Bismillahirrohmaanirrohiim

Kerahkan Imajinasimu

Segala sesuatunya mesti terukur. Misalnya, berapa jumlah pelanggan yang baru, berapa jumlah produk yang laku. Hasil-hasil pengukuran itu jadi titik tolak untuk mengambil keputusan, untuk bertindak, untuk
mengantisipasi masa depan.
Petuah yang lazim mereka ucapkan ialah “Jika kamu tidak bisa mengukurnya, kamu tidak bisa mengelolanya.” Ada persepsi bahwa manajemen yang baik adalah manajemen yang terkait erat dengan pengukuran yang baik.
Saya menangkap kesan bahwa apabila kita telah cukup mengetahui tentang sesuatu dalam angka-angka, kita hampir pasti mampu mengendalikannya.
Berpikir seperti itu tak ubahnya menarik garis ekstrapolasi. Apabila begini, maka begitu. Sayangnya, pergerakan dunia tidak selalu mengikuti garis ekstrapolasi. Mendadak saja berubah adalah peristiwa wajar yang kerap kita
hadapi. Dengan mengandalkan hanya pada apa yang kita ukur, pandangan kita mengenai realitas jadi lebih terbatas.
Kita menempatkan diri dalam kurungan apabila mengikuti cara berpikir seperti itu. Kita tak ubahnya katak di dalam tempurung. Gagasan-gagasan segar sukar lahir dari cara berpikir ekstrapolatif. Charles Sanders Peirce,
filosof pragmatis yang hidup pada akhir abad 19 dan awal abad 20, menunjukkan bahwa tidak ada gagasan baru yang dihasilkan oleh logika induktif atau pun deduktif. Jika kita bersikukuh mengukur apa yang dapat diukur,
kita tak akan bisa menciptakan sesuatu yang berbeda dari masa lampau.
Lagi pula, kalaupun kita mengikuti cara berpikir ekstrapolatif tadi, belum tentu apa yang terjadi di kemudian hari akan seperti yang kita esktrapolasikan. Menghadapi situasi seperti ini, para manajer suka menyalahkan kekuatan
di luar kendalinya. Bagaimana kita bisa meramalkan bahwa kejadiannya seperti itu?
Pernyataan itu, betapapun, mengandung kebenaran juga. Kejadian masa depan tak bisa diprediksi. Yang menjadi soal ialah mereka terlampau mengandalkan logika induktif atau deduktif sebagai cara berpikir yang benar
untuk membayangkan masa depan. Untuk kemudian, mereka bertindak atas dasar itu.
Menghadapi situasi yang tak pasti di masa depan, imajinasi memainkan peran yang lebih krusial. Masa depan adalah ihwal imajinasi, bukan pengukuran. Temuan Peirce menunjukkan kecenderungan itu. Untuk
membayangkan masa depan, kita mesti melihat melampaui variabel-variabel terukur, melampaui apa yang telah terbukti dengan data masa lampau.
Apa yang dilakukan oleh Alexander Graham Bell adalah contoh dari kekuatan imajinasi. Pada masanya, orang belum bisa bercakap-cakap dari jarak jauh. Kabar mengenai keluarga disampaikan melalui pos dan telegram. Bell
berpikir melampaui kemungkinan yang terbatas dari kedua sarana ini. Ia berpikir “di luar kotak”. Ia menggunakan imajinasinya untuk bergerak melampaui cara-cara berpikir biasa.
Contoh lain, Yahoo! sudah cukup lama hadir dan percaya diri dengan kehebatan mesin pencari dan portalnya. Lalu datang Google yang memperdalam kekuatan mesin pencari. Tapi dedengkot kedua raksasa ini tidak berpikir
tentang memanfaatkan internet untuk menyambung silaturahmi antarpenggunanya hingga Facebook datang. Mark Zuckerberg dkk. Melakukan lompatan logika ketika sampai kepada gagasan kreatif itu.
Cara berpikir inilah yang disebut oleh Peirce sebagai abductive logic, yakni suatu lompatan logika dalam pikiran. Dunia menjadi tak terbatas, dalam arti kita bisa berpikir sebebas-bebasnya perihal berbagai ragam
kemungkinan. Meminjam teori “sum over histories” fisikawan jenius Richard Feynman, bahwa semesta memiliki banyak sekali sejarah, maka masa depan pun mempunyai banyak sekali kemungkinan.
Nah, menghadapi dunia yang serba penuh kejutan, kita perlu memakai frase lain, “Jika kamu tidak bisa membayangkannya, kamu tidak pernah bisa menciptakannya..” Jadi, kerahkan imajinasimu. ***


.

PALING DIMINATI

Back To Top