Bismillahirrohmaanirrohiim

Fantasi Perubahan Orang Bangsa

Oleh. Hasnan Bachtiar*
 
TIDAK ADA keprihatinan yang paling mendalam selain menyaksikan bangsa sendiri terjangkit penyakit sosial yang kompleks. Korupsi, arogansi sosial, pelanggaran HAM, kekerasan, terorisme, kebodohan masal dan kemiskinan, hampir setiap hari menghiasi halaman utama koran-koran yang menemani sarapan pagi. Tentu, semua orang bersepakat bahwa bangsa ini harus berubah menjadi lebih baik. Tapi bagaimana?
 
Sebenarnya tidak ada yang sederhana untuk membincang bagaimana manusia atau komunitas manusia bisa berubah. Namun, pasti ada hal yang “luar biasa” yang turut membantunya dalam rangka perubahan.
 
Bukan hal yang berlebihan untuk berprasangka begitu. Muhammad misalnya, menjadi sosok pemimpin umat manusia yang luar biasa dalam konteksnya. Sepanjang hayat, perahu yang ditumpangi bukan tanpa ombak besar dan badai yang gila, tapi penuh rintang yang terjal. Demikianlah adanya, dalam sejarah panjang umat manusia mencatat bahwa Muhammad bangkit dan menjadi ksatria sejati melawan korupsi, kebodohan, kemiskinan dan tindak anti-manusiawi.
 
Dalam dunia pemikiran, mungkin Nietzsche mengidamkan seorang “Muhammad” dengan versi yang berbeda dalam Also Sprach Zarathustra. Übermensch di harapkan menjadi Ratu Adil, sosok perubah yang menjadi makna dunia. Nietzsche terpaksa memberi pensiun dini bagi makna ketuhanan yang menjajah manusia dan menggantinya dengan kebebasan yang menentang arogansi gereja. Berarti, dalam tirani kekuasaan agama, berani berkehendak untuk menerobos kemelut besar tentang dunia di zamannya.
 
Contoh lain adalah Guru Besar Sufi, Ibn ‘Arabi. Dalam khazanah filsafat Islam, sang guru sampai hati menghapus ke-diri-an ke-manusia-an dalam realitas materiil duniawi. Wihdah al-Wujud bukanlah teori yang sembarangan, karena bukan sekedar artikulasi ide yang dituangkan menjadi Futuhat al-Makkiyyah.
 
Ketunggalan wujud adalah praksis berkehidupan. Kehidupan yang luhur, menjadikan sesosok Ibn ‘Arabi seperti mendapat dentuman-dentuman agung dan mengantarkan dirinya pada keagungan pula. Igauan-igauan Arabi serupa dengan kegilaan-kegilaan yang tidak masuk akal. Bukan tanpa sebab pengandaian tidak ada keabadian selain sosok tunggal Yang Kuasa. Tetapi Ia bertarung dengan beribu “arogansi kemanusiaan” yang merongrong dunia spiritualitas di kala itu. Peristiwa besarnya adalah konteks masyarakat yang terlampau terlena oleh gelimang harta dan kuasa semata.
 
Tokoh-tokoh itu, tidak jauh berbeda dengan Tuan Muhammad Iqbal. Krisis kemanusiaan yang berkepanjangan di Pakistan: penjajahan, eksploitasi, pembodohan, pelanggaran HAM, menjadikan Iqbal bercermin pada sosok the Perfect Man. Ia melampaui sekedar spirit kesadaran spiritual.
 
Baginya, revolusi manusia biasa menjadi manusia sempurna, lebih hebat dari kesempurnaan seorang sufi yang menemui Tuhannya. Ia adalah sosok yang turun dari Mi’raj (gambaran penyempurnaan keilahian Muhammad dalam cerita Islam) hanya untuk menyelamatkan umat. Kesempurnaan diterjemahkan sebagai praksis perlawanan terhadap segala tindak anti-kemanusiaan.
 
Berderet nama yang dieja untuk perubahan, tak akan menghabiskan pena dengan tinta dari air kolam renang berukuran besar. Semuanya didukung oleh hal yang luar biasa, yaitu kondisi hidup yang berat dan tragis. Di Indonesia, hal ini sudah sangat lengkap. Karena itu, nilai penting yang tidak perlu ditunda adalah perubahan itu sendiri.
 
Silahkan orang bangsa mulai dari diri sendiri untuk berlaku baik, jujur, menolong sesama dan mencegah perbuatan yang salah. Tidak perlu bersayap seperti dewa dalam ilustrasi para kartunis, tapi sejak saat ini juga dengan penuh vitalitas, kita berkehendak dalam perubahan.
 
*Penulis adalah aktivis Komunitas Sekolah Filsafat di Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) UMM


.

PALING DIMINATI

Back To Top