Bismillahirrohmaanirrohiim

Metode Pembelajaran Yang Mencetak Sosok Abul Hasan An-Nadwi

Metode Pembelajaran Yang Mencetak Sosok Abul Hasan An-Nadwi

(Renungan bagi para guru dan pengelola sekolah)

Oleh Yendri Junaidi 

Sejak Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi, baik negeri maupun swasta, madrasah atau pesantren, bidang studi yang diajarkan pada siswa atau mahasiswa biasanya dipecah menjadi beberapa jam atau SKS dalam seminggu. Bidang studi Fiqih misalnya, diajarkan selama dua jam dalam seminggu. Kalau materi itu diajarkan pada hari Senin di jam pertama (pukul 07.30 – 08.30 misalnya) maka siswa baru akan bertemu kembali dengan materi yang sama pada hari Senin minggu depan. 

Akibatnya, baru saja pelajar mulai memahami materi tersebut, tiba-tiba jam pelajaran untuk materi ini berakhir. Karena keterbatasan waktu, materi yang diajarkan pun tak pernah utuh. Siswa yang pemahamannya masih menggantung atau muncul beberapa pertanyaan dalam pikirannya, mesti sabar menunggu minggu depan untuk mendapatkan jawaban. Dan dalam pertemuan berikutnya biasanya ia sudah lupa lagi apa yang diajarkan minggu yang lalu. Begitulah seterusnya. 

Hal ini diperparah dengan penyusunan jadwal bidang studi yang tidak ada kaitannya sama sekali. Jam pertama bidang studi Fiqih, jam kedua Fisika, jam ketiga Seni dan Budaya, jam keempat Bahasa Inggris dan seterusnya. Akhirnya pikiran siswa menjadi terpecah. Dari pembahasan hukum taklifi tiba-tiba beralih ke pembahasan kecepatan cahaya. Dari pembahasan tentang ‘kato nan ampek’ tiba-tiba berpindah pada pembahasan present continuous tense.

*** 

Dalam bukunya Syakhsyiyyat wa Kutub, Syekh Abul Hasan Ali An-Nadwi menceritakan pengalamannya ketika belajar dengan gurunya bernama Syekh Khalil bin Muhammad al-Yamani, guru yang sangat berjasa menanamkan rasa cinta terhadap Bahasa Arab dalam diri Abul Hasan yang membuatnya mampu berbicara dan menulis dalam bahasa Arab tidak kalah atau bahkan melebihi para penulis Arab sendiri meskipun ia seorang ‘ajam.

Abul Hasan mengatakan bahwa diantara kelebihan gurunya ini adalah:

إنه كان لا يخلط بين لغتين بل ومادتين مختلفتين فى التعليم فى وقت واحد ، فمنذ بداية دراستنا للغة العربية والأدب العربي حتى سنتين عكفنا على دراسة اللغة بما فيها قواعد النحو والصرف وعلى الأدب مع ممارسة الكتابة والإنشاء وكان ذلك نهاية أملنا ورأس مالنا (ص 82)

“Ia tak pernah mencampurkan mengajar dua bahasa sekaligus, bahkan tidak juga dua materi pelajaran yang berbeda di waktu yang sama. Sejak awal kami belajar bahasa dan sastra Arab selama dua tahun kami hanya fokus belajar bahasa saja yang mencakup Qawa’id Nahwu dan Sharaf serta Adab (sastra Arab), ditambah dengan latihan menulis dan mengarang. Itulah yang menjadi bekal utama bagi kami.”

Ketika Syekh Abul Hasan berkunjung ke Mesir pada tahun 1951 dan bertemu dengan Syekh Mahmud Syaltut yang kemudian menjadi Syaikhul Azhar, Syekh Syaltut sangat kagum melihat kemampuan Syekh Abul Hasan dalam berbahasa Arab dan buku-buku yang ditulisnya juga dalam bahasa Arab. Syekh Syaltut pun bertanya apa dan bagaimana metode belajar yang ia terima di India. Syekh Abul Hasan pun menjelaskan metode yang digunakan gurunya Syekh Khalil al-Yamani:

ذكرت له أني كنت آخذ مادة واحدة وموضوعا واحدا للدراسة فى وقت واحد ، وبذا كنت فى مأمن من كثرة المواد واختلاط الدروس المختلفة ، الأمر الذي يشاهد فى جميع المدارس والمعاهد الدينية سواء أكانت قديمة أو جديدة

“Saya sampaikan padanya (Syekh Syaltut) bahwa saya hanya mempelajari satu materi atau satu tema di satu waktu. Dengan begitu saya bebas dari beban materi yang banyak serta materi yang berbeda-beda dan saling tumpang-tindih, sesuatu yang terjadi di seluruh madrasah dan ma’had agama, baik dulu maupun sekarang.”

Mendengarkan hal itu, Syekh Syaltut berkomentar dengan penuh semangat:

هذا هو المنهج المفضل للتعليم
“Inilah metode terbaik dalam mengajar.”

*** 

Ternyata metode seperti ini sudah lama disarankan oleh Ibnu Khaldun dalam Muqaddimahnya. Ia menulis:

ينبغي لك أن لا تطول على المتعلم فى الفن الواحد بتفريق المجالس وتقطيع ما بينها لأنه ذريعة فى النسيان وانقطاع مسائل الفن بعضها من بعض فيعسر حصول الملكة بتفريقها 

“Semestinya Anda (wahai guru) tidak menjauhkan jarak untuk satu materi keilmuan dengan memisah-misahkan majelis (pertemuan) dan memotong-motong pembahasannya, karena hal itu akan berdampak kepada lupa dan terputusnya pembahasan dalam satu cabang keilmuan sehingga sulit untuk memunculkan kompetensi (pemahaman) sebab materinya dipisah-pisah.”

Ia juga menegaskan:

ومن المذاهب الجميلة والطرق الواجبة فى التعليم أن لا يخلط على المتعلم علمان معا فإنه حينئذ قل أن يظفر بواحد منهما لما فيه من تقسيم البال وانصرافه عن كل واحد منهما إلى تفهم الآخر فيستغلقان معا ويستصعبان ويعود منهما بالخيبة ، وإذا تفرغ الفكر لتعليم ما هو بسبيله مقتصرا عليه فربما كان ذلك أجدر لتحصيله وأجدر للصواب .

“Diantara cara yang bagus dalam mengajar adalah tidak mencampurkan dua ilmu terhadap murid karena akan sulit baginya untuk menguasai salah satunya (atau bahkan kedua-duanya, pen) sebab konsentrasinya akan terpecah dan ia mesti beralih dari memahami yang satu kepada memahami yang lain. Akhirnya kedua-duanya ‘terkunci’ dan sulit baginya untuk memahaminya, dan ia (murid) hanya akan kembali dengan tangan kosong. Tapi jika ia memfokuskan pikiran pada satu materi saja, membatasi diri hanya untuk itu, maka ini sangat mungkin untuk mencapai hasil terbaik, dan ini yang lebih tepat.”  

***

Jadi, daripada dipisah-pisah, bukankah akan lebih baik jika diajarkan secara berkesinambungan dalam beberapa hari? Misalnya, materi Fiqih. Daripada diajarkan hanya selama dua jam dalam seminggu, kenapa tidak diajarkan selama seminggu penuh berturut-turut? Pembahasan tidak terpotong-potong dan siswa pun akan lebih mudah memahami serta menguasainya. 

Muncul pertanyaan, apakah tidak akan menimbulkan kejenuhan kalau dalam seminggu itu saja materi yang diajarkan?

Kejenuhan dan kebosanan timbul kalau guru tidak kreatif dalam mengajar. Apalagi kalau ternyata guru sendiri belum menguasai materi itu dengan baik. 

Untuk materi Fiqih misalnya. Tentu tidak mesti, bahkan tidak boleh, hanya berfokus pada bahasan teoritis dari kitab saja. Perlu ada praktek. Dengan praktek ini pembelajaran akan terasa lebih hidup.

Untuk materi Bahasa Arab, misalnya. Seperti yang dipaparkan Syekh Abul Hasan, tidak mesti berkutat pada Nahwu saja. Ada banyak cabang dan variasi ilmu dalam Bahasa Arab. Ada imla’, insya’, kitabah, hiwar dan sebagainya. Semuanya bermuara pada satu hal; mengembangkan kemampuan berbahasa Arab.

Muncul lagi pertanyaan, kalau selama seminggu itu, misalnya, murid-murid hanya belajar ilmu Fiqih dengan satu orang guru, lalu guru-guru lainnya ‘ngapain’ ? 

Pertanyaan ini muncul dari persepsi bahwa tugas guru hanya mengajar. Padahal guru juga perlu belajar, di-training, menulis, mengarang kitab, berdiskusi, melakukan penelitian dan sebagainya.

Muncul lagi pertanyaan lanjutan, apakah metode ini bisa dilakukan saat ini? Jawabannya, kenapa tidak? Bukankah saat ini kurikulum merdeka? 

Tapi seringnya, yang menjadi penghalang untuk mencoba sesuatu yang baru lebih karena sudah terbiasa (nyaman?) dengan yang lama. Kekhawatiran ini dan itu. Maka daripada melakukan sesuatu yang bisa saja menimbulkan banyak masalah, lebih baik jalan saja dengan apa yang sudah berjalan saat ini.

Kalau sudah begitu, kapan kita akan berubah ?

والله تعالى أعلم وأحكم

[YJ]


.

PALING DIMINATI

Back To Top