Bismillahirrohmaanirrohiim

INILAH LOGIKA CACAT GURU GEMBUL

Oleh Mukhtar Syafaat 

Tidak perlu dalil agama untuk mengukur kesalahan Guru Gembul dalam membahas isu pesantren. Cukup punya logika dasar sudah bisa menemukannya. Dalam dasar ilmu mantiq (ilmu logika / berpikir). Dikenal yang namanya tashawwur dan tashdiq. Tashawwur artinya mendefinisikan sesuatu, atau menggambarkannya. Sedangkan tashdiq artinya menghubungkan dua hal yang sudah difahami definisinya. Tashdiq hanya bisa dialakukan setelah tashawwur, dalam kaedah ilmu mantiq disebutkan;
حكم شيئ فرع عن تصوره
"Menilai sesuatu adalah tahapan cabang dari mendifinisikannya".

Dalam kasus adab pesantren dan feodalisme seperti yang disampaikan Guru Gembul. Terlebih dahulu perlu difahami dan didefinisikan apa itu feodalisme, dan apa itu adab pesantren sebelum menisbatkan keduanya, dan setelah dinisbatkan, perlu juga diuji dan dinilai kebenaran penisbatannya, apakah adab pesantren itu sudah pas disebut feodalisme. Dalam literasi tentang feodalisme, orang barat mendefinisikannya dengan hubungan yang dibangun di atas pembagian materi untuk mempertahankan hirarki sosial agar tidak muncul kekuatan baru. Hubungan ini memunculkan pembagian kasta antar manusia. Petani dan anak petani, sampai kapanpun tidak akan pernah bisa menjadi tuan tanah bahkan tidak bisa menjadi seorang prajurit dan kesatria. Maka untuk menjaga eksistensi hubungan ini, dimunculkan beberapa aturan gestur tubuh yang sedemikian rupa ketika petani dan anak petani bertemu dengan tuan tanah dan anaknya.

Sedangkan adab pesantren adalah hubungan yang dibangun di atas penghormatan keilmuan, jasa pendidikan, dan keagamaan. Seorang santri menghormat pada kyai, karena merasa kyai sangat berjasa dalam hidupnya, yang mengangkisnya dari keterperukan. Dalam beberapa penelitian orang luar negeri ditemukan justru pesantren memiliki sepirit menghilangkan perbedaan kasta ini. Anak-anak petani, dan kelas bawah lainnya, kehidupannya berubah dan meningkat, setelah mengenyam pendidikan pesantren, bahkan pada tingkatan sosial tertinggi, di saat mereka justru tidak diterima di pendidikan lain. Pendidikan adab pesantren sama sekali tidak ada tujuan mencegah munculnya hirarki baru. Anak petani, jika mengenyam pendidikan pesantren dengan baik, akan menjadi seorang kyai. KH. Abd Karim atau Mbah Manaf pendiri Lirboyo, salah satu contohnya, beliau anak petani tapi kemudian sukses menjadi seorang kyai.

Sehingga meski sama-sama memunculkan aturan gestur tubuh sedemikian rupa yang tampak mirip, antara adab pesantren dan feodalisme jelas haqiqatnya berbeda. Maka penisbatan keduanya, merupakan cacat logika (logical fallacy).

Mungkin Guru Gembul masih bisa membela diri, bahwa menurut data yang dia punya, memang betul-betul ada pesantren yang menerapkan dan mengajarkan feodalisme. Anggaplah pernyataan Guru Gembul ini benar dulu, meski perlu diuji juga kebenarannya. Namun dalam ilmu logika, penelitian kasus terhadap beberapa bagian sesuatu dan ditemukannya memiliki satu sifat tertentu yang seragam, tidak bisa dipakai untuk menilai keseluruhan (mengeneralisir), tanpa adanya penelitian menyeluruh kepada semua bagian yang masuk katagori sesuatu tersebut. Artinya, kasus yang terjadi di satu dua atau bahkan beberapa pesantren, tidak bisa dipakai untuk menilai pendidikan pesantren secara keseluruhan, karena tidak memenuhi unsur-unsur istiqra' tam (penelitian menyeluruh). Jadi sekali lagi Guru Gembul logikanya cacat.

Dalam video yang dia rilis, Guru Gembul berkilah bahwa, jika memang tidak seperti itu, tidak perlu tersunggung, biar yang luka yang merasa pedih. Andaikan narasinya sejak awal, tidak menggunakan penilaian yang mengeneralisir, tentu insan pesantren akan lain menanggapinya. Tapi ini berbeda, maka setiap pembahasan tentang feodalisme pesantren akhir-akhir ini akan selalu dikaitkan dengan narasi awal tersebut. Ditambah lagi, sosok yang ditampilkan justru sosok kyai yang sangat jauh dari apa yang dinarasikan. Sehingga meski misalnya Guru Gembul memaksudkan pernyataannya untuk beberap pesantren yang bermasalah tersebut, dia tidak bisa membela diri selama bahasa yang dipakai tetap mengeneralisir, sekali lagi ini cacat logika. Dalam ilmu logika yang sudah memiliki perpaduan usul fikih, ada kaedah;
العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب
"Yang dijadikan acuan adalah keumuman lafadz (jika menggunakan bahasa mengeneralisiri), bukan sebab tertentu (yang menjadi alasan munculnya pernyataan tersebut)".

Sebenarnya jika diteliti semua kontennya, sangat banyak pernyataan dan kesimpulanya yang didasarkan pada logika berpikir yang cacat, tidak heran ketika berdebat dengan Ust. Muhammad Nuruddin beberapa waktu lalu yang memang ahli ilmu logika, Guru Gembul dirujak tanpa ampun.

Lantas kenapa Guru Gembul sering cacat berlogika? Padahal sepintas tanpak orang yang suka membaca? Jawabannya adalah, Guru Gembul tidak pernah belajar ilmu logika, dan tidak mau mempelajarinya. Bacaan dan data adalah satu hal, membaca data dan menilainya untuk memunculkan kesimpulan adalah hal lain. Jadi sebanyak apapun bacaan dan data seseorang, jika tidak memilik cara berpikir yang benar, maka dia akan melahirkan kesimpulan yang salah.

Kenapa tidak mau belajar ilmu logika? Guru Gembul sepertinya cenderung terpengaruh oleh pola pikir kaum salafi wahhabi yang mengharamkan belajar ilmu logika, meski mungkin betul dia bukan salafi wahhabi sesuai pengakuannya. Tapi pola pikirnya, sangat mirip dengan orang-orang salafi wahhabi, yang memang sering cacat ketika berpikir, sehingga meski hafal banyak hadis sekalipun, tetap memunculkan kesimpulan yang salah, karena cara berpikir dalam memahami hadisnya salah, apalagi jika hafal hadisnya hanya terjemahannya. Di sini kenapa Imam Ghazali sangat menganjurkan belajar ilmu matiq (ilmu berpikir), karena seperti yang disampaikan Syaikh Abd Rohman Al Ahdori;

وبعد فالمنطق للجنان # نسبته كالنحو للسان
فيعصم الأفكار عن غي الخطا # وعن دقيق الفهم يكشف الغطا
Ilmu mantiq (berpikir) bagi pikiran, tak ubahnya ilmu nahwu bagi lisan
Menjaga agar pikiran-pikiran tidak keliru, dan membuka tabir pemahaman yang mendalam

Memang betul Guru Gembul mengaku tidak berafiliai dengan organisasi apapun dan madzhab manapun, tapi pola pikir ala wahhabi, sangat tampak mempengaruhinya, mungkin karena literasi agamanya memang diwarnai oleh buku-buku mereka. Atau jika memang tidak mau disebut wahhabi, Guru Gembul masuk dalam katagori kelompok yang lebih umum lagi, yang menjadi muara kelompok-kelompok menyimpang moderen lainnya, yaitu kelompok anti madzhab (اللا مذهبية) yaitu kelompok yang ketika membahas sesuatu memang tidak mau mengikuti aturan dan pakem dalam sesuatu tersebut, yang sudah diwanti-wanti berbahaya oleh ulama-ulama islam internasional.


.

PALING DIMINATI

Back To Top