Bismillahirrohmaanirrohiim

Ketika Safar, Lebih Memilih Rukhshah Atau 'Azimah?

Oleh Muhlisin Ibnu Muhtarom

Saudara seiman, pekan ini sudah mulai lebih banyak lagi yang akan mudik dan atau pulang kampung ya. 

Juga, banyak yang berkesempatan untuk ibadah 'Umrah dan ziyarah ke Tanah Suci. 

Nah, semoga beberapa pointer yang kami kumpulkan dari beberapa sumber ini, membantu dalam mengambil sikap ketika berpergian (safar). 

Pointer ini singkat padat karena disampaikan di depan santri ketika Kultum Ramadahan dengan tema Rukshah Musafir Untuk Tidak Berpuasa. Kultum disampaikan jelang Sholat Tarawih.

1. Dalil Q.S. Al Baqarah: 184
Al-Baqarah · Ayat 184

اَيَّامًا مَّعْدُوْدٰتٍۗ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَۗ وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهٗۗ وَاَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ ۝١٨٤
 
(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka, siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, itu lebih baik baginya dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

2. Tujuh Golongan Yang Mendapat Rukhshakh Tidak berpuasa Ramadhan: Orang yang sakit, Musafir, Perempuan Hamis & Menyusui, Perempuan Sedang Haidh atau Nifas, Orang tua lanjut usia. (pendapat lain: Anak kecil yang belum baligh dan mumayyiz, orang yang hilang akal sehatnya). Detailnya, ada yg wajib qadha, ada yg wajib fidyah, bahkan ada yg wajib qadha dan fidyah. Silahkan dikaji di kitab Fiqih ya.

3. Hadits Tentang Rukhshakh

عن ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ، كَمَا يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى عَزَائِمُهُ». صحيح] - [رواه ابن حبان

Sesungguhnya Allah SWT senang jika keringanan-keringanannya diambil, sebagaimana Ia senang ketika 'Azimah (pelaksanaan ibadah secara sempurna) dilaksanakan.

عَنْ اِبْنُ عُمَرَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اِنَّ اللهَ تَعَالَى يُحِبُّ اَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ كَمَا يَكْرَهُ اَنْ تُؤْتَى مَعْصِيَتُهُ . ( رَوَاهُ اَحْمَدُ وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ وَاِيْنُ حِبَّانَ )

Sesungguhnya Allah SWT senang jika keringanan-keringanannya diambil, sebagaimana Ia benci (seseorang) bermaksiat kepadanya.

Mafhumya, orang yg tidak mau mengambil rukhshah seperti orang yg melakukan kemaksiatan.

Manakah yang lebih utama bagi orang yang bersafar, berpuasa ataukah tidak?

Para ulama dalam hal ini berselisih pendapat. Setelah meneliti lebih jauh dan menggabungkan berbagai macam dalil, dapat kita katakan bahwa musafir ada tiga kondisi.

Kondisi pertama adalah jika berat untuk berpuasa atau sulit melakukan hal-hal yang baik ketika itu, maka lebih utama untuk tidak berpuasa. Dalil dari hal ini dapat kita lihat dalam hadits Jabir bin ‘Abdillah. Jabir mengatakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فِى سَفَرٍ ، فَرَأَى زِحَامًا ، وَرَجُلاً قَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ ، فَقَالَ « مَا هَذَا » . فَقَالُوا صَائِمٌ . فَقَالَ « لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصَّوْمُ فِى السَّفَرِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersafar melihat orang yang berdesak-desakan. Lalu ada seseorang yang diberi naungan. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Siapa ini?” Orang-orang pun mengatakan, “Ini adalah orang yang sedang berpuasa.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukanlah suatu yang baik jika seseorang berpuasa ketika dia bersafar”. Di sini dikatakan tidak baik berpuasa ketika safar karena ketika itu adalah kondisi yang menyulitkan.

Kondisi kedua adalah jika tidak memberatkan untuk berpuasa dan tidak menyulitkan untuk melakukan berbagai hal kebaikan, maka pada saat ini lebih utama untuk berpuasa. Hal ini sebagaimana dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, di mana beliau masih tetap berpuasa ketika safar.

Dari Abu Darda’, beliau berkata,

خَرَجْنَا مَعَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فِى بَعْضِ أَسْفَارِهِ فِى يَوْمٍ حَارٍّ حَتَّى يَضَعَ الرَّجُلُ يَدَهُ عَلَى رَأْسِهِ مِنْ شِدَّةِ الْحَرِّ ، وَمَا فِينَا صَائِمٌ إِلاَّ مَا كَانَ مِنَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – وَابْنِ رَوَاحَةَ

“Kami pernah keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di beberapa safarnya pada hari yang cukup terik. Sehingga ketika itu orang-orang meletakkan tangannya di kepalanya karena cuaca yang begitu panas. Di antara kami tidak ada yang berpuasa. Hanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja dan Ibnu Rowahah yang berpuasa ketika itu.”

Apabila tidak terlalu menyulitkan ketika safar, maka puasa itu lebih baik karena lebih cepat terlepasnya kewajiban. Begitu pula hal ini lebih mudah dilakukan karena berpuasa dengan orang banyak itu lebih menyenangkan daripada mengqodho’ puasa sendiri sedangkan orang-orang tidak berpuasa.

Kondisi ketiga adalah jika berpuasa akan mendapati kesulitan yang berat bahkan dapat mengantarkan pada kematian, maka pada saat ini wajib tidak berpuasa dan diharamkan untuk berpuasa. Dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- خَرَجَ عَامَ الْفَتْحِ إِلَى مَكَّةَ فِى رَمَضَانَ فَصَامَ حَتَّى بَلَغَ كُرَاعَ الْغَمِيمِ فَصَامَ النَّاسُ ثُمَّ دَعَا بِقَدَحٍ مِنْ مَاءٍ فَرَفَعَهُ حَتَّى نَظَرَ النَّاسُ إِلَيْهِ ثُمَّ شَرِبَ فَقِيلَ لَهُ بَعْدَ ذَلِكَ إِنَّ بَعْضَ النَّاسِ قَدْ صَامَ فَقَالَ « أُولَئِكَ الْعُصَاةُ أُولَئِكَ الْعُصَاةُ

“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar pada tahun Fathul Makkah (8 H) menuju Makkah di bulan Ramadhan. Beliau ketika itu berpuasa. Kemudian ketika sampai di Kuroo’ Al Ghomim (suatu lembah antara Mekkah dan Madinah), orang-0rang ketika itu masih berpuasa. Kemudian beliau meminta diambilkan segelas air. Lalu beliau mengangkatnya dan orang-orang pun memperhatikan beliau. Lantas beliau pun meminum air tersebut. Setelah beliau melakukan hal tadi, ada yang mengatakan, “Sesungguhnya sebagian orang ada yang tetap berpuasa.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan, “Mereka itu adalah orang yang durhaka. Mereka itu adalah orang yang durhaka”.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela keras karena berpuasa dalam kondisi sangat-sangat sulit seperti ini adalah sesuatu yang tercela.

4. Jarak Musafir Dapat Rukhsah
Para ulama berbeda pendapat mengenai batasan perjalanan yang memperbolehkan seseorang untuk tidak berpuasa. Menurut Imam Hanafi, seseorang yang bepergian sejauh 1 farsah (sekitar 5 km) boleh tidak berpuasa. Menurut Imam Syafii, jarak minimal musafir boleh tidak berpuasa adalah 16 farsah (sekitar 80 km). Menurut Imam Malik dan Imam Ahmad, jarak minimal musafir boleh tidak berpuasa adalah 48 mil (sekitar 88 km).

Selain jarak, ada juga syarat-syarat lain yang harus dipenuhi agar seseorang dapat dikatakan sebagai musafir dan mendapat keringanan puasa. Berikut syarat-syarat tersebut:

 Tujuan perjalanan harus baik dan halal, seperti menuntut ilmu, berdagang, berkunjung ke keluarga, berdakwah, berjihad, atau haji dan umrah. Tidak boleh perjalanan yang buruk dan haram, seperti berbuat maksiat, mencuri, atau membunuh.

 Perjalanan harus dilakukan dengan niat musafir sejak awal. Jika seseorang berangkat dengan niat menetap atau tidak menentukan batas waktu perjalanannya, maka ia tidak boleh tidak berpuasa.

 Perjalanan harus dilakukan sebelum terbit fajar. Jika seseorang sudah berniat puasa dan sudah makan sahur, lalu ia baru berangkat setelah terbit fajar, maka ia harus melanjutkan puasanya.

 Perjalanan harus dilakukan secara terus-menerus tanpa ada henti yang lama di suatu tempat. Jika seseorang berhenti di suatu tempat lebih dari empat hari (menurut pendapat mayoritas ulama), maka ia harus berpuasa di tempat tersebut.

والله أعلم بالصواب.

(MiM)


.

PALING DIMINATI

Back To Top