al-Suyuthi. Di provinsi Minia ada Imam Ibu Hajar al-Asqallani, dan masih banyak lagi!.
Negeri Mesir begitu dipenuhi sesepuh-sesepuh Ahlul Bait, pembesar-pembesar sahabat dan atasan-atasan para wali membuat penulis semakin takjub kepada firman Allah dalam surat Yusuf ayat 99 “Masuklah kamu ke negeri Mesir insya’allah dalam keadaan aman“. Dan bila membaca kembali pernyataan-pernyataan Nabi seputar Ahlul Bait, penulis semakin yakin bahwa maqam-maqam itulah yang menjadikan Mesir sebagai sumber ilmu dan kemuliaan. Dalam sebuah hadits: “Ahlul Bait seumpama perahu Nabi Nuh, barang siapa menaikinya maka ia selamat, dan barang siapa meninggalkannya maka ia tenggelam” (HR. al-Bazzar).
Dalam hadits lain: “Siapa bilang keturunan Rasulullah tidak akan bermanfaat di hari kiamat? Demi Allah, sesungguhnya keturunanku akan terus bersambung dari dunia sampai akhirat” (HR. Imam Ahmad). Dalam hadits lain: “Sesungguhnya aku meninggalkan untukmu dua perkara menyelamatkan: al-Qur’an sebagai tali penyambung bumi dan langit, dan keturunanku, Ahlul Bait” (HR. Imam Ahmad).
Rasulullah Saw. juga pernah menyatakan: “Demi Allah, tiada hamba dikatakan beriman kecuali ia mencintaiku, dan tidak dikatakan mencintaiku kecuali ia mencintai keturunanku” (HR. Ibnu Hibban). Patutlah Imam Bukhari meriwayatan bahwa Saidina Abu Bakr Ra. pernah berwasiat: “Dekatilah Sang Nabi melalui Ahlul Bait”.
Apabila keagungan Mesir dijelajahi lebih dalam lagi, ternyata Mesir juga dipenuhi tradisi-tradisi mulia yang dilestarikan kaum sufi melalui tarekat-tarekat mereka. Majelis Sufi Tertinggi Mesir telah melindungi sekaligus mengkoordinir puluhan tarekat sufi sebagai perguruan-perguruan legal yang siap melatih serta mengasah spiritual dan intelektual peminatnya secara tepat, mudah dan relevan dengan petunjuk agama. Jauh berbeda dengan gerakan-gerakan radikal yang hanya mencetak teroris yang tolol dan sok cinta agama!. Berbeda pula dengan halaqah-halaqah dan organisasi-organisasi lain yang mengaku moderat padahal sebetulnyamudzabdzab (tidak jelas), tidak masuk golongan ini maupun itu sebagimana yang disebutkan dalam surat al-Nisa’ ayat 143.
Tarekat-tarekat sufi itulah yang menjadikan taman-taman surga (maqam-maqam) itu senantiasa ramai dan terus melimpahkan barokahnya. Dan melalui ziarah rutin Ahlul Bait serta mengaji tasawuf secara kontinyu, penulis baru merasakan hidup nyaman di Mesir dan menjalankan tugas menuntut ilmu dengan mudah, pasti dan meyakinkan. Pulang ke kampung halaman pun lebih mantap, lebih optimis dan lebih percaya diri. 
Sumber : Aziznawadi.com


.

PALING DIMINATI

Back To Top