Bismillahirrohmaanirrohiim

Ketika Hukum Islam Ditegakkan di Indonesia

Islam telah menjadi agama pujaan mayoritas warga Indonesia. Sungguh layak untuk disyukuri jika terbukti bahwa Indonesia merupakan negara Islam terbesar sedunia (menurut populasinya). Namun, satu hal yang wajib disadari adalah, Indonesia sampai saat ini belum menjadi negara teokrasi yang berasaskan hukum Islam. Itupun layak untuk disyukuri. Mengapa?

Sejarah sudah lama mencatat bahwa Indonesia didirikan hasil perjuangan banyak ras, suku dan agama. Catatan tersebut menyimpulkan bahwa Indonesia bukan hanya milik suatu agama, dari itu sangat diharapkan respeksi seluruh warga yang ada terhadap Pancasila dan UUD '45 sebagai dasar hukum negara yang telah ditetapkan pasca pengaliran darah yang tak kunjung sirna dari memori kita. Dimana penulis yakin bahwa dasar hukum tersebut sebetulnya tidak kontra dengan prinsip-prinsip semua agama yang eksis di Indonesia, sekaligus mampu mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat yang ikhlas mematuhinya.

Beda halnya ketika diskriminasi agama mulai diprovokasikan, dan esensi hak asasi mulai dinodai. Jasa-jasa leluhur bangsa nyaris terlupakan, akhirnya dasar hukum itupun terabaikan begitu saja tanpa alasan yang demokratis dan konstruktif. Ini harus ditegur secara tegas oleh bangsa sebelum dijajah kembali oleh hegemoni yang egois dan tak kenal mesra.

Penulis yakin, Islam agama perdamaian dan kasih sayang, bukan agama anti toleransi dan gemar kekerasan. Dari itu, tidaklah patut bila dipolitisir secara membabi buta. Islam terlebih dahulu perlu dimengerti hukum-hukumnya secara tepat untuk menghindari penerapan yang asal-asalan, yang hanya terkesan anarkis, persekutif, diskriminatif dan eksploitatif. Mungkin saja karena Pemerintah sekarang tidak dianggap Ulil-Amri yang wajib ditaati sehingga tindakan-tindakan ceroboh itu lahir sebagai aksi pemberontakan pra khilafah. Padahal, calon-calon khalifah yang ada belum tentu sama visi dan misinya dengan khalifah-khalifah jitu terdahulu. Itu perlu diingat.

Indonesia yang saat ini masih berstatus negara hukum, sudah dihantui pelbagai keluhan masyarakat tentang anarkisme bercover Islam. Ini harus diantisipasi dengan serius sebelum negara berhasil diislamkan oleh komunitas muslim otoriter tersebut, karena hal itu tentu akan mengkhawatirkan kita semua. Aksi-aksi non-toleran dan non-kompromis yang terjadi belakangan ini menunjukkan warna dan cara berdakwah mereka, dimana mengisyaratkan malangnya nasib jutaan kepala ketika Indonesia resmi diislamkan nantinya. Na'udzu billah min dzalik.

Kecacatan fenomenal tersebut, bagi penulis, tidak terletak pada substansi hukum Islam itu sendiri, melainkan kesalahpahaman dan penyalahgunaan sudah merajalela di tengah-tengah kaum muslimin, baik yang masih setia mendalami dogma-dogma agama di pesantren, yang nganggur, yang demo, yang ceramah, maupun yang sudah terjun berpolitik. Kesalahpahaman itu akhirnya melahirkan penodaan citra dan pencemaran kharisma. Ucapan takbir yang sepatutnya dilantunkan dengan indah, kini terdengar keras menyakiti hati dan telinga. Ucapan takbir sebagai semboyan kemahasucian dan kemahabesaran Tuhan sekaligus pembuka ibadah sembahyang, kini dijadikan sebagai komando kekerasan. Sungguh horor bila hukum Islam -palsu- itu ditegakkan.

Untuk meyakinkan dunia tentang wibawa dan kebesaran Islam, sungguh sukar jika umatnya sendiri masih nampak bodoh dan semakin saja bodoh. Mengapa justru pecinta-pecinta khilafah Islamiyah yang terlihat egois di mata dunia? Terbelakang, keras, ganas, sangar, miskin, kolot dan otoriter !! Memang sih karena dunia sudah terlanjur benci banget ama Islam dan Rasul Islam, tapi... sebab siapa coba ?!?

Untuk mendirikan sebuah negara khilafah di akhir zaman ini, haruslah meninjau lebih dahulu benturan peradaban yang telah terjadi. Benturan peradaban yang tak seimbang itu mengingatkan bahwa di satu sisi, peradaban khilafah Islam yang murni sudah berakhir secara alami, sementara peradaban sekuler kini mendominasi. Di sisi lain, sekularisme tersebut tidak selalu lebih riskan dan mengkhawatirkan daripada sistem khilafah yang tak lagi bersih dan rapih. Sebaiknya, jika Indonesia belum memiliki kekuatan ideologi, kekuatan ekonomi, dan kekuatan militer yang handal, serta masih buta terhadap konteks-konteks hukum Islam yang esensial, fleksibel dan rahmatan lil-alaminntar dulu deh !!

Sebab menjalankan UUD yang merupakan produk manusia sungguh lebih aman dan lebih selamat daripada menerapkan hukum Tuhan secara keliru dan sembarangan!
Penulis saat ini masih konsen menuntut ilmu di Timur Tengah. Lumrahnya setiap pelajar punya cita-cita sebagai motivator belajarnya. Tidak jarang pelajar yang bercita-cita menjadi seorang presiden, bahkan sejak usia dini sudah mengimpikannya secara spontanitas. Entah apa yang terlintas di benak pelajar SD yang bercita-cita menjadi presiden?! Amat dikhawatirkan jika anak-anak bangsa sudah terdoktrin secara tidak langsung bahwa jabatan politik hanyalah senjata terampuh untuk meraih popularitas dan glamoritas, tidak lebih dari itu!

Penyalahgunaan politik memang sudah marak akhir-akhir ini. Banyak pejabat politik yang hanya menciptakan neraka bagi rakyatnya. Sungguh berat memimpin sebuah negara agar makmur, sentosa dan rakyatnya sejahtera. Tapi mengapa tugas dan tanggung jawab seberat itu justru dialihkan menjadi upaya teringan untuk memporak-porandakan segalanya?! Oleh karena pejabat-pejabat itu kotor dan najis, maka saatnya para ulama' turun tangan menggantikan posisi mereka!

Ops... Sebentar dulu... Kenapa mesti para ulama'?

Di universitas al-Azhar, penulis diajar bahwa undang-undang Tuhan lebih garantif dibanding undang-undang produk manusia, dan hanya ulama'lah yang memahami undang-undang Tuhan tersebut, dimana Tuhan tidak hanya mengatur urusan ibadah saja, tapi juga urusan sosial, ekonomi, militer, seni, politik dan ketatanegaraan. Penekankan al-Azhar itu membuat banyak jebolannya menjadi risih oleh undang-undang produk manusia yang masih saja diterapkan dimana-mana. Undang-undang Tuhan sudah tidak dihiraukan lagi sehingga kerusakan merajalela, khususnya kerusakan moral dan etika. Oleh karena Hukum Islam terkesan kalah, maka upaya-upaya teokratisasi mulai menyala-nyala dan nyaris mengorbankan segala-galanya.

Di universitas yang sama, penulis diajar bahwa pemisahan agama dari politik yang digembor-gemborkan para penganut sekularisme hanyalah upaya untuk menjauhkan naluri rakyat dari petunjuk Tuhannya, dengan misi agar Islam tidak lagi jaya di atas muka bumi. Hal ini semakin memprovokasi mahasiswa untuk memerangi habis-habisan faham sekularisme dan terus-menerus berupaya semaksimalnya agar hukum Islam ditegakkan di setiap negara.

Hanya saja, cukup menarik perhatian penulis, ketika al-Azhar dengan moderatismenya mengarahkan mahasiswa kepada kontemporerasi penerapan hukum Islam di zaman perbenturan budaya seperti sekarang ini. Dalam sebuah diktat fakultas syari'ah, diuraikan bahwa sanksi-sanksi yang sudah dibakukan Islam adalah bersifat fleksibel, kondisional dan relevansinya tidak permanen seutuhnya. Misalnya sanksi membunuh untuk murtad, potong tangan bagi pencuri, potong leher bagi pembunuh, rajam bagi pelaku zina, dan lain sebagainya. Semua itu tidak tepat jika diaplikasikan begitu saja secara tergesa-gesa dan tanpa meninjau terlebih dahulu tuntutan dan sikon dunia.

Penulis pernah melihat sebuah rekaman video yang menayangkan aksi penegakan hukum Islam secara eksklusif di beberapa negara. Sungguh horor dan mengerikan! Beredarnya video itu tidak berakibat apapun selain bertambah banyaknya jumlah pembenci Islam di dunia. "Islam ternyata benar-benar anarkis dan brutal" kata mereka. Apa kata dunia jika penduduk Indonesia banyak yang terbunuh oleh pemerintahnya sendiri, dan mayoritasnya cacat tak berdaya?! Islam-lah yang akan menjadi sorotan satu-satunya.

Apapun misi politik dalam Islam (menurut disiplin ilmu al-Siyasah al-Syar'iyah), Islam tetap harus dipelihara citra dan kharismanya dihadapan dunia. Secara teoritis, politik yang sehat dan menyehatkan ialah jika dipergunakan untuk kesejahteraan seluruh rakyat dan kemakmuran bangsa dalam segala aspeknya. Akan tetapi, praktek Islaminya, sampai saat ini masih kontroversial dan belum ditemukan titik terangnya.

Dalam acara Kick Andy, Gus Dur menegaskan bahwa maraknya pornografi dan kekacauan moral lainnya, tidak selalu ditangani pemerintah, akan tetapi dalam hal ini peranan para kiyai perlu diaktifkan sehingga perbaikan moral dapat berlangsung secara heart to heart tanpa harus melalui instruksi paksa dari pemerintah. Begitu juga dalam kasus-kasus lain yang sejenis. Pemerintah punya prioritas sebagaimana para ulama' juga punya tugas pokok yang harus dijalani sampai tuntas. Jangan dicampur-adukkan, karena agama dan politik adalah dua hal yang saling melengkapi, bukan satu hal yang dicampur-adukkan. Itu yang penulis fahami.

Para ulama' yang merasa benar sendiri dan merasa lebih berhak memimpin negara, sebaiknya jangan sok mantap dulu dalam menjalankan upaya-upaya teokratisasi dan politisasi agama. Ketika anda -wahai ulama'- ingin memanfaatkan politik untuk kemaslahatan dakwah anda, maka berpolitiklah yang sehat, dan fahami dulu konteks hukum Islam dengan tepat. Zaman sekarang, para da'i formal yang ada belum berdakwah dengan benar, boro-boro mau berpolitik!

Kalau seorang sekuler bersikeras memisahkan otoritas keagamaan dari kekuasaan politik karena takut pada hukum Islam, maka alasan itupun sangat logis, sebab pelaku teokratisasi itu sendiri belum memahami apa itu hukum Islam!. 
(Oleh: Abdul Aziz Sukarnawadi, Lc. Dipl.)


.

PALING DIMINATI

Back To Top