Oleh Aas Ahmad Hulashoh
Di antara keyakinan ahlussunnah wal jama'ah adalah tidak boleh mengkafirkan sesama muslim.
Apabila tuduhan kafir kepada seseorang yang tidak sesuai kenyataannya, maka dikhawatirkan tuduhan kembali kepada dirinya.
Dalam hadits Riwayat Imam Abu Dawud dan al Baihaqi:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-ثَلاَثَةٌ مِنْ أَصْلِ الإِيمَانِ : الْكَفُّ عَمَّنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَلاَ تُكَفِّرْهُ بِذَنْبٍ وَلاَ تُخْرِجْهُ مِنَ الإِسْلاَمِ بِعَمَلٍ وَالْجِهَادُ مَاضٍ مُنْذُ بَعَثَنِىَ اللَّهُ إِلَى أَنْ يُقَاتِلَ آخِرُ أُمَّتِى الدَّجَّالَ لاَ يُبْطِلُهُ جَوْرُ جَائِرٍ وَلاَ عَدْلُ عَادِلٍ وَالإِيمَانُ بِالأَقْدَارِ ـ رواه أبو داود والبيهقي)
[Diriwayatkan] Dari Anas bin Malik, Rasulullah ﷺ bersabda, “Ada tiga hal yang merupakan bagian dari dasar iman, yakni (1) menjaga lisan dari orang yang telah mengucapkan “Lâ ilâha illallâh”. Jangan mengafirkan mereka sebab suatu dosa serta jangan mengeluarkan mereka dari Islam sebab suatu perbuatan; (2) jihad yang tetap berlaku sejak Allah mengutusku hingga akhir dari umatku membunuh Dajjal. Keberlakuan itu tidak akan gugur sebab kekejaman orang yang jahat dan tidak juga sebab keadilan orang yang adil; (3) dan iman dengan qadar Allah (HR. Abu Dawud dan al-Baihaqi).
Kemudian Imam Al Bukhari pun meriwayatkan:
عن عبد الله بن دينار عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال أيما رجل قال لأخيه يا كافر فقد باء بها أحدهما ـ رواه البخاري
[Diriwayatkan] dari Abdullah bin Umar, Rasulullah shallallāhu 'alaihi wa sallam bersabda “Seandainya seseorang mengatakan “Wahai Kafir” kepada saudaranya, maka tuduhan kafir tersebut akan kembali kepada salah satu di antara keduanya” (H.R. al Bukhari)
Kedua hadits tersebut menjadi dasar bagi para Ulama ahli Tauhid menjadi dasar terlarangnya mencap kafir kepada sesama muslim, kecuali apabila tampak tanda-tanda yang jelas kekafirannya. Selama masih ada tanda keislamannya janganlah pernah mencap kafir kepada sesama muslim.
Dawuh Imam Abu Ja'far Ismail ath Thahawi dalam kitabnya:
العقيدة الطحاوية بيان عقيدة أهل السنة والجماعة للإمام أبي جعفر الطحاوي الحنفي ت. ٣٢١ ه ص ٢١:
ولا نكفر أحدا من أهل القبلة بذنب ما لم يستحله
"Dan kami tidak mengkafirkan seseorang dari ahli kiblat dengan sebab suatu dosa selama si pelaku tidak menghalalkan (dosa) itu." [Aqidah Thahawiyah]
Beliau adalah murid dari Imam Abu Yusuf yang merupakan salah satu murid dari Imam Abu Hanifah, peletak Madzhab Hanafi dalam fiqih. Dan Imam Abu Hanifah selain Fuqaha, beliau juga menjelaskan ilmu Tauhid dengan Al Fiqhul Akbar nya, yang kemudian juga al Fiqhul Akbar, ini sebagaimana telah dikatakan pada postingan sebelumnya di syarah (diberi penjelasan) di antaranya oleh Imam Abu Manshur al Maturidi, selain sebagai penggagas Maturidiyah juga sebagai pengikut Madzhab Hanafi dalam Fiqih, walau demikian sebagian ulama ada yang meragukan kitab syarah ini sebagai karya dari Imam Abu Manshur - dan ini biasa dalam khazanah ilmiah -, dan yang mensyarah kitab Al Fiqhul Akbar adalah Imam Mula Ali Qari. Dan di antara pemerhati aqidah di kalangan Hanafiyah adalah Imam ath Thahawi walaupun sebelumnya merupakan Syafi'iyyah. Dan itu bukan masalah, karena hal biasa juga seorang ulama memutuskan perpindahan madzhab dalam fiqih.
Larangan mengkafirkan ahli kiblat selama masih ada tanda keislaman merupakan bagian ajaran yang ditanamkan kepada kita.
Masalahnya adalah sikap gegabah dan ta'ashshub (fanatik buta) serta terbelenggu oleh doktrin TAKFĪRĪ seperti kaum khawarij menjadikan mencap kafir dan sesat kepada sesama muslim sebagai hal biasa, bahkan sudah terbiasa menjadi ghibah dengan alasan menunjukkan kebenaran, sehingga samar mana ghibah dan mana mengungkap kebenaran.
Ada sebuah kitab bagus karya Imam Al Ghazali, yaitu kitab Faishal at Tafriqah, dalam kitab ini akan membuka wawasan kepada kita agar tidak fanatik buta terhadap pemahaman satu madzhab akidah lalu memvonis kafir kepada yang berbeda pendapat TANPA MEMBERI KRITERIA tentang KUFUR.
Dibawah ini beberapa yang saya baca dan kutip beberapa 'ibarah sebagai berikut:
فيصل التفرقة بين الإسلام والزندقة للإمام الغزالي:
فإن زعم أن حد الكفر ما يخالف مذهب الأشعري أو مذهب المعتزلي أو مذهب الحنبلي أو غيرهم فاعلم أنه غير بليد قد قيده التقليد (ص ١٩)
وان اختلفت طرقهم ما داموا متمسكين بقول لا إله إلا الله محمد رسول الله صادقين بها غير متنابضين لها فأقول الكفر هو تكذيب الرسول صلى الله عليه وسلم في شيئ مما جاء به
والإيمان تصديقه في جميع ما جاء به فاليهودي والنصراني كافران لتكذيبهما للرسول صلى الله عليه وسلم والبراهمي كافر بالطريق الأولى لأنه أنكر مع رسولنا سائر ألمرسلين (ص ٢٥ - ٢٦)
فكل مكذب للرسول فهو كافر وكل كافر فهو مكذب للرسول صلى الله عليه وسلم..
من الناس من يبادر إلى التأويل بغلبة الظنون والأوهام من غير برهان قاطع ولا ينبغي أن يبادر أيضا إلى تكفيره في كل مقام بل ينظر فيه فإن كان تأويله في أمر لا يتعلق بأصول العقائد ومهمات الدين فلا يكفر (ص ٥٣) - إلى أن قال - وأما من يتعلق من هذا الجنس بأصول العقائد المهمة فيجب تكفير من يغير الظاهر بغير برهان قاطع
الخ
Dari 'ibarah tersebut, terdapat beberapa catatan sebagai berikut:
Pertama, barangsiapa menganggap bahwa batasan kufur adalah sesuatu yang menyalahi madzhab al Asy'ari, atau al Mu'tazili, atau Al Hambali atau lainnya maka hal itu keliru karena dibatasi dengan taqlid
Kedua, seandainya berbagai aliran berbeda metode selama berpegang teguh terhadap ucapan لا إله إلا الله محمد رسول الله membenarkannya tanpa ada tanaqudl (pertentangan dengan maksud ucapan tersebut) MAKA AL GHAZALI MEMBERI BATASAN: KUFUR ADALAH MEMBOHONGKAN RASUL PADA SUATU PERKARA YANG DIDATANGKANNYA.
Ketiga, IMAN adalah membenarkan semua yang didatangkan kepada Nabi, maka Yahudi, Nasrani, Brahmi dsb menjadi kafir karena mendustakan NABI dan atau mengingkari NABI dan para Rasul yang lain
Keempat, setiap yang mendustakan Rasul adalah kafir, dan setiap kafir mendustakan Rasul shallallâhu 'alaihi wa sallam
Kelima, terhadap golongan yang mentakwil suatu dalil dan takwilannya itu berdasarkan dzan dan waham tanpa bukti-bukti yang qath'i maka jangan pula jangan mudah mengkafirkannya tetapi harus di nadzar terlebih dahulu takwilannya, apabila dia mentakwil pada perkara yang tidak berkorelasi dengan usul aqaid dan pokok-pokok agama janganlah di cap kafir. Tetapi bila bertentangan dengan pokok aqaid malah wajib mengkafirkan orang yang mengubah sesuatu yang dzahir dengan tanpa penjelasan yang qath'i.
Catatannya adalah terkadang salah satu jalan memahami adalah mentakwil, dan ada beberapa hal yang memerlukan takwil. Penetapan kafir adalah kepada mereka yang mentakwil masalah aqidah dan pokok-pokok agama dari suatu dalil hanya berdasarkan dzon atau waham tanpa bukti-bukti yang qath'i.
Secara detailnya perlu membaca dengan seksama. Intinya jika MEMBOHONGKAN dan mengingkari apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam dan para Rasul yang lain dan bertentangan dengan dalil qath'i dalam hal pokok-pokok aqidah dan agama layak disebut kafir..
Demikian menurut Imam Al Ghazali sehingga sedemikian bahayanya mencap kafir seseorang, dan tuduhannya akan kembali kepada dirinya, yakni mengkafirkan seorang yang ternyata muslim maka si penuduh menjadi kafir karenanya sebagaimana hadits al Bukhari di atas, wal 'iyādzu bilLāh..
Terhadap hadits tersebut Imam Ibnu Hajar al Asqalani memberikan penjelasan dalam Fathul Bārī sebagai berikut:
فتح الباري جل ١٦ ص ١٩٨:
والحاصل أن من أكفر المسلم نظر فان كان بغير تأويل استحق الذم وربما كان هو الكافر وإن كان بتأويل نظر ان كان غير سائغ استحق الذم أيضا ولا يصل إلى الكفربل يبين له وجه خطئه ويزجر بما يليق به
"Al Hasil, seseorang yang mengkafirkan seorang Muslim, maka harus diteliti. Apabila ia menuduh tanpa adanya takwil (penjelasan/interpretasi) maka ia pantas mendapatkan celaan dan tak jarang ia sendirilah yang kafir. Dan apabila ia menuduh dengan adanya takwil (penjelasan/interpretasi) maka dipertimbangkan seandainya ia menuduh tanpa alasan yang diperkenankan maka ia pantas mendapatkan celaan, akan tetapi ia tidak sampai derajat kafir. Bahkan, ia harus menunjukkan segi kesalahan orang yang ia tuduhkan kafir serta ia harus menegurnya dengan perbuatan yang pantas." [Fathul Bārī]
Salah satu ayat Al Qur'an yang perlu direnungkan adalah Firman Allah:
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْۤا اِذَا ضَرَبْتُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ فَتَبَـيَّـنُوْا وَلَا تَقُوْلُوْا لِمَنْ اَلْقٰۤى اِلَيْكُمُ السَّلٰمَ لَسْتَ مُؤْمِنًا ۚ تَبْـتَـغُوْنَ عَرَضَ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۖ فَعِنْدَ اللّٰهِ مَغَانِمُ كَثِيْرَةٌ ۗ كَذٰلِكَ كُنْتُمْ مِّنْ قَبْلُ فَمَنَّ اللّٰهُ عَلَيْكُمْ فَتَبَـيَّـنُوْا ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا
"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah (carilah keterangan) dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan "salam" kepadamu, "Kamu bukan seorang yang beriman," (lalu kamu membunuhnya) dengan maksud mencari harta benda kehidupan dunia, padahal Allah memiliki harta yang banyak. Begitu jugalah keadaan kamu dahulu, lalu Allah memberikan nikmatNya kepadamu, maka telitilah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan."
(QS. An-Nisa' 4: Ayat 94)
Pada akhirnya apa yang kita nilai adalah dzahirnya seseorang, kita tidak pernah mengetahui kedalaman hatinya dan apa yang terkandung di dalam dadanya. Suatu saat Baginda Rasulullah shallallāhu 'alaihi wa sallam menyesalkan perbuatan sahabat Usamah bin Zaid yang telah membunuh seorang kafir yang ketika akan dibunuh dalam peperangan orang tersebut mengucapkan لا إله إلا الله , saat itu Baginda sangat bertanya kepada Usamah, "Mengapa kamu membunuh orang yang mengucapkan لا إله إلا الله ?", Usamah menjawab, "Dia mengatakannya karena mencari perlindungan saja.", Maka Baginda bersabda :
هلا شققت عن قلبه
"Sudahkah kamu membelah dadanya, mengungkap isi hatinya?"
Nah, siapa yang bisa menyelami hakikat keimanan dalam hati seseorang?
Maka, apabila terhadap mereka yang kafir seperti begitu, maka bagaimana bisa mereka yang menyatakan kesaksian dua kalimah syahadah begitu mudahnya dicap kafir?
فتأمل !
Semoga bermanfaat..
والله أعلم بالصواب
وصلى الله على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
والحمد لله رب العالمين
*) dari berbagai sumber
Nurulfalah Garut, 16 November 2025/25 Jumādal Ūlā 1447 H
Majlis Kopi Garut
@@$thea