Bismillahirrohmaanirrohiim

SANTRI VERSUS ISLAM LIBERAL

Munculnya Islam Liberal bagaikan ‘Tsunami’ yang menghantam kencah pemikiran Islam di Indonesia yang selama ini adem ayem. Padahal, istilah Islam Liberal tidak lebih “copy paste” dari Islamic Liberalm (Chicago 1988) karya Leonard Binder, dan Liberal Islam (Oxford 1998) hasil editan Charles Kurzman. Jika dirunut lebih jauh, Istilah Islam Liberal pernah dipopulerkan Ali Asghar Fizie, seorang intelektual Muslim India pada 1950-an. Kurzman sendiri mengaku mengadopsi istilah itu dari Fizie.1  
Ulil Abshar Abdalla, Ichan Loulemba, AE. Priyono, Luthfie Asyaukanie, A. Rumadi, Sugeng, A. Bakir Ihsan, Nirwan Ahmad Arsuka, Abd Moqsith Ghazali, Budi Munawar-Rachman, Taufiq Adnan Amal, Rizal Malarangeng, Abdul Mun’im DZ, merupakan sederet pemikir-pemikir yang lekat dengan kajian Islam Liberal. Mereka kemudian mengorganisasikan diri dalam wadah Jaringan Islam Liberal (JIL). Lahir di Jl. Utan Kayu 68 H. Jakarta, dengan semboyan ‘‘menuju Islam yang membebaskan’’.  
Islam Liberal merupakan gerakan dekonstruksi yang terhadap pola beragama dan berpikir yang kuno, kemudian mendorong rekonstruksi wacana keislaman. Gagasan itu meniscayakan dilakukannya reinterpretasi teks-teks keagamaan. Mereka berpandangan bahwa teks-teks keagamaan harus dipahami secara kontekstual, tidak literalis sebagaimana adanya. Tersebab, teks keagamaan yang muncul bukan tanpa konteks sosial yang melatarinya. Teks senantiasa hadir di permukaan kondisi sosial tertentu, bukan dalam ruang hampa alias kevakuman konteks. Premis-premis inilah yang pada akhirnya meniscayakan urgensi pembacaan teks secara kontekstual, sehingga Islam akan senantiasa memiliki relevasinya sepanjang masa dan tidak mandul.  
Dalam upaya menelanjangi teks-teks keagamaan, Islam Liberal di samping concern pada pendekatan konteks-historis, juga menekankan pendekatan psikologis, antropologis, sosiologis, feminis-emansipatoris, filosofis, dan teologis.2  
Pendekatan hermeneutis di muka, meski dalam diskursus hermeneutika poros tengah telah dibuktikan mempunyai kaki-pijak referesial alias nafas-nafasnya terdapat dalam kekayaan khazanah Islam, tetapi –dalam tataran aplikatif– Islam Liberal telah kebablasan dan sembrono. Hermeneutika telah dipaksakan oleh mereka guna mengeliminasi hukum-hukum yang telah diafirmasi oleh nash qath’i, praktik Nabi , maupun konsensus (ijma’).  

Pemikir-pemikir Islam kontemporer yang konsepsinya ikut andil mempengaruhi liberalisme di Indonesia adalah Fazlur Rahman,3 Farid Esack,4 Hasan Hanafi,5 Muhammad Syahrûr,6 Muhammad Arkoun di Perancis,7 ‘Abdullah Ahmed an-Na’im dari Sudan, Nashr Hâmid Abû Zayd dari Mesir, Muhammad Âbid al-Jâbiri seorang intelektual Maroko, Muhammad Said Ashmawi seorang ahli hukum Mesir, dan lainnya.  

Faktor lain yang menyebabkan munculnya madzhab Islam Liberal di Indonesia, ujar Luthfie Asyaukanie, dosen Universitas Paramadina Mulya, adalah sebagai respon atas bangkitnya ekstrimisme dan fundamentalisme agama di Indonesia yang literalis-tekstualis. Hal itu ditandai munculnya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), HAMMAS, Ikhwanul Muslimin, Laskar Jundullah, Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah yang dipimpin oleh Ja’far Umar Thalib, Forum Pembela Islam (FPI) dengan ketua Habib Rizieq. Islam Liberal datang sebagai protes dan perlawanan terhadap dominasi Islam Ortodoks itu.8  

Pemikiran-pemikiran ISLIB tidak hanya ‘berkutat dan ‘berpusing-pusing ria’ pada permasalahan fiqh saja, tetapi lebih jauh lagi, mereka berani melampaui batas-batas menganulir nash dengan akal, kaidah yang ada dalam Islam, baik itu kaidah ushul fiqh maupun kaidah fiqh. Kecuali kaidah-kaidah yang dianggap sejalan dengan dasar pemikiran mereka, seperti “al-‘Adah Muhakkamah”, itupun menurut penafsiran mereka sendiri. Yaitu penafsiran-penafsiran yang dianggap mampu mendasari gugatan terhadap supremasi al-Qur’an dan Hadîts. Akan tetapi, JIL tetap menolak apabila tingkah polahnya ditengarai sebagai gerakan pemikiran sekumpulan “koboi-koboi” yang berusaha mengaburkan identitas Islam. Sebab mereka menganggap, ‘‘dasar-pijak’’ yang dipakainya tetaplah teks-teks suci. Hanya saja dengan menggunakan sentuhan metodologi baru sehingga melahirkan hasil inferensi hukum (istinbath) yang baru pula.  
Bagi JIL, pola pikir keagamaan yang mengalami stagnasi (ke-jumud-an), tekstual, literal, dan a-historis, jelas kurang memadai jika digunakan menjawab dan menyelesaikan problematika ‘‘kekinian dan kedisinian’’. Bahkan mereka menyebut khalayak tekstualis dengan ‘‘penyembah teks’’, sementara teks (lafazh) adalah shanam yu’bad (patung yang disembah).  

1. Pemicu Munculnya Metodologi Alternatif JIL  
Dalam menyikapi wacana yang didalangi JIL, kami tidak akan memasuki pada discourse yang partikular. Oleh sebab itu, kajian yang menjadi bidikan kami adalah seputar metodologi. Abd Moqsith Ghazali, koordinator kajian JIL dan termasuk anggota Tim Penyusun Counter Legal Draft KHI (Kompilasi Hukum Islam), belakangan ini mencoba menawarkan metodologi ushul fiqh alternatif yang dia jadikan sebagai antitesa terhadap ushul fiqh klasik. Reformulasi metodologi ushul fiqh alternatif itu didorong oleh: 1) metodologi lama dianggap terlalu memandang sebelah mata terhadap kompetensi akal publik di dalam menyulih dan menganulir ketentuan-ketentuan legalistik-formalistik dalam Islam yang tidak lagi relevan menurut mereka. Ditegaskan pula, bahwa ketika terjadi kontradiksi antara akal publik dan bunyi harfiah teks al-Qur’an dan Hadîts, metodologi lampau selalu mengambil cara penundukan terhadap akal publik; 2) metodologi klasik kurang menghiraukan terhadap kemampuan manusia dalam merumuskan konsep kemaslahatan, walaupun untuk umat manusia sendiri. Manusia tidak memiliki kedudukan apapun dalam ranah ushul fiqh klasik, kecuali sebagai sasaran hukum yang tak berdaya (mukallaf); 3) pendewaan teks dan pengabaian realitas merupakan ciri umum dari metodologi lama. Aktivitas ijtihad selalu digerakkan di dalam areal teks. Ijtihad yang tidak berkulminasi pada teks adalah ilegal, sebab teks merupakan aksis dari seluruh cara pemecahan problem.  

Dengan hipotesis di atas, akhirnya dicetuskan rancang-bangun kaidah ushul fiqh alternatif sebagai berikut: 1) al-‘Ibrah bi al-Maqâshid lâ bi al-Alfâzh; dasar-pijak istinbath hukum (proses inferensi) dari al-Qur’an dan al-Sunnah, bukan huruf dan aksaranya, melainkan dari nilai objek (maqâshid al-Syar’i) yang dikandungnya. Yang menjadi aksis adalah cita-cita etik-moral dari sebuah ayat, bukan formulasi literalnya; 2) Jawâz Naskh al-Nushûh bi al-Mashlahah; boleh mengeliminasi nash-nash dengan kemaslahatan; 3) Tanqîh al-Nushûsh bi al-‘Aql al-Mujtama’; akal publik memiliki otoritas untuk menyulih dan mengamandemen sejumlah ketentuan “dogmatik” agama yang menyangkut perkara-perkara publik, baik dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah.9  
Usaha rekonstruksi ushul fiqh klasik yang mereka anggap problematis dan cacat dari sudut epistemologis, serta penafian komunitas Islam Liberal terhadap hukum-hukum dalam Islam tersebut harus dicermati. Tersebab itu, di bawah ini akan kami kuak upaya “pemlintriran-pemlintiran” sayap liberal terhadap konsepsi para ulama klasik (qudama‘) serta ke-semrawut-an aplikasi metodologi mereka.  

2. Tanggapan Kaidah al-‘Ibrah bi al-maqâshid la bi al-alfazh  
Moqsith Ghazali dalam menjelaskan metodologinya berpendapat; “Kaidah ini berarti bahwa yang mesti menjadi perhatian seorang mujtahid di dalam mengistinbatkan hukum dari al-Qur’an dan al-Sunnah bukan huruf dan aksaranya melainkan dari maqashid yang dikandungnya. Yang menjadi aksis adalah cita-cita etik-moral dari sebuah ayat dan bukan legislasi spesifik atau formulasi literalnya. Nah, untuk mengetahui maqashid ini maka seseorang dituntut untuk memahami konteks. Yang dimaksudkan bukan hanya konteks personal yang juz`iy-partikular melainkan juga konteks impersonal yang kulli-universal. Pemahaman tentang konteks yang lebih dari sekadar ilmu sabab al-nuzul dalam pengertian klasik itu merupakan prasyarat utama untuk menemukan maqashid al-syari’ah.  
Syathibi dalam al-Muwafaqat mendengungkan sebuah pernyataan genial bahwa seorang mujtahid diharuskan untuk melengkapi diri dengan pengetahuan yang memadai menyangkut tradisi dan kebiasaan masyarakat Arab sebagai masyarakat awal yang menjadi sasaran wahyu. Pengetahuan tentang konteks tentu bukan untuk konteks itu sendiri, melainkan untuk menimba dan memperoleh prinsip-prinsip dasar Islam atau yang dikenal dengan istilah maqashid al-syari’ah. Begitu maqashid al-syari’ah sudah dicapai, maka teks harus segera dilepaskan dari konteks kearabannya (dekontekstualisasi) untuk kemudian dilakukan rekontekstualisasi. Yaitu, melabuhkan prinsip-prinsip dasar Islam itu di tempat dan di belahan bumi non-Arab. Maka, kontekstualisasi, dekontekstualisasi, dan rekontekstualisasi merupakan mekanisme kerja penafsiran sepanjang masa dalam khazanah ushul fikih. Yang dimaksud maqashid al-syari’ah itu adalah keadilan, kemaslahatan, kesetaraan, hikmah-kebijaksanaan, dan cinta kasih. Maqashid inilah yang sejatinya menjadi sumber inspirasi tatkala al-Qur’an hendak melabuhkan ketentuan-ketentuan legal-spesifik di lapangan. Dengan perkataan lain, maqashid al-syari’ah adalah sumber dari segala sumber hukum dalam Islam, termasuk sumber dari al-Qur’an sendiri. Oleh karena itu, sekiranya ditemukan sebuah teks agama baik di dalam al-Qur’an maupun al-Hadîts (apalagi di dalam tafsir dan fikih) yang tidak lagi menyuarakan maqashid al-syari’ah, maka ia batal atau dapat dibatalkan demi logika maqashid al-syari’ah itu.”  

Yusuf Qardhawi menamakan kelompok liberal sebagai neo-Mu‘atthilah (orang yang mengabaikan nash al-Qur’an dan Hadîts). Menurutnya, kelompok ini telah menyalahgunakan maqashid al-syar‘iyyah (objektif syariat) dengan menjadikannya sebagai dalih (pretensi) untuk lepas landas dari ikatan nash al-Qur’an yang oleh para ulama dikategorikan valid dalam hal transmisi (qath‘i al-wurûd), dan juga valid maknanya (qath‘i al-dilâlah).10 Ungkapan Qardhawi ini telah terbukti kebenarannya, karena dengan “memlintir” konsep tersebut akhirnya kaum liberal mencibir dan menolak hukum hudûd, qishâsh, jilbab, waris, dan seterusnya.  
Dalam khazanah Islam, maqâshid al-syar‘iyyah atau yang biasa disebut oleh si Ulil dengan ‘‘nilai-nilai universal’’, merupakan sebuah metodologi yang hendak menyatakan bahwa setiap hukum mempunyai tujuan (maqâshid) utama. Adapun tujuan utama syariat adalah untuk memanifestasikan kemaslahatan atau kebaikan bagi setiap umat manusia. Konsep ini oleh kalangan ushuliyyin dirumuskan dalam tiga tingkatan, yakni dharuriyyah (elementer), hajiyyah (komplementer), tahsiniyyah (suplementer).11 Kemaslahatan itu sendiri bersifat kondisional; dapat berubah sesuai dengan peredaran waktu dan tempat. Apa yang dianggap kemaslahatan pada saat ini dan suatu tempat, belum tentu menjadi kemaslahatan pada masa lalu atau yang akan datang dan di tempat yang lain pula. Melalui pemahaman konsep ini, akhirnya kalangan liberal mencoba memlintirnya dengan menyimpulkan, bahwa apa yang dianggap mashlahah bagi komunitas Arab abad ketujuh belum tentu menjadi mashlahah bagi masyarakat kini dan di Indonesia. Misalnya, hukum potong tangan bagi pencuri dan rajam bagi pezina dianggap tidak relevan. Hukum ini dianggap sudah tidak lagi menciptakan kemaslahatan bagi manusia, khususnya di Indonesia, karena justru dianggap tidak dapat menciptakan rasa aman bagi masyarakat. Potong tangan, rajam, qishâsh dianggap brutal dan sadis, serta tidak sesuai dengan nilai dan norma masyarakat sekarang.  
Nurcholis Madjid, salah satu pelopor liberalme dan sekularisme12 di Indonesia, mendukung sekaligus mengatakan bahwa kedua hukum ini sangat sesuai untuk dilaksanakan di Arab pada saat itu, mengingat lingkungan dan watak masyarakatnya yang kasar dan ganas. Dalam kondisi demikian sudah barang tentu hukuman seperti itulah yang dapat diterima (plausibel) dan layak untuk diaplikasikan. Pendapat Nurcholis ini mendapat pembenaran dari beberapa pemikir Muslim yang juga tak kalah liberalnya, diantaranya ialah Qâsim Haj Hamad (pemikir Muslim Sudan), Hamad Farhan Nur Farhat (profesor dan dekan di Fakultas Hukum Universitas Zaqaziq). Menurut Islam Liberal, hukum hudûd sudah out of date (tidak relevan lagi), tidak dapat merealisasikan apa yang menjadi tujuan utama diturunkannya hukum tersebut, yakni memberikan ketentraman dan keamanan kepada harta dan jiwa masyarakat.13  

a. Tanggapan Atas Penolakan Hukuman dalam Islam  
Dalam ushul fiqh terdapat rambu-rambu eksplisit seperti lâ ijtihada fi mawrid al-nash (tidak ada ijtihad dalam koridor permasalahan yang berlandaskan nash qath‘i). Maksudnya dalam permasalahan yang hukumnya telah diterangkan oleh Allah  secara eksplisit dan lukulen (shârih), ijtihad yang terbingkai dan terajut dalam bentuk bayani, yaitu usaha untuk menentukan hukum, tidak dibenarkan.14 Setiap Muslim diwajibkan mematuhinya sebagai lambang kesetiaan dan keimanannya terhadap Allah  selaku konseptor undang-undang tadi. Bagi ulama klasik, ayat-ayat seperti ini tidak mungkin bertabrakan dengan kepentingan manusia. Karena Allah-lah yang telah mengafirmasi ketentuan tersebut dan Maha Tahu kondisi hamba-Nya. Yusuf al-Qardhawi mengungkapkan; ‘‘nash yang valid dari segi transmisi (qath‘i al-wurud)15 dan valid dalam hal maknanya (qath‘i al-dilâlah) tidak mungkin bertabrakan dengan mashlahat qath‘iyyah (kemaslahatan yang pasti). Karena sesama qath‘iyyah tidak mungkin terjadi kontradiksi.16  

Muhammad al-Sid dalam bukunya al-Hudûd mengungkapkan pendapatnya dengan redaksi demikian; “The application of the hudud is mandatory and no one has the right to avoid or circumvent it in any way, otherwise it would be a denial of the divine attributes mentioned above and a terrible disobedience to God”17…‘‘According to the syari’ah, the hudud are immutable, mandatory and an integral part of legal system of the islamic state’’.18…‘‘All the Muslim jurists are unanimous that the hudud laws are not subject to change or alteration, because he is develop; builded the above sentence qath‘i al-tsubût wa al-dilâlah.”19  
Artinya: ‘‘Aplikasi dari hudûd20 adalah wajib dan tak seorangpun berhak menghindari atau berbelit-belit darinya. Bagaimanapun juga, jika tidak diaplikasikan, maka hal tersebut adalah suatu pengingkaran (yang menyangkut) atribut Ilahi dan suatu penentangan yang mengerikan kepada Tuhan”…‘‘Menurut syariat, hudûd itu abadi, wajib, dan suatu bagian integral dari sistem hukum Negara Islama”…‘‘Semua ahli hukum Islam telah sepakat bahwasanya hudûd itu adalah sebuah hukum yang tidak bisa dirubah. Sebab ia berkembang dan dibangun di atas ayat-ayat qath‘i al-tsubût wa al-dilâlah.”  

Yang tak kalah pentingnya untuk disikapi adalah mekanisme kerja interpretasi yang ditawarkan oleh Moqsith. Ia mengandaikan penafsiran yang tidak hanya literalistik, tetapi lebih jauh lagi ia menekankan adanya upaya “kontekstualisasi”, “dekontekstualisasi”, dan “rekontekstualisasi”. Secara arif kami menyatakan bahwa mekanisme itu tidak selalu salah, karena dalam memahami teks, tiga instrumen tersebut amatlah penting. Dalam diskursus “hermeneutika poros tengah” kami telah membuktikan adanya teori-teori tersebut dalam turâts klasik Islam. Mekanisme seperti itu juga telah dikembangkan oleh Arkoun, Paul Ricoeur, Wilhelm Dilthey, yang sama-sama menekankan penafsiran dengan gerak ganda regresif-progresif/dekontekstualisasi-rekontekstualisasi/dekonstruksi-rekonstruksi. Gerak ganda ini memang merupakan teori jitu yang dapat melepaskan teks dari konteks ke-Arabannya. Akan tetapi yang harus dicatat, teori tersebut hanya dapat berlaku dalam teks yang bersifat “normatif-partikular”, sementara ayat-ayat hudûd adalah “normatif-universal”. Norma universal ini dapat dibuktikan dengan kaidah ushul fiqh ‘‘Umûm al-asykhâsh yastalzimu umûm al-ahwâl wa al-azminah wa al-biqâ‘’’ (sebuah redaksi yang mengandung universalitas individu-individu akan terus menemukan relevansinya, up-to-date dalam situasi maupun kondisi apapun, kapanpun, dan di manapun).21 Kaidah ini dapat diilustrasikan dengan berbagai contoh, diantaranya dalam ayat:  
الَسَارِقُ وَالسَارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيدِيَهُمَا  
‘‘Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya.’’ (QS. al-Maidah ayat: 38).  

Dengan sentuhan kaidah di atas, dapat disimpulkan bahwa pencuri harus dipotong tangannya, dalam kondisi maupun situasi apapun, kapanpun, dan di manapun ia berada jika memang telah memenuhi syarat dan rukunnya. Nah, dari paparan di muka dapat dipahami bahwa hudûd tidak bisa direkontekstualisasi, karena berdasarkan kaidah di atas ayat tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai normatif-partikular Arab. Dan yang tepat adalah bersifat normatif-universal, sehingga salah besar jika disimpulkan bahwa hudûd hanya relevan untuk masyarakat Arab saja.  
Pun demikian, potong tangan bukanlah sanksi paten yang tidak dapat diperingan, karena dalam memahami teks di atas kita harus senantiasa menginterpretasikannya secara korelatif-hermeneutis, yakni dengan mengaitkannya pada teks-teks Hadîts tentang anjuran menghindari hudûd tatkala terdapat syubhat. Interpretasi korelatif-hermeneutis ini secara faktual telah dilakukan sahabat Umar ketika tidak memotong tangan seorang pencuri pada saat paceklik.22 Elastisitas hukum potong tangan melalui pertimbangan-pertimbangan tersebut setidaknya juga dapat menggarisbawahi “teori limit” (nazariyyah al-hudûd) yang ditawarkan oleh Syahrur. Dalam menjelaskan teorinya, khususnya “teori batas atas” (al-had al-a’la), ia mencontohkan masalah potong tangan. Hukuman itu menurut Syahrur merupakan sanksi yang paling berat sehingga tidak boleh memberikan hukuman yang lebih berat daripada itu, tetapi boleh diperingan. Kewajiban seorang mujtahid adalah mendefinisikan pencuri seperti apa yang pantas untuk diberikan hukuman berat tersebut, dan pencurian seperti apa saja yang tidak pantas dihukum berat, dll.23 Dengan demikian, legalitas peringanan hukuman ala Syahrur ini harus digarisbawahi dengan kebijaksanaan grasi yang diberikan sahabat Umar, yakni ketika terdapat syubhat.  
Adapun tentang hukuman qishâsh,24 ia bukanlah sanksi beku yang tidak menerima penalaran. Setiap hukuman mempunyai beberapa tujuan, di antaranya untuk menjadi tindakan preventif (pencegahan) bagi masyarakat yang menyaksikan pelaksanaan hukuman tersebut, dan untuk menciptakan keadilan bagi yang teraniaya. Dengan melihat pelaksanaan hukuman itu, masyarakat akan dapat lebih mawas diri dan tidak sewenang-wenang terhadap nyawa orang lain. Islam sangat mengupayakan terwujudnya hukuman setimpal, karena hukuman yang tidak setimpal dengan tindakan kriminalitas yang dilakukan si pelaku hanya akan mengundang tindakan kriminal yang lebih dahsyat. Semisal contoh, di negara Indonesia ini kita sering menyaksikan keluarga korban yang tidak merasa puas dengan sanksi yang divonis oleh pihak pengadilan terhadap pelakunya, akhirnya dengan adanya kekecewaan itu mendorong pihak korban untuk melakukan reaksi di luar kontrol atau kalap sebagai pembalasan. Tindakan pembalasan itu mungkin saja ditujukan kepada si pelaku atau keluarganya, sehingga akan berpotensi terjadinya pembalasan berantai. Siklus pembalasan inilah yang pada akhirnya menjadi kausal tidak adanya stabilitas keamanan dan memunculkan keresahan yang menghantui masyarakat. Namun dengan diaplikasikannya hukuman qishâsh, kekecewaan karena tidak adanya keadilan, siklus pembalasan, dan ketakutan masyarakat, tidak akan terjadi. Karena dengan hukuman Islam yang impas dengan bentuk kejahatannya, maka pihak korban akan merasa puas dan tidak akan melakukan reaksi di luar nalar sehatnya. Berkaitan dengan jaminan terhadap efektivitas hukuman qishâsh ini Allah swt berfirman;  
وَلَكُمْ فيِ القِصَاِص حَيَةٌ يَااُوْلىِ الأَلبْاَبِ لَعَلكُمْ تتقوُنَ  
Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (QS. al-Baqarah: 179)  

Selanjutnya bagaimana menanggapi stateman liberal yang mengatakan bahwa hukuman dalam Islam adalah kejam dan bengis dll? Menurut ahli kriminologi dan psikologi sosial, suatu tindakan kriminal yang dapat divonis hukuman adalah kriminalitas yang telah diperhitungkan secara rasional. Artinya perbuatan kriminal tersebut telah terpenuhi unsur-unsur pidana sehingga pelakunya dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Jadi salah satu unsurnya adalah “kesengajaan”. Hal ini sejalan dengan konsep dalam Islam yang membedakan antara kriminalitas dengan unsur kesengajaan dan terencana (‘amdun), semi sengaja (syibh al-‘amdi), dan salah sasaran, atau tidak direncanakan (khatha’), karena berangkat dari niatan pelaku yang berbeda.  
Menurut John S. Carrol (1982), tindak pidana kriminal adalah suatu perbuatan kejahatan yang telah diperhitungkan secara rasional. Adapun faktor yang dipertimbangkan di dalam pengambilan keputusan untuk melakukan kejahatan, dirumuskan oleh Carrol sebagai beerikut: SU = {p (s) XG}-{P (F) XL}  
SU=Subjektivity Utility. SU ialah pertimbangan si pelaku tindak kejahatan tentang sejauh mana tindak kejahaatan, apakah dia akan melakukan tindak kejahatan yang telah direncanakan atau tidak.  
P(S)=Probability of Succes. Maksudnya adalah pertimbangan si pelaku kejahatan tentang sejauh mana tindak kejahatan tersebut akan berhasil atau sukses di dalam operasi atau realisasinya.  
G=Gain. Yakni pertimbangan besar kecilnya keuntungan yang akan diperoleh dari suatu tindak kejahatan yang akan direncanakan. Keuntungan ini bisa berbentuk materi atau psikologis seperti kepuasan jiwa yang diperoleh dari tindakan kriminalnya.  
P(F)=Probability of Failure. Yang dimaksud adalah pertimbangan si pelaku tentang besar kecilnya kemungkinan gagal di dalam operasi tindak kriminal yang direncanakan, seperti tertangkap dll.  
L=Loss. Yaitu pertimbangan besar kecilnya kerugian apabila kejahatan yang dilakukan ternyata gagal karena misalnya tertangkap. Kerugian ini dapat berbentuk eksekusi (hukuman mati), potong tangan, dipenjara, dideportasi, dll.25  

Makhrus Munajat, dosen Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga, dalam menganalisa rumusan Carrol ini menyatakan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya tindak pidana. Faktor P(S) dan P(F) misalnya sangat tergantung pada petugas keamanan, keaktifan petugas, kesungguhan petugas dalam menjaga keamanan juga sikap masyarakat yang juga harus pro aktif dalam melaporkan setiap tindak kejahatan. Semakin kacau sistem lalu lintas kota semakin besar kemungkinan terjadinya suatu kejahatan. Faktor L misalnya sangat tergantung dari “besar kecilnya” hukuman yang akan ditanggung oleh si pelaku setelah dia gagal dalam melaksanakan tindakannya. Selain itu kepastian hukum juga mempengaruhi faktor L.  
Interaksi antara P(S)XG dan P(F)XL akan menentukan terjadinya kejahatan. Semakin besar kemungkinan untuk sukses semakin besar kemungkinan untuk terjadinya kejahatan. Sedangkan semakin besar kemungkinan untuk gagal menuntut semakin beratnya hukuman. Dan yang perlu untuk selalu diingat, kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat si pelaku, tetapi juga karena ada kesempatan. Waspadalah…waspadalah…waspadalah!.  
Berdasarkan rumus dan teori di atas, Munajat menyimpulkan bahwa hukum Pidana Islam mempunyai nilai keunggulan tersendiri, ketika berani menawarkan konsep hukuman yang keras bagi pelaku kejahatan seperti kasus tindak pidana dalam Islam.26  
Dengan menghayati premis-premis di muka, dapat dipahami bahwa hukuman kriminalitas harus mempunyai karakteristik keras dan bengis, karena hilangnya karakteristik tersebut berarti menandakan hilangnya makna, fungsi dan efektivitas suatu hukuman. Sanksi yang bengis akan menimbulkan ketakutan terhadap calon pelaku kriminal, lalu jika ia tidak jadi melakukan kriminalitasnya maka terciptalah keamanan. Poin-poin inilah yang sebenarnya menjadi target utama dibumikannya hukuman qishâsh dan hudûd sebagai upaya memanifestasikan kemaslahatan umat disetiap lekukan-lekukan jagad raya ini. Hukuman dalam Islam akan senantiasa menemukan relevansinya, up-to-date, dan inheren untuk semua komunitas Muslim dalam situasi maupun kondisi apapun, kapan pun, dan di mana pun mereka berada. Klaim-klaim kaum liberal yang kelihatanya memperjuangkan tujuan syariat, pada dasarnya justru bertentangan dengan ajaran syariat itu sendiri. Jadi, rupanya mereka ingin menjadikan tujuan syariat sebagai kedok dan legalisasi pendapat mereka, sementara di sisi lain mereka telah meninggalkan subtansi syariat itu sendiri.  

Selain masalah di atas, polemik penolakan juga tertuju pada hukuman rajam, padahal sanksi itu telah tetap pada zaman Nabi , baik berupa teks al-Qur’an, praktek secara langsung dari Nabi maupun melalui perkataannya.27 Sahabat dan Tabi’în juga sudah mencapai konsensus dalam hal konsistensinya. Sanksi ini telah diriwayatkan melalui transmisi yang valid (shahîh) yang tidak diragukan lagi, juga telah diriwayatkan melalui Hadîts mutawattir bahwa Nabi  pernah merajam Mâ‘iz dan Ghâmidiyyah. Khulâfa’ al-Râsyidûn juga merajam serta berulang kali menjelaskan bahwa rajam adalah hukuman had bagi pezina yang telah kawin (muhshan).  
Ulama-ulama berpendapat bahwa hukum rajam merupakan bagian dari syariat Ilahiyyah yang pasti (qath‘i), dan hukuman itu masih berlaku sampai sekarang, kecuali sekte yang tersesat seperti Khawarij. Khawarij berpendapat, bahwa hukuman rajam tidak disyariatkan.28 Jejak penolakan Khawarij itu sekarang diikuti oleh beberapa pemikir Muslim kontemporer, baik yang tergabung dalam wadah JIL maupun tidak seperti diantaranya N.A. Abafaz dan A. Maftuh Abegebriel. JIL, Abafaz dan Maftuh berpendapat bahwa rajam memang pernah dipraktekan oleh Nabi, akan tetapi sanksi itu tidak lagi bisa diaplikasikan saat ini. Banyak alasan yang dinyatakan oleh JIL maupun N.A. Abafaz dan A. Maftuh Abegebriel. Di bawah ini akan kami jelaskan alasan-alasan mereka sekaligus sanggahannya:  

JIL menganggap bahwa eksistensi hukuman rajam hanya relevan untuk komunitas Arab karena berwatak ganas. Statemen ini menurut kami adalah bohong besar!. Karena hukuman itu telah ditetapkan berdasarkan Hadîts mutawattir dan konsensus salaf al-shaleh, hingga khalifah Umar yang wilayah kekuasaannya meliputi Jazirah Arab dan non-Arab (seperti Syam, Iraq, Iran dan Mesir) berkhutbah di atas mimbar; ‘‘Sesungguhnya Allah mengutus Muhammad  dengan al-haq dan telah menurunkan al-Kitab kepadanya, maka diantara yang diturunkan kepadanya adalah ayat rajam…kami telah membacanya dan memahaminya. Rasulallah  telah merajam dan kami pun merajam setelah beliau. Saya khawatir lama kelamaan ada orang yang berkata; ‘Kami tidak mendapatkan rajam dalam kitab Allah’. Maka, mereka akan sesat dengan meninggalkan satu kewajiban yang telah diturunkan oleh Allah dalam kitab-Nya. Ingatlah rajam itu haq bagi orang muhshan (pezina yang sudah menikah)’’.29 Kekhawatiran dan firasat Khalifah ‘Umar di atas benar-benar telah terjadi, kaum Khawarij merupakan buktinya, mereka mengingkari sembari mengklaim bahwa hukuman rajam adalah hukuman paling bengis dan tidak terdapat dalam al-Qur’an.30 Sekarang, jejak itu diikuti oleh kaum liberal yang heterdoks. Na‘udzu billâhi min dzâlik  

Sedangkan Abafaz dan Maftuh mengajukan dua alasan: pertama, Hadîts yang memuat ketentuan hukuman rajam (dilempari batu atau sejenisnya sampai mati) bagi laki-laki dan perempuan yang berzina, jika dikaitkan dengan ketentuan surat al-Nisa’ ayat: 25 yang berisi; ‘hukuman bagi hamba yang telah kawin dan berbuat zina adalah setengah hukuman bagi wanita merdeka yang telah kawin pula’. Maka ketentuan hukuman rajam bagi hamba wanita muhshan yang berzina sangat tidak mungkin dilakukan, karena dia hanya akan mendapat setengah hukuman rajam (mati). Menurut mereka, bagaimana mungkin hukuman mati bisa dibagi dua bila diterapkan pada wanita hamba? Dengan demikian sangat tidak logis bila hukuman mati dibagi dua, karena ‘mati’ tidak dapat dibagi dalam satuan-satuan hitungan seperti: ‘setengah mati’. Konsekuensi dari ketidaklogisan ini adalah bahwa rajam juga tidak bisa dijatuhkan pada orang yang merdeka. Argumen ini adalah argumen N.A. Abafaz dan A. Maftuh Abegebriel yang ditiru dari Khawarij.31  
Surat al-Nisa’ ayat: 25 yang dimaksud di atas adalah ayat berikut ini:  
فَإِذَاأُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَينَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى المحُْصَنَتِ مِنَ العَذَابِ  
‘‘Dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami’’.  

Menurut kami, boleh dibilang cukup mudah untuk mematahkan argumen N.A. Abafaz dan A. Maftuh Abegebriel yang diadopsi dari Khawarij. Seperti diketahui, ayat inilah yang dipakai mereka sebagai dasar untuk mempersoalkan rajam. Dengan melalui pemahaman korelatif atas ayat ini, mereka menyimpulkan hukuman rajam tidak logis dan penuh polemik.  
Keliru besar jika mereka memahami bahwa ayat di atas menerangkan rajam. Yang benar adalah menerangkan tentang sanksi dera (jilid). Alasannya cukup rasional, karena pembagian hukuman ini adalah merupakan sanksi yang diberikan oleh Allah , sementara Allah Maha Tahu bahwa hamba-Nya tidak mampu membagi rajam (menghukum setengah mati), dan mustahil bisa dilaksanakan oleh hamba-Nya. Maka dari itu bagi akal sehat tentunya bisa menyimpulkan, bahwa yang dimaksud ayat di atas adalah sanksi dera bukan rajam, karena menghukum rajam setengah mati berada di luar kemampuan manusia, padahal Allah tidak sekali-kali memerintahkan sesuatu yang berada di luar jangkauan kemampuan manusia. Dengan demikian menjadi kentara betapa luput pendapat mereka.32  

Kedua, meskipun Hadîts rajam shahîh (riwayat al-Bukhari)33 dan pelaksanaan hukumannya pernah diterapkan Nabi Muhammad , tetapi melalui telaah historis ternyata Hadîts itu telah di-naskh oleh al-Qur’an surat al-Nur (24): 2, sehingga Hadîts itu tidak bisa diberlakukan karena termasuk Hadîts ghayr ma‘mûl bih. Argumen kedua ini murni argumen N.A. Abafaz dan A. Maftuh Abegebriiel.34  
Bukan hanya mereka berdua yang melakukan peninjauan historis, kami juga melakukannya. Dari hasil gerak regresif dalam rangka menilik konteks hisrtoris yang kami lakukan, justru kami menemukan bukti valid tentang kekeliruan telaah historis yang dilakukan oleh mereka berdua. Kekeliruan itu adalah klaim mereka bahwa Hadîts rajam yang diriwayatkan Imam Bukhari telah dinaskh oleh al-Qur’an surat al-Nur (24): 2. Sementara klaim mereka itu hanya mengacu pada statemen Maulana Muhammad Ali yang menyatakan; ‘‘bahwa pelaksanaan rajam pada masa Nabi tersebut terjadi sebelum diturunkannya surat al-Nur’’. Menurut kami pendapat mereka itu keliru, karena setelah ayat itu turun ternyata masih ada Hadîts riwayat ‘Ubâdah bin Shâmit, yang menjelaskan tentang hukuman dera dan deportasi (taghrîb) bagi pezina ghairu muhshan, sekaligus menegaskan ketetapan hukum rajam bagi pezina muhshan. Berangkat dari esensi serta eksistensi Hadîts Shâmit dapat disimpulkan, bahwa surat al-Nur tersebut tidak membatalkan (naskh) terhadap Hadîts al-Bukhari. Pada akhirnya dapat disimpulkan, bahwa hukuman rajam akan selalu up-to-date dan relevan sepanjang masa sampai matahari terbit dari barat, yang menandakan ‘‘kiamat’’.35  


b. Seputar Public Decency  
Seperti yang telah kami paparkan di muka, JIL telah mencoba memlintir konsep maqâshid al-syari’ah sebagai justifikasi terhadap penolakan mereka terhadap nash-nash al-Qur’an yang qath‘i, seperti jilbab. Penolakan terhadap hukum wajib memakai jilbab menggunakan alasan maqâshid atau apa yang disebut si Ulil sebagai ‘‘nilai-nilai universal’’. Adapun ketentuan yang wajib, kata si Ulil adalah mengenakan pakaian yang memenuhi standar kepantasan umum (public decency), dan kepantasan umum itu mereka anggap bersifat fleksibel dan berkembang sesuai perkembangan kebudayaan manusia.36 Implikasinya, apabila buka-bukaan aurat sudah menjadi kewajaran masyarakat, maka tidak salah bagi wanita Muslimah untuk membuka auratnya, karena pada prinsipnya dia telah menjalankan makna universal pemakaian jilbab itu sendiri. Atau bisa jadi bagi wanita Muslimah di Bali boleh hanya memakai CD dan BH. Pandangan ini sangat kontras sekali dengan apa yang diungkapkan Imam al-Syâthibi.37 Kata Syâthibi; ‘‘tidak ada perubahan pada hukum yang diperintahkan Allah secara jelas, meskipun pandangan para mukallaf tentang hal ini berbeda-beda.’’38 Oleh sebab itu, sesuatu yang sudah dianggap baik tidak mungkin berubah menjadi buruk atau sebaliknya. Jilbab yang di zaman dulu dianggap baik maka tidak akan menjadi buruk, kecuali menurut standar anggapan orang-orang yang munafiq.  
Public decency atau kepatutan umum merupakan salah satu isu yang diungkapkan oleh si Ulil dalam harian KOMPAS 18 Nopember 2002. Dalam upaya mematahkan statemen Ulil tersebut kami tertarik dengan statemen rasional M. Syamsi Ali. Dalam bukunya yang berjudul Membedah Islam Liberal, ia menyatakan ketidaksetujuannya terhadap statemen Ulil yang dinilainya Over Convidence dan ‘‘lepas kendali’’. Dengan ringan ia mengambil sebuah contoh bahwa di Kanada beberapa tahun yang lalu, kaum wanita protes karena mereka diharuskan memakai BH, ketika berada di tempat-tempat publik pada musim panas. Sementara kaum pria tidak. Untuk itu mereka meminta agar diizinkan bisa berjalan di pinggir pantai, jalan raya dan di toko-toko tanpa BH. Kalau diizinkan oleh pengambil kebijakan ketika itu, lalu menjadi praktek umum, akankah hal itu dianggap sebagai kepatutan umum oleh Ulil? Bahkan yang lebih menghebohkan, ia mengambil contoh misalnya istri Ulil–anak seorang Kyai yang cukup terkenal lagi beragama–yang sehari-hari berpakaian cukup sopan. Apakah cara berpakaian istri Ulil itu berdasarkan standar kepatutan setempat? Atau memang karena sebuah kesadaran akan nilai religiositas? Bayangkan saja, apa jadinya jika istri Ulil berpakaian yang hanya relatif menutupi ‘‘genital’’ berjalan-jalan di pusat pertokoan Jakarta. Akankah dikatakan pantas secara sosial? Walau itu misalnya sudah menjadi trendi atau patut secara sosial?. Oleh karena itu, menurutnya, sebuah aturan (aturan syar‘i) itulah yang seharusnya menjadi ukuran kepatutan umum, karena manusia pada dasarnya memerlukan sebuah aturan, dan aturan itulah yang menentukan kepatutan umum. Sesuatu yang menyalahi aturan sesungguhnya tidak pantas dikatakan sebagai public decency, tetapi sebaliknya harus dinilai sebagai sebuah pelanggaran publik. Maka dari itu, aturan pakaian bagi wanita Muslimah dengan harus mengenakan jilbab adalah standar kepatutan umum di masyarakat Muslim. Dan kalau ada yang masih belum memakai jilbab, hal itu bukanlah alasan untuk menafikannya dari status hukum, melainkan karena kelemahan umat Islam saat ini. Toh, shalat saja yang merupakan rukun Islam yang kedua masih banyak yang belum melakukannya secara konsisten. Dalam menggarisbawahi wacana Ulil, ia menegaskan bahwa ijtihad yang sahih adalah ijtihad dalam zona formula teknis termasuk cara pemakaian jilbab, model, warna dll. Sedangkan ijtihad dalam upaya menafikannya dari standar hukum bukanlah sebuah ijtihad, melainkan upaya perusakan standar kepatutan umum (hukum). Pada akhir tulisannya ia menegaskan, bahwa penafsiran dalam Islam tidak pernah ditujukan untuk menafikan eksistensi aturan yang ada alias pengingkaran.39  

Ibn al-Qayim mengatakan; ‘‘sesungguhnya dasar dan fondasi syariat Islam adalah hikmah dan kebaikan manusia di dunia dan akhirat. Syariat Islam itu semuanya adil, rahmat, hikmah, dan kemaslahatan. Oleh sebab itu, setiap masalah yang keluar dari prinsip keadilan menuju kelaliman (despotis), atau dari rahmat menjadi sebaliknya, atau dari kebaikan menjadi keburukan (mafsadah, destruktif), atau dari hikmah menuju kepada hal yang sia-sia, maka semua itu bukan merupakan intrinsik syariat. Syariat Allah selalu memproyeksikan keleluasaan hukum-hukumnya untuk kemaslahatan umum, namun dengan syarat tidak boleh ada penyia-nyiaan hukum Ilahi dan penentangan terhadap kaidah Islamiyyah atau penggantian syariat Islam.”40  
Abd al-Majid al-Najar yang dikutip oleh Syafrin berpendapat; ‘‘akar permasalahan di sini sebenarnya terletak pada kesalahan kaum liberal yang mencoba memisahkan antara maqashid (objektif) dan hukum yang menjadi wasilah atau instrumen bagi maqashid. Mereka melihat keduanya terpisah antara satu dengan yang lain. Padahal, sesungguhnya dua aspek itu adalah satu. Antara hukum dan objektif hukum adalah satu ikatan yang tak terpisahkan. Apa yang diperintahkan Allah dengan pasti, tentulah akan mendatangkan kebaikan, dan apa yang dilarang jelas akan menimbulkan kerusakan jika diterjang.”  
Adapun aksioma yang mengatakan di mana ada maslahah, di situ pasti ada syariat, menurut Qardhawi yang dikutip oleh Syafrin adalah tidak selalu benar. Menurutnya lagi, aksioma itu seharusnya berbunyi haytsuma wujida al-syar‘u tsamma al-mashlahah (di mana ada hukum syara‘ maka di sana pasti ada kemaslahatan). Ini karena tidak mungkin Allah  mensyariatkan sesuatu tanpa ada kemaslahatannya, meskipun terkadang akal kita tidak dapat menangkap dan memahami wujud kemaslahatan tersebut.  

Mungkin bisa menjadi bahan renungan Ulil dan JIL pada umumnya, bahwa dalam ranah ushul fiqh klasik kemaslahatan terklasifikasikan menjadi tiga tipologi: 1) Mashlahah Mu’tabarah; kemaslahatan yang mendapat legalisasi dari teks-teks Ilahi; 2) Mashlahah al-Mursalah; kemaslahatan yang tidak ada ketentuannya dalam dalil syara‘, baik yang bersifat membenarkannya maupun membatalkannya. Konsep ini merupakan metode untuk mengafirmasi hukum (itsbât al-hukmi) bagi problematika yang ketetapan hukumnya tidak disebutkan di dalam nash dengan pertimbangan untuk kemaslahatan hidup manusia;41 3) Mashlahah Mulghah; kemaslahatan yang tidak mendapatkan legitimasi dari Syâri‘ melalui ketegasan nash-nash suci-Nya, karena ia hanya kemaslahatan menurut penilaian manusia secara independen, sekedar asumsi lemah (wahm), tidak substantif (ghairu haqiqi) atau marjuh (terungguli).42  

Berpijak dari klasifikasi tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa kemaslahatan yang diasumsikan Islam Liberal sangat klop dan pararel dengan konsep Mashlahah Mulghah, atau kemaslahatan ilegal yang pantas untuk dicekal, karena jelas-jelas bertentangan dengan nash. Klasifikasi inilah yang nampaknya tidak diperhatikan oleh kaum liberal, terbukti mereka terkesan menggeneralisir semua tipe mashlahah, tidak membedakan antara mashlahah pro-teks Ilahi dan mashlahah yang kontra dengan teks suci.  


c. Penolakan Islam Liberal Terhadap Kaidah Ushul Fiqh Klasik  

Dalam menggamblangkan kaidah al-‘ibrah bi al-maqâshid la bi al-alfazh Moqsith Ghazali menegaskan lagi;  
“Kaidah di atas (al-‘ibrah bi al-maqâshid la bi al-alfazh) merupakan antipoda (penolakan) dari kaidah lama yang berbunyi al-‘ibrah bi umum al-lafazh la bi khushush al-sabab. Bahwa yang harus menjadi pertimbangan adalah keumuman lafazh, bukan khususnya sebab. Maka, jika suatu nash menggunakan redaksi yang bersifat umum, maka tidak ada pilihan lain selain menerapkan nash tersebut, sekalipun nash itu hadir untuk merespons suatu peristiwa yang khusus. “Pasrah pada keumuman lafdz ( al-taslim bi ‘umum al-lafdz) hanya akan menyebabkan kita senantiasa berada dalam kerangka makna linguistik (fiy ithar al-dalalah al-lughawiyah)”, tandas Nahr Hamid Abu Zayd dalam bukunya yang berjudul al-Nash, al-Sulthah, al-Haqiqah.  
Terdapat sekian banyak kritik terhadap kaidah konvensional ini. Misalnya; pertama, kaidah ini dipandang terlalu banyak berkonsentrasi dan bergerak pada medan semantik dengan menepikan peranan sabab al-nuzul. Implikasinya, para pengguna kaidah ini kerap terjebak pada suatu kenaifan. Bahwa semakin harfiah seseorang membaca al-Qur’an, maka semakin dekat ia pada kebenaran. Sebaliknya, semakin jauh yang bersangkutan dari makna literal al-Qur’an, maka ia semakin terlempar dari kebenaran. Maka, semakin literal seseorang di dalam memperlakukan al-Qur’an, semakin dekat ia pada ketakwaan. Dan semakin substantif seseorang di dalam memandang al-Qur’an, semakin jauh ia dari ketakwaan.  
Kedua, dalam kaidah yang terakhir itu (al-ibrah bi umum al-lafzhi), realitas hendak disubordinasikan ke dalam bunyi harfiah teks. Yang dituju adalah kebenaran teks dengan konsekuensi mengabaikan konteks (al-siyaq al-tarikhi) yang mengitari. Konteks didudukkan dalam posisi yang rendah dan sekunder. Ini menjadi maklum, oleh karena para pemakai kaidah ini menganut ideologi universalisme dan ketidak-berhinggan kebenaran huruf (shalahiyyah al-nash dalaliyan li kulli zaman wa makan). Sehingga kita tidak perlu kaget ketika ushul fikih lama berbicara tentang lafazh dalam porsi yang demikian besar. Segala jenis perbincangan kebahasaan (abhats lughawiyah min mabahits al-alfadz) seperti mengenai ‘amm-khashsh, muthlaq-muqayyad, mujmal-mubayyan, muhkam-mutasyabih, qath’iy-dhanniy merupakan upaya untuk menegakkan otoritas teks semata. Para pemakai kaidah kedua ini mungkin tepat sekiranya disebut sebagai penyembah kata (‘ubbad al-alfadz), semantara kata (lafazh) adalah shanam yu’bad (patung yang disembah).  
Segera tampak bahwa analisis yang berhenti hanya pada konteks linguistik saja tidak akan cukup memadai untuk mengejar kebenaran hakiki (maqashid asasiyah) yang diusung oleh teks. Analisis mestinya dilanjutkan pada penyingkapan makna yang terdiamkan (al-maskut ‘anhu), yaitu makna yang tak tercakup secara verbatim di dalam aksara sebuah teks. Pencapaian terhadap makna-makna itu akan meniscayakan adanya sebuah analisa yang bukan hanya terhadap struktur kalimat per se melainkan yang justeru fondasional adalah analisa kelas dan struktur sosial dan budaya yang melingkupi sejarah kehadiran teks. Maka, kejarlah maqashid al-syari’ah dengan pelbagai cara, tanpa terlalu banyak terpesona terhadap keindahan sebuah teks. Sebab, keterpesonaan merupakan tindakan ideologis yang hanya akan menumpulkan kreativitas dalam pencarian makna obyektif.”  

Secara jelas bahwa JIL hendak menolak kaidah ushul fiqh al-ibrah bi umum al-lafzhi la bi khushush al-sabab. Mereka juga jelas menyerang studi tentang ‘amm-khashsh, muthlaq-muqayyad, mujmal-mubayyan, muhkam-mutasyabih, qath’iy-dhanniy. Ujarnya, para pemakai kaidah ini adalah penyembah kata (‘ubbad al-alafzh), semantara kata (lafazh) adalah shanam yu’bad (patung yang disembah).  
Sebelum pembaca dengan gamblang mengetahui letak kesalahan kalangan liberal, perlu kami singgung terlebih dahulu bahwa dalam memahami ‘‘teks-teks tertentu’’ ulama berbeda pendapat. Di kalangan mayoritas madzhab, kaidah yang dianggap benar sebagai instrumen penggalian hukum-hukum adalah universalitas teks bukan partikularitas konteks historis yang melatari munculnya teks (al-‘ibrah bi ‘umûm al-lafzhi la bi khusûsh al-sabab). Konteks historis yang menjadi kronologi datangnya teks, baik pertanyaan maupun respon realitas, tidak bisa dijadikan standar untuk membatasi (tahshîsh) terhadap universalitas teks. Sehingga, ketika terdapat teks dengan bentuk kalimat yang umum (universal), maka sisi universalitasnya harus dijadikan titik-pijak.43  
Ibn Qudamah44 mengatakan, bahwa dua kaidah (al-‘ibrah bi umum al-lafzhi dan al-‘ibrah bi khushush al-sabab) sebenarnya masih diperselisihkan di antara Imam-Imam madzhab (belum tercapai ijma‘). Namun pendapat mayoritas setuju menggunakan kaidah al-‘ibrah bi ‘umûm al-lafzhi dalam ber-istinbath dari kebanyakan karakteristik teks. Ibn Qudamah menambahkan, bahwa ulama yang kontra dengan pendapat mayoritas madzhab adalah: Imam Malik dan sebagian pengikut imam Syafi’i, karena mereka (Imam Malik dan sebagian Syafi’iyyah) pernah mengeluarkan statemen bahwa universalitas teks tidak dapat dibuat standar inferensi hukum bila terdapatkan spesialitas motif turunnya nash. Dalam kitab yang sama, komentar Ibn Qudamah di atas ditentang oleh Imam Muhammad Amin. Beliau (Muhammad Amin) mengatakan, sebenarnya Imam Malik tidak pernah mengeluarkan statemen demikian, justru Imam Malik sependapat dengan mayoritas madzhab. Berangkat dari paparan Muhammad Amin ini, dapat disimpulkan bahwa kaidah ‘‘al-‘ibrah bi ‘umûm al-lafzhi la bi khusûsh al-sabab” adalah yang pakai oleh Hanafiyyah, Hanbaliyyah, Malikiyyah dan sebagian Syafi’iyyah.45 Lantas, menurut Ibn Qadamah kaidah yang dianggap benar adalah ‘‘al-‘ibrah bi ‘umûm al-lafzhi la bi khusûsh al-sabab.  
Berbeda lagi dengan Taqiyyuddin dalam kitabnya Syarh al-Kawâkib berpendapat, bahwa al-‘ibrah bi umûm al-lafzhi adalah kaidah yang dianut oleh Imam Malik beserta mayoritas pengikutnya, Imam Syafi‘i beserta mayoritas pengikutnya, mayoritas Hanafiyyah, mayoritas madzhab Malikiyyah, dan mayoritas Asy‘ariyyah.46  

Setelah membahas seputar kontradiksi tersebut, maka di bawah ini akan kami suguhkan penelisikan dasar kaidah “al-‘ibrah bi ‘umûm al-lafzhi la bi khusûsh al-sabab” yang mempunyai “daya gedor” meruntuhkan perlawanan JIL terhadapnya. Dasar kaidah tersebut diantaranya:  
Pertama, wahyu; Nabi  pernah ditanya tentang cara bertaubat oleh seorang lelaki yang pernah mencium perempuan ajnabiyyah (wanita lain), lalu turunlah ayat ‘‘inna al-hasanât yudzhibna al-sayyiât” (sesungguhnya amal-amal kebajikan dapat melebur amal-amal kejelekan). Lantas lelaki itu bertanya kepada Nabi : ‘‘wahai Rasulullah, apakah ketentuan itu hanya berlaku bagiku, karena akulah penyebab turunnya ayat tersebut?’’ Dus, spontan Nabi  menjawab: ‘‘Al-‘Ibrah bi ‘umûm al-lafzhi ‘‘inna al-hasanât yudzhibna al-sayyiât’’ la bi khusûsh al-sabab’’ (pengambilan hukum berdasarkan keumuman lafazh ‘‘inna al-hasanât yudzhibna al-sayyiât’’ bukan dengan khususnya sabab al-nuzûl). Karena kaidah ini bersandarkan langsung pada validasi dan legitimasi Nabi , maka upaya kalangan JIL menganulir kaidah ini sama artinya dengan mengeliminasi validasi Nabi . Di sini yang harus digarisbawahi adalah bahwa meskipun universalitas teks adalah merupakan kaidah inferensi, namun bukan berarti menepikan urgensitas penilikan terhadap konteks historis yang melatari munculnya teks (asbab al-nuzul), karena dengan memarjinalkan konteks historis maka potensi kesalahan pemahaman sangat mungkin sekali terjadi dan bahkan akan terjerumus dalam corak interpretasi Wahabis-literalis, yang acap kali mengklaim kufur terhadap sesama Muslim yang berbeda aliran dengan ayat-ayat yang sejatinya turun untuk merespon kaum kufar.  
Kedua, tinjauan linguistik-semantik (lughat). Secara gramatis, jika seorang istri berkata ‘‘ceraikanlah aku”, lalu suaminya menceraikan semua istrinya, maka thalaq-nya terjadi tidak hanya bagi istri yang meminta dicerai, tetapi justru semua istrinya terceraikan.47  
Ketiga, karena tidak semua nash mempunyai sabab al-nuzûl atau sabab al-wurûd.48  

Berangkat dari argumen-argumen di muka dapat disimpulkan, bahwa upaya Moqsith mengeliminasi kaidah al-‘ibrah bi umûm al-lafzhi tidak lain adalah merupakan penentangan terhadap petunjuk Nabi Muhammad .  
Meskipun kaidah yang mendapat validasi adalah al-‘ibrah bi umûm al-lafzhi, bukan berarti konteks historis yang melatari munculnya teks tidak mempunyai peran apa-apa, tertepikan, dan sekunder, karena tanpa adanya riset terhadap sabab al-nuzûl maka penelanjangan makna yang tersembunyi di balik teks akan sulit digapai. Dalam diskursus tentang pentingnya rekonstruksi sabab al-nuzûl (rekonstruksi konteks historis), Khalil al-Qathan berpendapat bahwa “mengetahui sabab al-nuzûl adalah metode terbaik untuk memahami makna al-Qur’an, dan menyingkap kesamaran yang tersembunyi di balik ayat-ayat yang tidak dapat ditafsirkan tanpa mengetahui sabab nuzûl-nya.’’ Imam al-Wahidi juga menegaskan, “interpretasi tidak mungkin dicapai tanpa mengetahui konteks historisnya.’’ Ibn Daqîq al-’Id berpendapat, “keterangan tentang sabab al-nuzûl adalah instrumen digdaya dan akurat untuk memahami makna al-Qu’ran.’’ Ibn Taimiyah juga mengatakan, ’’mengetahui sabab al-nuzûl akan membantu dalam memahami ayat, karena mengetahui sabab akan menimbulkan pengetahuan mengenai musabab (akibat).’’49  
Metode penguakan makna (meaning) yang dikonseptualisasi oleh para ulama tersebut juga menemukan relavansinya dalam ranah hermeneutika. Schleiermacher, Wilhelm Dilthey, Paul Ricoeur, dll berpendapat bahwa untuk dapat memahami teks yang diproduksi di masa lampau, seorang penafsir harus keluar dari zamannya dan merekonstruksi sosio-historis ketika teks tersebut muncul. Seorang penafsir harus membayangkan bagaimana pemikiran, perasaan dan maksud pengarang. Hal tersebut setidaknya juga harus dibantu dengan pencarian informasi historis.  
Nah, berdasar premis-premis di atas dapat dipastikan bahwa apa yang disangkakan Moqsith tentang adanya upaya ulama memarginalkan konteks historis (sabab al-nuzûl), memposisikannya pada tataran rendah dan sekunder adalah takhayul alias “ngayal”. Alhamdulillâhi alladzi hadânâ lihadzâ, wamâ kunnâ linahtadiya lawlâ anhadânâ Allâh.  

Selanjutnya kami akan memberikan “kado” buat JIL yang berisi sangkalan telak, khususnya untuk Moqsith yang tanpa sungkan telah mencibir studi klasik tentang qath’iy-dhanniy, ‘amm-khashsh, muthlaq-muqayyad, mujmal-mubayyan, muhkam-mutasyabih, dll. Ia juga berujar “kejarlah maqashid al-syari’ah dengan pelbagai cara, tanpa terlalu banyak terpesona terhadap keindahan sebuah teks. Sebab, keterpesonaan merupakan tindakan ideologis yang hanya akan menumpulkan kreativitas dalam pencarian makna obyektif.”  
Banyak pengamat ushul fiqh yang beranggapan bahwa studi ushul fiqh klasik yang dimiliki oleh masing-masing madzhab adalah “literalistik”, yakni paradigma yang dominan dengan pembahasan seputar penelanjangan dunia teks, baik dari aspek grammar, sintaksis, karakteristik teks, dan mengabaikan pembahasan tentang maqâshid al-syar’i. Asumsi tersebut akan mentah jika dibenturkan dengan telaah Ahmad Raysuni. Seperti dikutip oleh Syafrin, Raysuni telah menelusuri tentang munculnya kajian maqâshid al-syari’ah. Ternyata kajian tersebut telah muncul pada periode Imam Turmudhi (w. 3 H.) dalam karyanya yang bertitelkan al-Salah wa Maqâshiduha yang menguraikan maqâshid dan rahasia shalat. Ide cemerlang ini kemudian dikembangkan oleh pakar-pakar berikutnya seperti Abû Manshûr al-Matûridi (w. 333 H.), Abû Bakar al-Qafal al-Syuyûti (w. 365 H.), Abû Bakar al-Abhari (w. 375 H.), Imam al-Baqilani (w. 403 H.), dan Imam al-Juwayni. Imam yang terakhir ini pernah mengungkapkan: “barang siapa yang tidak memahami maqâshid-nya perintah-perintah dan larangan-larangan Allah, maka ia tidak mempunyai kompetensi untuk menginferensi suatu hukum.”  
Pada periode berikutnya Ghazali (w. 505 H.) tampil dengan merumuskan maqashid dalam tiga dataran: dharuriyyah (maqâshid elementer), hajiyyah (maqâshid komplementer), dan tahsiniyyah (maqâshid suplementer).50 Pada abad ke-8 H. muncul teoritisi genius yang bernama al-Syathibi (w. Granada, Spanyol, 8 Sya‘bân 790 H./1380 M.). Secara intens ia mengembangkan dengan merevitalisasi teori para pendahulunya. Sejak periode al-Syathibi itu, paradigma ushul fiqh berkembang pada tingkat paradigma utilitarianistik (studi tentang tujuan-tujuan pensyariatan hukum-hukum) yang lebih komprehensif. Akan tetapi yang harus dicatat, al-Syathibi sama sekali tidak menafikan pentingnya “kajian literalistik”. al-Syathibi menyatakan bahwa maqâshid al-syari’ah dapat disingkap dari teks-teks bertipe intruksi (kalimah al-amr), teks bertipe interdiksi (kalimah al-nahi), atau dari alasan-alasan perintah dan larangan (ilal al-amr wa al-nahi).51 Beliau juga mengkaji masalah qath’i, zhanni, musytarak, majaz, idhmar, takhshîsh al-umûm, taqyîd al-mutlaq, naskh, ta’khîr-taqdîm, dst.52 Oleh sebab itu salah besar jika Muqsith menganggap enteng dan menepikan kajian yang bersifat literalistik. Katanya, keterpesonaan pada teks hanya akan menumpulkan kreatifitas. Dengan demikian dapat ditebak secara mudah, bahwa pemahaman JIL (khususnya Muqsith) terhadap teori ushul fiqh pada umumnya dan teori al-Syathibi pada khususnya tidaklah paripurna alias sepotong-potong, sepenggal-sepenggal. Tetapi lucunya, dengan bermodalkan pemahaman yang “terejakulasi dini” itu mengapa mereka begitu berani mencibir metodologi klasik? Dan mengapa kaum liberal harus mengukur dalamnya lautan samudra hanya dengan sejengkal kayu? Sungguh sayang seribu sayang, mereka suka sekali mengukur kedalaman ilmu ulama hanya dengan sejengkal ilmu dan secuil pemahaman yang mereka punya.  

Melalui kajian terhadap konsep para ushulillyin di atas, dapat dilihat ulama ushul fiqh klasik telah berhasil mengkombinasikan kajian literalistik dengan kajian maqâshid (kajian utilitarianistik).53 Kombinasi tersebut sealur dengan hermeneutika Barat bahkan lebih sempurna, diantaranya hermeneutika Friedrich Ast.  
Signifikansi ilmu ushul fiqh klasik tidak dapat diremehkan. Imam al-Syafi’I dalam al-risalahnya juga telah sangat memperhatikan kajian literalistik-linguistik. Dari kajian tersebut, al-Syafi’i berutang jasa besar kepada pakar-pakar gramatika seperti Imam Khalil dan Sibaweh. Bertolak dari signifikansi kajian al-Syafi’i itu, Abîd al-Jâbiri55 yang saat ini pemikirannya digandrungi JIL, tetap saja tidak berani mengecilkan telaah Syâfi’i. Ia mengatakan: “kaidah-kaidah yang dirumuskan Syâfi’i tidak kurang pentingnya dalam membentuk nalar Arab dibanding kaidah-kaidah metodik (qawâid al-minhaj) yang dirumuskan Descartes dalam membentuk pemikiran Perancis khususnya dan rasionalisme Eropa pada umumnya. Dengan demikian, kita melihat kaidah-kaidah ini menjadi dasar bagi apa yang bisa kita sebut dengan rasionalisme Arab Islam.”56 Melihat signifikansi telaah linguistik-semantik yang dilakukan oleh para pakar Islam klasik, rasanya tidak sopan, su’ul adab, jika Muqsith menyebut para pakar tersebut dengan “penyembah kata” (‘ubbad al-alfazh), sementara kata (lafazh) adalah shanam yu’bad (patung yang disembah).  


3. Tanggapan Kaidah Jawaz Naskh al-Nushush bi al-Mashlahah  

Moqsith Ghazali sebagai pencetus kaidah ini berpendapat; ‘‘Terdapat sebait pertanyaan ontologis dalam ranah ushul fiqh, jika terjadi pertentangan antara teks (nash) dan maslahat mana yang mesti dimenangkan? Dalam menjawab pertanyaan ini, umumnya ulama ushul fiqh klasik mengatakan bahwa yang dimenangkan adalah nash. Sering disinyalir bahwa kemaslahatan yang diandaikan oleh manusia adalah kemaslahatan semu dan relatif, sementara kemaslahatan yang ditetapkan Tuhan melalui bunyi harfiah nash adalah kemaslahatan hakiki dan obyektif. Manusia tidak memiliki kewenangan untuk mempertanyakan dan menggugat kemaslahatan literal teks. Kewajiban manusia adalah mengamalkan dan mengimaninya secara sepenuh hati.  
Secara pribadi, saya tidak dalam posisi bersetuju dengan jawaban di atas. Pada hemat saya, maslahat memiliki otoritas untuk menganulir kententuan-ketentuan teks suci. Inilah yang dimaksud dengan ungkapan ‘naskh al-nushush bi al-mashlahah’. Sebagai spirit dari teks (nushush) al-Qur’an, kemaslahatan merupakan amunisi untuk mengontrol balik dari keberadaan teks dengan menganulir beberapa teks suci yang sudah aus. Dengan cara ini, maka cita kemaslahatan akan senantiasa berkreasi untuk memproduksi formulasi bahkan teks keagamaan baru di tengah kegamangan dan kegagapan formulasi dan teks keagamaan lama. Praktek dari kaidah ini dapat diketahui dari pembatalan demi pembatalan terhadap sejumlah syariat Islam, yang dikenal dengan istilah nasikh-mansukh. Semua pelajar Islam mesti tahu cerita tentang penganuliran beberapa syariat yang dipandang tidak lagi bersendikan kemaslahatan. Dijelaskan bahwa naskh itu bukan hanya berlaku terhadap syariat nabi-nabi terdahulu (syar’u man qablana) saja, tetapi melainkan juga berlangsung dalam batang tubuh syariat Nabi Muhammad sendiri. Betapa syariat Islam yang baru diundangkan, kerap dalam 3 sampai 5 tahun dianulir kembali oleh Nabi Muhammad karena tidak bermaslahat lagi.  
Tidaklah mustahil bahwa sesuatu yang bernilai maslahat dalam suatu tempat dan waktu tertentu, kemudian berubah menjadi mafsadat dalam suatu ruang dan waktu yang lain. Bila kemaslahatan dapat berubah karena perubahan konteks, maka dapat saja Allah menyuruh berbuat sesuatu karena diketahui mengandung maslahat, kemudian Allah melarangnya pada waktu kemudian karena diketahui di lapangan aturan tersebut tidak lagi menyuarakan kemaslahatan. Ibnu Rusyd dalam bukunya ‘‘Fashl al-Maqal fi al-Taqrir Ma Bayna al-Syariat wa al-Hikmah min al-Ittishal’’ menyatakan bahwa hikmah (kemaslahatan) itu merupakan saudara kandung dari syariat-syariat yang telah ditetapkan Allah.  
Teks suci tanpa kemaslahatan memang tak berfungsi apa-apa buat manusia, kecuali untuk teks itu sendiri. Teks baru bermakna sekiranya menyertakan cita kemaslahatan bagi umat manusia. Kemaslahatan adalah fondasi paling pokok dari setiap perundang-undangan syariat Islam. Ini bukan karena ajaran Islam memang perlu dicocok-cocokkan secara opurtunistik dengan perkembangan kemaslahatan, melainkan karena tuntutan kemaslahatan itu secara obyektif niscaya mengharuskan demikian. Menarik mendengar pernyataan Izzuddin Ibnu Abdissalam, “innama al-takalif kulluha raji’atun ila mashalih al-‘ibad” (seluruh ketentuan agama diarahkan untuk sebesar-besarnya kemaslahatan umat manusia). Dengan ini, maka kemaslahatan itu merupakan ajaran agama yang tsawabit (tidak berubah, pokok, dan universal), sementara wujud pelaksanaan cita kemaslahatan itu merupakan perkara agama yang mutaghayyir (berubah-berubah mengikuti perubahan alur sejarah dan peradaban). Maka, yang perlu mendapatkan proviso penegasan di sini adalah bahwa naskh tidak dapat dilakukan terhadap teks al-Qur’an yang mengandung prinsip-prinsip ajaran yang universal, ajaran mana telah melintasi ruang dan waktu, mengatasi pelbagai etnis dan keyakinan. Ayat-ayat ini ingin saya katakan sebagai ayat dengan kedudukan paling tinggi (al-ayat al-‘ala qiymatan), atau al-ayat al-ushuliyat atau ushul al-Qur’an. Ayat-ayat seperti ini memang tidak banyak jumlahnya, bahkan bisa dihitung dengan jari tangan.  
Masuk dalam kategori ayat yang tidak bisa dinaskh ini, seperti ayat “wa idza hakamtum bayna al-nas an tahkumu bi al’adl”, “I’dilu huwa aqrabu li al-taqwa”, dan sebagainya. Naskh terhadap ayat yang demikian bukan saja berpunggungan dengan semangat kehadiran Islam awal, melainkan juga bertentangan dengan logika naskh sendiri. Sementara ayat-ayat mu’amalah dalam al-Qur’an yang bersifat tehnis-operasional-saya suka menyebutnya dengan al-ayat al-adna qiymatan atau al-ayat al-furu’iyyat atau fiqh al-Qur’an, seperti ayat yang berbicara tentang bentuk-bentuk hukuman (‘uqubat), sanksi bagi para pelaku pidana (hudûd), bilangan waris dan sebagainya, maka tetap terbuka kemungkinan untuk di-naskh dan difalsifikasi, sekiranya ayat tadi tidak efektif lagi sebagai sarana untuk mewujudkan cita kemaslahatan. Dalam sejarahnya, naskh selalu hadir untuk terus-menerus memperbaharui teks-teks agama yang tidak lagi merepresentasikan prinsip-prinsip dasar Islam.”57  

Pendapat Moqsith di atas tidak semuanya salah, benar apa yang ia katakan bahwa pernah terjadi pembatalan demi pembatalan terhadap sejumlah syariat Islam, yang dikenal dengan istilah nâsikh-mansûkh, benar apa yang ia paparkan bahwa naskh inheren dengan kemaslahatan, benar pula bahwa kemaslahatan merupakan spirit pe-naskh-an, dan tak pelak bila syariat Islam yang baru diundangkan, kerap dalam 3 sampai 5 tahun dianulir kembali oleh Nabi Muhammad  karena tidak bermaslahat lagi. Namun, semua pe-nasakh-an itu hanya bisa terjadi sebelum Nabi wafat, karena naskh hanya bisa dilaksanakan dengan wahyu, sementara tidak ada lagi wahyu (divine revelation) setelah Beliau wafat. Di sinilah kesalahan fatal pendapat liberal, mereka menganggap pe-naskh-an masih berlaku hingga kini. Kesalahan fatal lainnya adalah anggapan bahwa kemaslahatan memiliki otoritas untuk menganulir ketentuan-ketentuan teks suci, sementara kita tahu tidak ada yang mampu menganulir teks-teks suci kecuali superioritas wahyu yang lain. Sedangkan dalam perspektif metodologi klasik, kemaslahatan hanya berperan sebagai motivasi eliminasi (naskh). Jadi, kemaslahatan tidak bisa diperkosa untuk diposisikan sebagai ‘nâsikh’ (pembatal), karena tidak ada yang dapat mengeliminasi superioritas wahyu kecuali kekuatan wahyu yang lain.  
Lalu, bagaimana jika argumen di atas dibenturkan dengan statemen Ulil Abshar Abdalla (kordinator JIL) dalam artikelnya yang dimuat di Harian Kompas 18 November 2002/Ramadhan 1423 H., yang berjudul Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam. Di sana Ulil sempat ‘‘cuap-cuap’’ tidak karuan, di antara statemennya; ‘‘Wahyu verbal memang telah selesai dalam Qur’an, tetapi wahyu non-verbal dalam bentuk ijtihad akal manusia terus berlangsung’’. Untuk menyikapi komentar ulil ini maka perlu diketahui, bahwa wahyu non-verbal itu ada dua: 1) Wahyu dari Allah, yaitu intuisi (ilham) kebaikan dan bisikan-bisikan yang sesuai dengan kebenaran; 2) Wahyu setan, yaitu pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan yang bertentangan dengan agama yang telah dibawa oleh Rasul.58 Nah, rupanya wahyu kedua inilah yang klop untuk disematkan kepada wahyu non-verbal ala ulil.  

Abd al-Karim Zaydan, ahli ushul fiqh Universitas Baghdad, memaparkan; ‘‘pengeliminasian nash benar-benar terjadi dalam syariat. Adapun hikmah dari eliminasi itu adalah preservasi terhadap kemaslahatan manusia. Tatkala kemaslahatan menuntut adanya pergantian hukum, maka pergantian hukum itu niscaya disepakati dan merupakan tujuan syariat. Contohnya, perintah shalat secara gradual; pada awalnya shalat disyariatkan hanya dua raka’at di pagi hari, dan dua raka’at di sore hari. Setelah keimanan benar-benar tertancap, ia pun di-nasakh manjadi lima waktu’’.59 inilah yang disebut eliminasi nash yang sealur dengan petimbangan kemaslahatan.  
Adapun pernyataan Izzuddin Ibn Abd al-Salam yang berbunyi; ‘‘innama al-takâlif kulluha râji‘atun ila mashâlih al-‘ibâd (sesungguhnya ketentuan agama seluruhnya kembali kepada kemaslahatan umat manusia), adalah benar. Akan tetapi, bukan berarti kemaslahatan tersebut secara independen dapat me-naskh hukum-hukum Islam, melainkan, ia hanya motivasi dan hikmah pe-naskh-an.  
Pada akhirnya, meskipun ada beberapa pendapat liberal yang mereka kutip dari statemen ulama-ulama yang benar, tetapi yang memprihatinkan mereka luput dalam memposisikannya, atau dengan kata lain disalahgunakan. Pendapat ulama-ulama itu sebenarnya ibarat pisau, ia multifungsi, termasuk bisa digunakan membabat leher. Lantas dengan sadis pisau itu telah digunakan oleh liberal untuk membabat hukum-hukum Allah. Sehingga, benar apa kata sahabat Ali . ‘‘Kalimah al-haq urîda biha al-bâthil (ucapan benar tetapi yang dimaksudkan adalah tujuan bathil) sekedar untuk mengelabui dan mengingkari hukum Allah seperti qishâsh, hudûd, jilbab dll.  

4. Sangkalan Kaidah Tanqih al-Nushûsh bi al-‘Aql al-Mujtama’  

Abd Moqsith Ghazali berpendapat; ‘‘Kaidah ini hendak menyatakan bahwa akal publik memiliki kewenangan untuk menyulih dan mengamandemen sejumlah ketentuan ‘dogmatik’ agama yang menyangkut perkara-perkara publik, baik dalam al-Qur’an maupun dalam al-Sunnah. Sehingga ketika terjadi pertentangan antara akal publik dengan bunyi harfiah teks ajaran, maka akal publik berotoritas untuk mengedit, menyempurnakan, dan memodifikasikannya. Modifikasi ini terasa sangat dibutuhkan ketika berhadapan dengan ayat-ayat partikular, seperti ayat hudûd (seperti potong tangan, rajam, dan sebagainya), waris, dan sebagainya. Ayat-ayat tersebut dalam konteks sekarang, alih-alih bisa menyelesaikan masalah-masalah kemanusian, yang terjadi justeru merupakan bagian dari masalah yang harus dipecahkan melalui prosedur tanqih yang berupa taqyid bi al-‘aql, takhshish bi al-‘aql, dan tabyîn bi al-‘aql.  
Ayat-ayat semacam itu, sebagaimana dikatakan sebelumnya disebut sebagai fiqh al-Qur’an. Sebagai sebuah fiqh, ayat-ayat tersebut sepenuhnya merupakan respons al-Qur’an terhadap kasus-kasus tertentu yang berlangsung dalam lokus tertentu pula, masyarakat Arab. Dengan demikian, kebenaran ayat-ayat tadi bersifat relatif dan tentatif, sehingga memerlukan penyempurnaan, pembaharuan, dan penyulingan. Dalam tataran itu, universalisasi fiqh al-Qur’an tanpa melalui proses tanqih harus dihindari. Sebab, membiarkan fiqh al-Qur’an persis seperti dalam bunyi harfiahnya hanya akan mengantarkan al-Qur’an pada perangkap yang mematikan spirit dan elan vital al-Qur’an.  
Kerja tanqih ini hakekatnya inheren dalam diri setiap manusia yang berakal budi. Dalam jiwa manusia terdapat impuls abadi yang tak pernah padam untuk bertanqih. Terdapat dorongan kuat untuk senantiasa berpihak pada kebenaran dan keadilan. Selalu ada kecenderungan untuk mengoreksi pelbagai kekeliruan dan menyempurnakan segala kekurangan. Akal publik dan bukan akal privat ini dibutuhkan tentu untuk menghindari oligarki pendapat atau otoritarianisme dalam merumuskan dan memecahkan urusan-urusan publik. Bagaimanapun di dalam ruang publik tidak boleh ada satu pihak atau golongan dalam masyarakat yang berhak memaksa pandangannya pada orang lain, karena pandangannya dinilai lebih benar. Mereka memiliki kedudukan dan derajat yang sama.  
Pandangan di atas sangat berbeda dengan pandangan mainstream, baik yang klasik maupun yang kontemporer yang terus menerus mendevaluasi akal di bawah kedigdayaan teks. Baik kalangan Asy‘ariyah maupun Mu‘tazilah hakekatnya sama-sama memposisikan akal sebagai pengelola data-teks, sementara data-teks merupakan pangkal atau asal. Sebagai pengelola, maka akal tidak bisa bertindak terlampau jauh, kecuali hanya untuk melakukan rasionalisasi terhadap barang-barang irrasional yang ada dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Akal hanya berguna untuk membuka tabir kegelapan teks-teks dhanniyat al-Qur’an saja. Di tangan Mu‘tazilah, akal hanya berfungsi untuk mentakwil ayat-ayat yang mutasyabih. Akal tidak cukup percaya diri untuk melakukan peninjauan ulang apalagi mempertanyakan ayat-ayat partikular yang tergolong qath‘iyat dari sudut struktur gramatika bahasanya.  
Akal manusia dalam buku-buku teologi klasik telah diletakkan sebagai subordinat (ilmu ukur) dari teks. Akal mengalami penyusutan peran. Seolah-olah akal manusia itu begitu rendah, sehingga kalau dibiarkan maka manusia secara massal akan bertelanjang bulat di jalan-jalan sebagaimana binatang, berzina beramai-ramai, mencuri secara berjamaah, saling bunuh-membunuh, dan sebagainya. Ini, tentu saja sebuah sikap yang tidak apresiatif bahkan merendahkan akal sebagai karya agung Allah . Allah menciptakan akal agar manusia sanggup memilah dan memilih mana tindakan yang baik dan mana pula perbuatan yang buruk. Menurut saya, sekali lagi, akal publik harus diberi posisi yang penting. Akal publik tidak cukup hanya tampil sebagai pengelola data-teks. Menyangkut perkara-perkara mu’amalah yang mundan, akal publik perlu mendapatkan wewenang untuk mengevaluasi efektivitas dan kinerja beberapa ketentuan al-Qur’an dan al-Hadîts di dalam mengimplementasikan maqashid al-syari’ah di bumi realitas. Sekiranya dari data lapangan diketahui ketidak-berdayaan sebuah teks di dalam mengatasi perkara-perkara publik, maka akal publik mesti mempertimbangkan ulang ketentuan tersebut. Akal publik bertugas untuk mengeluarkan spirit dasar Islam dari lipatan huruf-huruf agama. Akal publik mempunyai tanggungjawab moral untuk mentanqih ayat-ayat yang problematik. Akhirnya, jangan lupa bahwa itu hanya sebagian kaidah ushul fiqh alternatif yang bisa disodorkan untuk membenahi kelemahan-kelemahan metodologi istinbath yang telah lama dirisaukan. Tentu saja ada sekian banyak lagi kaidah ushul fiqh yang perlu direformasi dengan menyertakan banyak orang yang berkompeten. Dengan cara ini, niscaya kita bisa menghindari kebekuan dan kemandulan metodologi-ushul fiqh.”60  

Dalam ranah ushul fiqh memang terdapat kaidah yang jika dipahami sekilas-lintas, seakan-akan membenarkan metodologi liberal, sebut saja kaidah ‘‘Jawâz al-takhshîsh bi dalîl al-‘aql’’. Kaidah ini menyatakan bahwa akal boleh menyulih dan memodifikasi nash-nash yang bermuatan universal (umum) dalam rangka spesifikasi (takhshîsh). Al-Qâdhi Abû Bakar berpendapat; ‘‘ilustrasi kaidah ini adalah ketika terdapat nash yang universal namun akal menolak universalitasnya, maka akal berhak menyimpulkan bahwa kehendak nash tersebut sebenarnya adalah sebuah kekhususan yang bisa diterima oleh akal, akan tetapi tidak dapat ditarik kesimpulan bahwa akal setara kedudukannya dengan redaksi tersambung yang mengecualikan redaksi sebelumnya (istisnâ’ muttashil)’’. Contohnya ayat ‘‘Walillâhi ‘alannâsi’’ (QS. Ali Imran: 97) (mengerjakan haji adalah kewajiban ‘manusia’ terhadap Allah). Menurut al-Qâdhi dan Abû Hâmid al-Isfirâni–dalam menginterpretasikan ayat tersebut–rasio mempunyai otoritas mengecualikan anak kecil dan orang gila dari cakupan kata-kata annâs, karena keduanya tidak dapat memahami perintah Allah (khithâb).61  
Sebagai metodologi yang memberi kesempatan penalaran luas, kaidah ini ternyata mengundang pro-kontra di kalangan ushuliyyin.62 Upaya mensinkronkan perdebatan ini telah ditempuh oleh para ulama. Imam Harâmain, al-Ghazâli, Ilkiyâ al-Thabari, Ibn al-Qusyayri, dan Abû al-Mashûr dalam upaya mengkompromikan silang pendapat tersebut berpendapat, bahwa perbedaan di sini hanya bersifat lafzhi, yaitu hanya sekedar perbedaan panamaan takhshîsh atau bukan. Tetapi ada juga ulama yang berkomentar, bahwa kontradiksi yang terjadi di antara dua kubu adalah bersifat substantif (al-khulfu ma’nawiyyun).  
Dalam menyikapi pro-kontra di sini, yang perlu dicatat adalah pendapat al-Naqsyawâni, ia menyatakan bahwa kaidah di atas tidak secara mutlak terlaku pada setiap teks universal, tetapi terbatas pada ayat-ayat ahkam saja, karena para ahli fiqh dan ushul fiqh tidak pernah membahas persoalan di luar areal dalil syar‘i. Setelah menerangkan tentang fungsi serta obyek dari kaidah ini, Naqsyawani menggaris bawahi–dalam kaitannya dengan kaidah takhshîsh bi al-‘aql–dengan mengatakan bahwa akal secara independen tidak dapat menspesifikasi (takhshîsh) terhadap nash-nash universal kecuali dengan dasar dalil syar‘i yang lain. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa dalam literatur ushul fiqh memang terdapat kaidah yang menyatakan akal dapat menyulih nash-nash, akan tetapi bukan berarti akal bisa menyulih nash-nash secara independen tanpa panduan dari dalil syar‘i.63  

Ibn Taimiyyah menyatakan; ‘‘Akal itu bukan dasar (pokok) untuk menetapkan syari‘at, walaupun ia merupakan jalan mendapatkan pengetahuan, karena sesuatu yang ada akan tetap pada keadaanya, baik kita ketahui maupun tidak kita ketahui. Maka dari itu, syari‘at akan tetap ada, baik kita mengetahuinya dengan akal kita maupun tidak. Itulah kaidah agung, yaitu bahwa sesuatu yang ada akan tetap adanya, baik diketahui oleh seseorang maupun tidak diketahui. Perbandingan akal dan syari‘at adalah seperti itu.64  

Sayyid Muhammad ‘Alawi al-Maliki al-Hasani berpendapat, bahwa akal secara independen tidak bisa dijadikan standar untuk menentukan kemaslahatan dan keburukan, karena beberapa alasan; 1) Akal manusia relatif berbeda dalam menentukan hal-hal tersebut. Terkadang suatu perbuatan dianggap baik oleh seseorang, sementara menurut orang lain tidak; 2) Akal tidak pernah lepas dari intervensi atau pengaruh hawa nafsu, propaganda pihak lain, konstruksi budaya, dan beberapa tujuan terpendam yang lain; 3) Akal terbatas jangkauanya, tidak mampu menebak tuntutan masa depan, dan tidak bisa meneropong ‘fenomena penampakan’ yang akan terjadi. Sehingga, akal bukanlah acuan independen yang legal, melainkan, ia hanya sebagai instrumen untuk memahami objektif syariat dengan melalui panduan ajaran Allah , yakni panduan yang diproyeksikan sebagai prinsip hidup dan pedoman untuk menciptakan peradaban dunia yang lebih cililized. Sementara risalah samawi yang komprehensif adalah ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad swt.65  
Filsuf kenamaan seperti Plato juga sejalan dengan beberapa komentar di atas. Ia mengatakan; ‘‘Jika indra kita bisa tertipu oleh kesimpulan akal yang keliru, semisal pohon yang tegak lurus nampak bengkok di dalam air, apa yang kita sangka air ternyata hanya sebuah fatamorgana, lalu bagaimana akal bisa diandalkan hingga kita tahu bahwa kita tidak tertipu. Maka jelaslah, kebenaran harus datang dari tempat lain, dan akal membutuhkan pertolongan.’’66  
Ibnu Khaldun berpendapat; “Akal itu mempunyai garis-garis yang tegas membatasi kemampuannya. Otak hanya satu dari beberapa atom yang diciptakan Allah . Berdasarkan semua itu, dapatlah anda mengerti akan kelirunya seseorang yang mendahulukan akal, serta betapa keterbatasan pemahaman dan keredupan pendapatnya.”67  
Al-Ghazali secara eksplisit mengatakan; “Maqâshid al-syar’iyyah hanya bisa disingkap melalui pemahaman dari al-Kitab, al-Hadîts (pro-phetic reports) dan konsensus ulama’.”68 Sebagaimana sabda Rasulullah ;  
اَلخَيرُ مَا إِخْتاَرَهُ اللهُ لَكَ لاَ مَا تخَتاَرَهُ  
Kebaikan adalah apa yang telah dipilihkan Allah kepadamu, bukan apa yang kamu pilih.”  

Menurut kami, beberapa komentar dan sabda Nabi  di atas sangat layak untuk dijadikan hipotesis guna menarik sebuah rajutan konklusi, bahwa peran akal secara independen (tanpa panduan nash) tidak dapat dijadikan standar legal dalam menentukan cita kemaslahatan, lebih-lebih sebagai sarana menganulir teks-teks suci, jelas tidak bisa!. Hal ini bukan berarti bahwa metodologi klasik Islam memandang sebelah mata dan tidak memberikan reputasi pada kemampuan akal. Akan tetapi, justru motifasi pembatasan terhadap peran akal adalah semata-mata untuk menjaganya dari kesalahan yang fatal, yakni kesalahan yang dapat menyebabkan heterdoks (syad ’an al-haq). Untuk menanggulangi kesalahan itu, akhirnya Islam berupaya menuntun peran akal dengan panduan-panduan Ilahi. Dengan upaya Islam yang mulia ini, kami akan bertanya kepada kaum liberal; apakah Islam masih kurang bijaksana dan kurang adil dalam memposisikan peran akal? Dan tunjukkan di mana letak ketidakbijaksanaan dan injurtisinya? Kami yakin mereka tidak bisa menjawab! Atau mungkin bisa menjawab tetapi nihil dari nilai-nilai kebenaran!.  
Untuk mementahkan pendapat mereka ‘sementah-mentahnya’, selaras jika kami memakai statemen Ibnu Taimiyah lagi; “Akar kesesatan orang yang sesat adalah mendahulukan logikanya di atas nash yang diturunkan dari sisi Allah , dan kecenderungannya kepada keinginan nafsu di atas prinsip mengikuti perintah Allah.”69 Lanjutnya lagi; “Barang siapa keluar dari norma-norma syar‘i (qanûn Nabawi yang telah ditunjukkan oleh al-Qur’an dan Sunnah), pasti ia perlu membuat qanûn lain yang berseberangan, yang ditolak oleh akal dan agama. Jadi, ciri ahli bid’ah itu tidak mau bersandar kepada al-Qur’an, al-Sunnah dan Atsar para sahabat dan Tabi’in, melainkan mereka mengandalkan “akalnya” dan “permainan bahasa”. Mereka tidak akan bersandar kepada kitab-kitab tafsir yang ma’tsurah, Hadîts serta Atsar ulama klasik...Mereka berpaling dari nushûsh al-Anbiya’ karena menurut mereka tidak memberikan ilmu dan keyakinan. Mereka men-ta’wil dan men-tahrif (mengubah) al-Qur’an dengan akal dan pemahaman mereka semata, tanpa ada petunjuk dari Atsar Nabi dan para sahabatnya.”70 Na'udzu billahi min dzalik.  
Pada prinsipnya, pembatasan Islam terhadap peran akal bukan berarti ia memandang sebelah mata, mendiskriminasikannya dan tidak memberikan reputasi pada kemampuan akal. Akan tetapi, justru spirit pembatasan itu adalah semata-mata sebagai upaya preservasi terhadapnya agar tidak tergelincir jatuh terjerumus ke dalam jurang kesesatan.  


5. Al-Qur’an dan Hadits Tereliminasi: Kritik Terhadap Nalar Imam Najmuddin al-Thufi & JIL  
Beberapa kaidah yang ditawarkan oleh Moqsith di muka secara garis besar hendak menyematkan suatu otoritas terhadap kemaslahatan. Bagi kalangan liberal kemaslahatan mempunyai fungsi yang tak terhingga untuk mengontrol, memodifikasi, dan bahkan menganulir teks-teks keagamaan. Pengabaian teks merupakan konsekuensi logis yang niscaya jika teks berbenturan dengan kemaslahatan. Pandangan liberal tersebut jika kita teliti dalam ranah turâts klasik Islam ternyata identik dengan nalar teoritik al-Thufi.71  
Konsep kemaslahatan yang diusungnya sangat kontroversial. Pemikiran al-Thufi banyak menarik para pakar, di antaranya Mustafa Zayd, dosen Dar al-‘Ulum Cairo, yang menulis khusus tentang metodologi kemaslahatan versi al-Thufi dalam tesisnya al-Mashlahah fi al-Tasyri’ al-Islami wa Najm al-Din al-Thufi (kemaslahatan dalam legislasi Islam dan Najmudin al-Thufi). Thufi menyatakan bahwa ajaran yang diturunkan oleh Allah SWT melalui wahyunya dan sunnah Rasulullah SAW pada intinya adalah untuk memanifestasikan kemaslahatan bagi umat manusia. Prinsip yang dijadikan titik-pijak dalam kehidupan manusia adalah cita kemaslahatan. Karenanya, segala sesuatu yang mengandung kemaslahatan bagi manusia harus dilaksanakan.  
Al-Thufi memiliki pandangan sangat berbeda dengan mayoritas ulama ushul klasik. Jumhur ulama usuhul mengklasifikasikan kemaslahatan dalam trilogi: 1) mashlahah mu‘tabarah; 2) mashlahah mulghah; 3) mashlahah al-mursalah. Al-Thufi tidak sepakat dengan klasifikasi itu, karena, menurutnya, tujuan syari‘at adalah kemaslahatan yang senantiasa harus digapai, baik didukung maupun tidak didukung oleh teks-teks Ilahiyyah. Menurutnya, ada empat ukuran kemaslahatan:  
Pertama, kebebasan akal manusia mempunyai fungsi strategis guna menentukan kemaslahatan dan kemudaratan bidang muamalat duniawi dan adat kebiasaan (fi nithâq al-mu’amalah wa al-‘adât). Konsekuensinya, sesuatu dinilai maslahat atau tidak cukup didasarkan pada pertimbangan nalar intelektual secara independent, tanpa harus didukung oleh teks al-Qur’an maupun Hadîts. Nalar ini kontras dengan mayoritas ulama ushul yang mengembalikan kemaslahatan pada otoritas teks.  
Kedua, kemaslahatan diposisikan sebagai dalil tersendiri (dalîl mustaqil) di luar nash-nash. Implikasinya, kemaslahatan hanya tergantung pada penilaian akal manusia.  
Ketiga, lingkup kajian (majâl al-‘amal) kemaslahatan tersebut hanya terbatas pada tataran muamalat duniawi dan adat kebiasaan, karena pemilik kemaslahatan dalam bidang ibadah adalah Allah SWT, sedangkan dalam muamalat duniawi dan adat kebiasaan terkait dengan kemaslahatan manusia sendiri.72 Gagasan Thufi ini sekarang menjadi primadona kalangan liberal. Moqsith menyatakan: “menyangkut perkara-perkara mu’amalah yang mundan, akal publik perlu mendapatkan wewenang untuk mengevaluasi efektivitas dan kinerja beberapa ketentuan al-Qur’an dan al-Hadîts di dalam mengimplementasikan maqashid al-syari’ah di bumi realitas. Sekiranya dari data lapangan diketahui ketidakberdayaan sebuah teks di dalam mengatasi perkara-perkara publik, maka akal publik mesti mempertimbangkan ulang ketentuan tersebut. Akal publik bertugas untuk mengeluarkan spirit dasar Islam dari lipatan huruf-huruf agama. Akal publik mempunyai tanggungjawab moral untuk men-tanqîh ayat-ayat yang problematik”.73  
Keempat, kemaslahatan tersebut merupakan dalil syara‘ yang paling kuat (aqwa al-adilah al-syar’i). Seperti dikutip Mushtafa Zayd, al-Thufi tidak menetapkan bahwa kehujahan kemaslahatan tersebut hanya jika teks ayat atau Hadîts tidak ada, tetapi sejak semula ia menandaskan bahwa kemaslahatan adalah dalil yang berdiri sendiri (mustaqil) dan merupakan dalil syara‘ yang paling kuat, sehingga jika terjadi antagonisme atau pertentangan antara teks wahyu atau hadîts dengan kemaslahatan yang terkait dengan paradigma muamalat duniawi, maka kemaslahatan, menurut penilaian akal, harus didahulukan dengan cara memodifikasi, spesifikasi, kualifikasi, atau penjelasan.  
Keempat bangun nalar al-Thufi di atas sangat kontradiktif dengan pandangan mainstream. Bagi al-Thufi, karena spirit dasar syari‘at Islam itu adalah kemaslahatan, sedangkan kemaslahatan itu sendiri dapat dicapai melalui akal, maka dalam menilai kemaslahatan atau mafsadat tidak diperlukan wahyu atau hadîts, tapi cukup dengan penentuan melalui penalaran akal secara independen (aql al-mahdhi).74  

Metodologi Thufi tersebut secara epistemologis dibangun atas beberapa dasar, salah satunya adalah ijtihad sahabat Umar  yang secara sekilas memprioritaskan peran kemaslahatan jika bertentangan dengan bunyi teks-teks keagamaan. Misalnya dalam masalah hudûd, sahabat Umar pernah mengeluarkan kebijakan pemberian grasi tidak memotong tangan seorang pencuri saat paceklik. Berpijak dari kasus itu Thufi menyimpulkan bahwa kebijakan grasi yang dilakukan sahabat Umaradalah berlandaskan pertimbangan kemaslahatan, yakni karena pencuri tersebut melakukan tindakannya demi kelangsungan hidupnya, sedang menjaga kekelangsungan hidup harus diprioritaskan daripada menjaga harta, di mana menjaga harta itu sendiri merupakan prinsip teks tentang sanksi potong tangan. Pemikiran tersebut menjadi basis epistemologis bahwa sahabat Umar mendahulukan kemaslahatan ketika kontra dengan bunyi teks-teks keagamaan. Artinya, kemaslahatan mempunyai otoritas menganulir al-Qur’an atau Hadîts.75  

Meskipun al-Thufi adalah seorang pakar ushul fiqh, fiqh, Hadîts, bangun pemikirannya lepas dari kritik. Kritik terhadap inti pemikirannya, yakni maslahat dapat menganulir teks, juga datang dari ulama ushul lain.  
Dari kajian ketat dan kontemplatif, para ulama ushul klasik dan kontemporer menyebut konsep Thufi sangat problematis, cacat epistemologis, dan provokatif. Imam Ali Hasbillah, mengatakan: “setelah kami jelaskan cabang-cabang paradigma tradisi klasik yang ma’tsur yang berupaya menjaga kemaslahatan, maka kami menemukan kesimpulan bahwa kemaslahatan harus dicamkan (?) meskipun bertentangan dengan al-Kitab, al-Sunnah, maupun Qiyas”.76  
Muhammad Sa’îd Ramadhan al-Buthi, guru besar ushûl fiqh Universitas Damascus, menyebut titik kelemahan paling pokok pandangan Thufi adalah kesalahannya dalam menarik kesimpulan dari kebijakan Umar tentang pemberian grasi atau amnesti pada pencuri dalam kasus di muka. Sesat pikir tersebut dapat dijelaskan melalui uraian berikut ini.  
Pada dasarnya, teks normatif yang mengintruksikan potong tangan itu bersifat universal, sehingga ia harus dipahami secara korelatif-hermeneutis. Artinya, perlu adanya penafsiran dengan cara mengaitkan ayat tersebut pada teks-teks lain yang mengkhususkannya (takhshish), seperti Hadîts yang menerangkan tentang persyaratan kadar barang yang dicuri, kriteria tempat penyimpanan barang curian (hirzu), dan Hadîts yang menganjurkan memberikan grasi jika terjadi syubhat (kesamaran).  
Nabi pernah bersabda: “Hindarilah hudud jika terdapat kesamaran-kesamaran.” Dalam menyikapi teks normatif tentang anjuran pemberian grasi ini, semua ulama telah seia-sekata (ijma’) bahwa sanksi hudud dapat digugurkan tatkala ada kesamaran. Tetapi saat menentukan sebatas mana, apa saja karakteristik kesamaran itu, di kalangan pakar hukum terjadi perbedaan. Dalam hal ini sahabat Umar menilai bahwa pencurian yang dilakukan seseorang yang kelaparan saat terjadi paceklik adalah termasuk syubhat haq, artinya ia berhak atas harta yang diambil,77 karena ia mengambil harta orang lain demi tujuan menjaga kelangsungan hidupnya. Dengan demikian menjadi jelas, bahwa kebijakan sahabat Umar  tentang grasi tidak dapat dinilai sebagai “pengabaian” atau “penganuliran” terhadap teks yang mengintruksikan potong tangan karena pertimbangan kemaslahatan. Kebijakan tersebut sebatas melakukan pengecualian terhadap hukum universal potong tangan. Oleh sebab itu, keliru jika al-Thufi menyimpulkan bahwa Umar telah memprioritaskan kemaslahatan ketika kontra dengan teks, dan juga tidak tepat apabila al-Thufi memposisikan kemaslahatan sebagai dalil independen (mustaqil).78  
Secara otomatis dengan gugurnya konsep kemaslahatan al-Thufi, kaidah-kaidah alternatif tawaran JIL pun menjadi problematis, lemah secara epistemologis.  
Wa Allah a‘lam bi al-Shawab.  
1 Agus Hasan Bashari, Lc., Mewaspadai Gerakan Kontekstualisasi al-Qur’an, Surabaya: Pustaka al-Sunah, cet. I, 2003, h. 49.  
2 Zuly Qadir, Islam Liberal, Jogjakarta: Pustaka Pelajar, cet. I, 2003, h. 25.  
3 Rahman lahir di Pakistan, 1919 dan wafat di Chicago, 26 Juli 1988. Ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang memiliki tradisi madzhab Hanafi di Pakistan. Rahman mengikuti pendidikan akademis di Punjab University dan memperoleh gelar magister dalam bidang Sastra Arab pada tahun 1942. Pada tahun 1946 ia melanjutkan studi doktoralnya ke Oxfrord University di Inggris dan meraih gelar doktor pada tahun 1951 dalam bidang filsafat. Setelah itu ia mengajar di Durham University, Montreal (Canada). Ia menjabat sebagai Associate Professor of Philosophy. Pada tahun 1960 ia kembali ke Pakistan menjabat sebagai staf senior Institute of Islamic Research. Selaku direktur Institute of Islamic Research, ia pernah melontarkan statemen kontroversial dalam bukunya yang bertitelkan Islam (1966) behwa “al-Qur’an secara keseluruhan adalah kalam Allah–dalam pengertian bahasa–juga seluruhnya merupakan perkataan Muhammad”. Pada tahun 1970 ia hijrah ke Chicago menjabat sebagai guru besar kajian Islam pada Departement of Near Eastern Languages and Civilization, University of Chicago sampai akhir hayatnya.  
4 Maulana Frid Esack adalah salah satu pemikir Islam asal Afrika Selatan. Lahir di tahun 1959 di Wynberg, pinggiran kota Cape Town. Ia belajar di Jami’ah al-Ulum al-Islamiyah, Karachi Pakistan hingga meraih gelar BA dalam bidang hukum Islam. Sembilan tahun Esack menghabiskan waktunya belajar teologi dan ‘ulum al-Qur’an di Pakistan. Ia kembali ke Afsel pada tahun 1982. bersama tiga sahabat karibnya, ‘Adli Jacobs, Ebrahim Rasool dan Shamiel Manie dari University of Western Cape, Esack membentuk organisasi The Call of Islam pada tahun 1984. ia menjadi koordinator nasionalnya. Organisasi ini berafiliasi kepada Front Demokrasi Bersatu (UDF), didirikan masyarakat lintas-agama tahun 1983 untuk menentang rezim apartheid. Pada tahun 1989, ia meninggalkan negaranya lagi untuk belajar hermeneutika Qur'an di Inggris dan Hermeneutika Injil di Jerman. Di Universitas Theologische Hochschule, Frankfryt am Maqin Jerman, Esack menekuni studi Bibel selama setahun. Adapun di University of Birmingham di Inggris, Esack memperoleh gelar doktoralnya dalam kajian tafsir.  
5 Hasan Hanafi lahir 13 Februari 1935 di Kairo, Mesir. Ia adalah seorang filsuf hukum Islam dan guru besar Fakultas Filsafat Universitas Cairo. Konsepsinya yang populer adalah mengenai Kiri Islam yang dicetuskan pada tahun 1981. Dalam pandangannya, Kiri Islam adalah sebuah gagasan untuk membangkitkan kembali perdaban Islam melalui pemurnian ajaran tauhid dan penentangan terhadap dominasi kultur Barat. Ia memperoleh gelar Doktor dari universitas Sorbonne, Paris, pada tahun 1966. Disertasinya yang berjudul “Essai Sur la Methode d’exsegese” (Esai tentang metode penafsiran) yang tebalnya 900 halaman dan memperoleh pengakuan sebagai karya terbaik di Mesir pada tahun 1971. Pda tahun 1981 ia meluncurkan jurnal al-Yasar al-Islami: Kitabah fi al-Nahdhah al-Islamiyah. Menurutnya kebangkitan islam dapat diwujudkan denagan tiga hal: 1) perlunya rasionalisme untuk revitalisasi khazanah Islam klasik; 2) perlunya perlawanan terhadap kebudayaan Barat; 3) perlunya analisis atas realitas dunia Islam. Diantara karya-karyanya: 1) Qadhaya al-Mu’ashirah (Problematika Kehidupan Modern); 2) al-Aql wa al-Naql (Akal dan Wahyu); 3) Min al-Aqidah ila al-Saurah (Dari Akidah sampai Revolusi), dll.  
6 Muhammad Syahrûr bin Dâib Lahir di Damaskus pada 11 April 1938. Ia adalah Professor Teknik Sipil di Universitas Damaskus, Syiria. Ia mengawali karir intelektualnya pada pendidikan dasar dan menengah di lembaga pendidikan Abdurrahman al-Kawakibi, Damaskus. Pada tahun 1957 ia melanjutkan studi ke Moskow, Uni Soviet untuk mempelajari teknik sipil (handasah madaniyyah) atas beasiswa pemerintahan setempat. Di negeri inilah ia banyak berkenalan dengan pemikiran Marxisme. Sementara Gelar Magister dan doktoralnya ia peroleh dari Universitas Nasional Irlandia, Dublin. Kajian-kajiannya terhadap al-Qur'an yang sangat ketat mengandalkan aspek-aspek “teknis” bahasa (Arab). Ia mengakui sendiri bahwa “teori batas” (nazariyyah al-hudûd) diperolehnya dari logika hukum-hukum alam. Buku-buku kontroversialnya banyak dilarang penerbitannya diberbagai negara Islam.  
7 Muhammad Arkoun (Taourirto-Mimoun, Kabilia, AlJazair, 1 Februari 1928). Pada tahun 1956-1959 mengajar di Strasbourg dan setahun kemudian diangkat menjadi dosen pada Universiras Sorbonne di Paris dan pada tahun 1969-1972 ia menjadi dosen di Universitas Lyon.  
8 Makalah M. Ishom Hadzik, Islam Indonesia dan Islam Liberal. Disampaikan dalam seminar Jam’iyyah Nahdiyyah, Majlis Musyawarah Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien & Lajnah Bahtsul Masail di Aula AL-Muktamar Lirboyo.  
9 Abd. Muqshit Ghazali, www.islamlib.com.  
10 Makalah Nirwan Syafrin Arma M.A., Pemikiran Islam Dan Barat (Syariat Islam: Antara Ketetapan Nash dan Maqâshid al-Syar’iyyah). Disampaikan dalam Workshob Pemikiran Islam dan Barat di IKAHA, 3-5 Juni 2004.  
11 Dr. Abd al-Karim Zaydan, Wajiz fi Ushul al-Fiqh, Yordania: al-Maktabah al-Batsa’ir Amman, cet. III. 1990 M., h. 378-380.  
12 Istilah ‘‘sekularisasi’’ muncul dari kata ‘‘sekuler’’ (Latin: saeculum) yang antara lain mengandung arti ‘‘proses melepaskan diri dari ikatan keagamaan.’’ Sekularisasi dapat juga diartikan sebagai pemisahan antara urusan kenegaraan dengan urusan keagamaan, atau pemisahan antara urusan duniawi dan ukhrawi. Selanjutnya dari kata ‘‘sekuler’’ juga muncul istilah ‘‘sekularisme’’. Di Barat pada abad modern telah terjadi proses disparitas antara urusan agama dan non-agama. Hal tersebut diawali sebab ketidakserasian antara hasil penemuan sains atau ilmu pengetahuan disatu pihak dan dogma Kristen di pihak lain. Sayyid Qutb, filsuf Muslim dari Mesir (1906-1966 M), mendefinisikannya sebagai pembangunan struktur kehidupan tanpa dasar agama. Oleh karena itu sekularisme bertabrakan dengan Islam, bahkan merupakan musuh Islam yang berbahaya. Statemen Qutb ini didukung sepenuhnya oleh Althaf Gauhar, filsuf Muslim kontemporer Mesir, yang menyatakan bahwa sekularisme dalam Islam tidak mempunyai kaki-pijak referensial.  
13 Nirwan Syafrin Arma M.A. Loc. cit.  
14 Sayid Muhammad ‘Alawi al-Mâliki al-Hasani, Mafhûm al-Tathawur wa al-Tajdîd fi Syari’ah al-Islamiyyah, al-Saniy, Kencong Kediri, h. 10-11.  
15 Nash Qath‘i  
Qath‘i terklasifikasi menjadi dua: dari sudut datangnya atau keberadaannya dan dari sudut Lafalnya. Semua ayat al-Qur’an merupakan qath‘i al-tsubût. Artinya, dari segi “datangnya”, ayat Qur’an itu bersifat pasti dan tidak mengalami perubahan. Akan tetapi, tidak keseluruhan ayat Qur’an itu mengandung qath’i al-dilâlah. Qath‘i al-dilâlah adalah ayat yang lafalnya tidak mengandung kemungkinan untuk dilakukan interpretasi lain. Jadi, pada ayat yang qath‘i al-dilâlah tidaklah mungkin diberlakukan interpretasi dan ijtihad, sehingga pada titik-pijak ini tidak mungkin ada perbedaan pendapat ulama. Contohnya kewajiban shalat tidaklah dapat disangkal lagi. Dalilnya bersifat qath‘i, yaitu ‘‘aqimû al-shalât’’. Tidak ada ijtihad dalam kasus ini, sehingga semua ulama dari semua mazhab (school of thought) mencapai konsensus akan kewajiban shalat.  
Begitu pula halnya dengan Hadîts. Hadîts mutawatir mengandung sifat qath‘i al-wurûd (qath‘i dari segi keberadaannya). Tetapi, tidak semua Hadîts itu qath‘i al-wurûd dan juga tidak semua Hadîts mutawatir itu bersifat qath‘i al-dilâlah. Ringkas kata, jika disimplifikasikan maka tersimpul sebagai berikut: a) Qath‘i al-tsubût atau qath‘i al-wurûd: semua ayat al-Qur’an dan Hadîts mutawatir; b) Qath‘i al-dilâlah: tidak semua ayat al-Qur’an dan tidak semua Hadîts mutawatir.  
Nash Zhanni  
Zhanni juga terklasifikasi menjadi dua: dari sudut datangnya dan dari sudut lafalnya. Ayat Qur’an mengandung sejumlah ayat yang lafalnya membuka peluang adanya multi-interpretasi (ragam penafsiran). Contohnya dalam soal menyentuh wanita ajnabiyyah dalam keadaan wudhu’, ayat al-Qur‘an “aw lamastum al-nisâ’” terbuka untuk ditafsirkan dengan menyentuh perempuan atau berhubungan biologis. Begitu pula lafal Quru' (QS 2:228) terbuka untuk ditafsirkan dengan persucian atau khaid. Tipe teks seperti Ini yang dinamakan zhanni al-dilâlah.  
Selain Hadîts mutawatir, Hadîts lainnya bersifat Zhanni al-wurûd. Hal ini menunjukkan boleh jadi adanya kontradiksi dalam menentukan validitas transmisi (keshahihan) suatu Hadîts. Tarik ulur tersebut sangat lumrah, karena sifatnya adalah zhanni al-wurûd. Hadîts yang zhanni al-wurûd itu juga banyak yang mengandung lafal zhanni al-dilâlah. Sehingga disamping multi-interpretasi, juga terbuka peluang untuk diperselisihkan dari sudut keberadaannya. Simplifikasinya sebagai berikut:  
*Zhanni al-wurûd: selain Hadîts mutawatir .  
*Zhanni al-dilalah: redaksi dalam Hadîts mutawatir dan Hadîts yang lain, seperti Masyhur dan Ahad. Keterangan seputar qathi dan zhanni ini dapat dijumpai dalam karya Muhammad ’Alawi al-Mâliki. Loc. cit. Bandingkan Hasan bin Muhammad al-‘Athâr, Hasyiyah al-‘Athâr ‘Ala Syarh al-Jalâl al-Mahaly, vol. I, h. 41, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah. Lihat juga Abd al-Wahab Khalaf, Ushûl Fiqh, h. 30 dan 216.  
16 Dr. Yusuf al-Qardhawi, al-Siyasah al-Sar’iyah fi Dhaw’ Nushûsh al-Sar’iyyah wa Maqâsidiha, Beirut: Muassasah al-Risâlah, 2002, h.143-144.  
17 Dikutip oleh Nirwan Syafrin Arma M.A. dalam makalahnya dari Muhammad al-Sid dalam bukunya al-Hudûd, Petaling Jaya: Research Centre, 1996, h. 9.  
18 Ibid, h. 9-10.  
19 Ibid, h. 72.  
20 Dalam perspektif Islam, hudûd adalah hukuman atas tindak pidana tertentu yang jenis serta bentuk hukumannya telah ditetapkan oleh syari’. Hukuman ini tidak dapat dikurangi atau ditambah, dan tidak dapat dihapuskan oleh perseorangan dari pihak korban maupun masyarakat yang diwakili oleh lembaga negara. Hukuman ini dikenakan pada tujuh macam perbuatan pidana, yaitu: zina, qadhf, meminum khamr, mencuri, hirâbah, murtad, dan memberontak terhadap penguasa yang sah (al-baghyu).  
21 Jalâl Syamsuddin Muhammad bin Ahmad al-Mahali, Hasyiah al-Allamah al-Bannany ‘ala Matan Jâm’i al-Jawâmi’ li Imam Tajuddin ‘Abd al-Wahab ibn al-Subuky, al-Hidayah, vol. I, h. 408.  
22 Dr. Muhammad Sa’îd Ramadhan al-Buthi, Dhawâbid al-Mashlahah fi Syari’at al-Islâmiyyah, Muassasah al-Risalah: Dar al-Muttahidah, cet. VI, 2000, h. 127-126.  
23 Prof. Dr. H.M. Amin Abdullah, Madzhab Jogja: Paradigma Alternatif Pengembangan Ushul Fiqh Dan Dampaknya Pada Fiqh Kontemporer, cet. I, 2002, Ar-Ruzz Press Djogjakarta, h. 137.  
24 Dalam perspektif Islam, qishâsh adalah hukuman yang memberikan perlakuan yang sama terhadap pelaku tindak pidana sebagaimana ia melakukannya (terhadap korban). Qishâsh hanya tertuju pada kejahatan yang menyangkut nyawa atau anggota badan seseorang. Apabila seseorang membunuh orang lain secara sewenang-wenang, makawali korban diberi hak untuk menuntut pembalasan melalui hakim untuk membunuh pula pelaku pidana tersebut. Demikian juga halnya jika seseorang melakukan kejahatan yang menyebabkan hilangnya salah satu anggota tubuh orang lain, maka pihak korban berhak untuk menuntut pembalasan dengan menghilangkan pula anggota tubuh yang sama pada pelaku tindak pidana tersebut. Hukuman ini merupakan hak korban, sehingga ia dapat digugurkan dengan mendapatkan maaf dari pihak korban.  
25 Drs. Makhrus Munajat, Mazhab Jogja: Pemikiran Hukum Pidana Islam Kontemporer, Sebuah Kajian Psikologi Sosial, Ar-Ruzz Press Djogjakarta, cet. I, 2002, h. 214-215. Rumus J.S. Carrol ini dikutip oleh Drs. Makhrus Munajat dari Jamaludin Ancok dalam makalahnya, Efektifitas Hukum Pidana Islam dalam Menurunkan Tindakan Kriminal. Disampaikan pada Seminar Nasional dengan tema Kontribusi Hukum Pidana Nasional menuju kepada Hukum Nasional yang Berwawasan Kebangsaan. Jogjakarta UII, 1995. h. 5-6.  
26 Ibid.  
27 Penjatuhan sanksi dalam syariat Islam biasanya diberlakukan secara bertahap (gradual). Demikian pula dalam kasus perzinaan, pada awal Islam hukumannya tergolong ringan dan bersifat temporer, karena mempertimbangkan kondisi umat saat itu yang belum lama lepas dari kebiasaan jahiliyah. Penjatuhan sanksi yang secara gradual itu dimaksudkan agar mudah diterima. Pada awalnya, sanksi perzinaan dinyatakan dalam surat al-Nisa’ ayat: 15-16; ‘‘Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji (zina), hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya’’.  
Menurut para interpreter, pada periode awal Islam, sanksi perzinaan adalah kurungan bagi wanita yang sudah kawin dan dicerca bagi yang masih gadis, sedang bagi laki-laki dipermalukan dan dicerca dihadapan umum. Hukuman ini bersifat temporer, karena dalam ayat ini terdapat penegasan ‘sampai Allah memberikan jalan lain bagi mereka’. Dus, penegasan itu akhirnya terbukti dengan turunnya surat al-Nur ayat 2, yang menyatakan; ‘‘Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera’’. Ayat ini menerangkan tentang hukuman dera bagi pezina yang belum kawin (ghairu muhshan). Pada awalnya, ayat ini umum bagi setiap orang yang zina, akan tetapi ayat ini kemudian dijelaskan oleh Nabi melalui perkatannya yang diriwayatkan oleh Muslim dari ‘Ubadah bin Shâmit; ‘‘Ambillah (kejelasan ayat itu) dariku, ambillah (kejelasan ayat itu) dariku, sungguh Allah telah menjadikan padanya jalan: hukuman zina bagi perjaka dengan perawan adalah seratus kali dera dan dikucilkan satu tahun, sedang hukuman zina bagi laki-laki yang sudah menikah dengan wanita yang sudah menikah adalah seratus kali dera dan rajam’’. Selengkapnya lihat dalam Muhammad Ali al-Shabuni, Tafsir Ayat al-Ahkam, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, cet. I, 1999 M., vol. II, h. 15. Lihat juga Muhammad al-Razi, al-Tafsir al-Kabir, Dar al-Fikr, tt. vol. XII, h. 125. Dan Ibn al-Qadamah, al-Mughni, cet. Maktabah al-Hukumah, vol. VIII, h. 156.  
28 Muhammad Ali al-Shabuni. Op. cit., h. 16-18.  
29 Ibid, h. 18.  
30 Ibid, h. 17.  
31 Ibid, h. 16-17. dan N.A. Abafaz dan A. Maftuh Abegebriel, Negara Tuhan The Thematic Encyclopaedia, SR-Ins Publishing, cet. 1. Jogjakarta: Multi Karya Grafika, h. 228.  
32 Muhammad Ali al-Shabuni. Op. cit., h. 16-17.  
33 Terjemah Hadîts itu demikian; ‘‘telah menceritakan kepadaku (Imam Bukhari) Sa‘id Ibn ‘Ufair, ia mengatakan bahwa Abd al-Rahman ibn Khalid telah memberitahukannya yang diterimanya dari Ibn Syihab al-Zuhri dimana al-Zuhri tersebut menerimanya dari Ibn al-Musayyab dan Abu Salamah yang mengatkan bahwa Abu Hurairah pernah mengatakan: ‘ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah  sedangkan pada saat itu beliau berada dalam Masjid. Laki-laki itu memanggil Rasulullah dengan: ‘Wahai Rasul, sungguh aku telah berzina.’ Kemudian Nabi memalingkan mukanya. Lalu laki-laki itu berpindah ke arah hadapan Nabi setelah berpaling dan mengatakan lagi: ‘wahai Rasul, sungguh aku telah berzina.’ Nabi pun berpaling kedua kalinya. Kemudian ia bersaksi sebanyak empat kali, lalu Nabi mengatakan: ‘apa kamu gila?’ Laki-laki itu menjawab: ‘tidak wahai Rasulullah.’ Kemudian Nabi bertanya lagi: ‘apakah kamu muhsan (telah kawin)?’ Laki-laki itu menjawab: ‘Benar ya Rasul.’ Rasulullah bersabda kepada sahabat-sahabatnya: ‘pergilah dan lakukan hukum rajam kepadanya’.’’(HR. al-Bukhari).  
34 N.A. Abafaz dan A. Maftuh Abegebriel. Op. cit., h. 220.  
35 Muhammad Ali al-Shabuni. Op. cit., h.15.  
36 Ulil Abshar Abdalla, Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam, Kompas: 18 November 2002.  
37 Al-Syâthibi (w. Granada, Spanyol, 8 Sya‘ban 790 H./1380 M.) adalah seorang ahli ushul fiqh dan ahli bahasa Arab abad ke-8 H./14 M. dan ulama terkemuka Madzhab Maliki. Nama lengkapnya Abû Ishâq Ibrâhim bin Mûsa al-Garnati. Diantara karya monumentalnya yaitu: 1) Sarh al-Jalil ‘ala al-Khulâshah fi ‘Ilm al-Nahwi (tentang bahasa Arab); 2) al-Muwâfaqat fi Ushûl al-Syari‘ah (tentang ushul fiqh); 3) al-I‘tishâm (membahas al-mashlahah al-mursalah dan istikhsan serta perbedaannya dengan bidah); 4) al-Ifâdah wa al-Insyâdat (tentang syair-syair bahasa Arab); (5) Unwan al-Ittifâq fi ‘Ilm al-Isytiqa (mengenai bahasa Arab) dan Ushûl al-Nahwi (mengenai bahasa Arab).  
38 Abû Ishâq Ibrâhim bin Mûsa al-Garnati, al-Syâthibi, al-Muwâfaqat, Kairo: Dar al-Fikr, vol. II, h. 209.  
39 M. Syamsi Ali dkk, Membedah Islam Liberal; Memahami dan Menyikapi Manuver Islam Liberal di Indonesia. Bandung: PT. Syamil Cipta Media, h. 13-14.  
40 Sayid Muhammad al-‘Alawi al-Mâliki al-Hasani. Op. cit., h. 18-19 mengutip pendapat Ibn al-Qayim dalam kitab I’lân al-Muwaqi’în.  
41 Diriwayatkan bahwa Imam Mâlik pendiri mazhab Mâlikiyyah, mengadopsi kesimpulan-kesimpulan yang tampaknya merespon kemaslahatan semacam itu, dengan tanpa ada dukungan dari teks-teks al-Qur’an dan Hadîts. Tapi terjadi pro-kontra diantara para pengikutnya yang lebih akhir, ada mengingkari dan mengakui bahwa hal tersebut pernah terjadi. Menurut mereka, tidak ada ahli ushul fiqh setelah periode Imam Mâlik yang mendukung mashlahah al-mursalah dalam pengertian yang dinisbatkan kepada Mâlik. Namun realitanya banyak juga pengikutnya yang menyetujui metode penalaran ini dengan tiga syarat: 1) metode ini dapat memperlihatkan bahwa ciri kemaslahatan umum tersebut adalah sesuai (munâsib) dan relevan dengan objektif hukum (maqâshid al-syar’i); 2) rasional, sekiranya jika kemaslahatan tersebut ditawarkan kepada orang-orang yang mempunyai penilaian sehat niscaya akan diterima; 3) sebagai upaya preservasi terhadap kepentingan elementer (hifzhu al-dharuriyah) atau menghilangkan kesulitan dan kesempitan (raf’u al-harâj).  
Ada beberapa poin yang harus dicatat, bahwa terdapat statemen yang mengingkari mashlahah al-mursalah yang dinisbatkan kepada Syâfi’iyyah, Hanafiyyah, Hanbaliyyah. Akan tetapi secara faktual-empiris ternyata ditemukan ijtihad-ijtihad dalam kitab-kitab fiqh mereka yang dilandasi prinsip mashlahah al-mursalah. Contohnya, Syâfi’iyyah memperbolehkan membunuh binatang yang dipakai musuh untuk berperang, dan memotong pohon-pohon musuh ketika situasi menuntut strategi perang (soldiership) seperti itu. Hanafiyyah memperbolehkan membakar harta rampasan yang diperoleh oleh Muslimin jika mereka tidak mampu membawanya pulang. Adapun tujuan membakar harta tersebut adalah agar tidak dimanfaatkan oleh musuh. Hanbaliyyah memperbolehkan bagi pemerintah untuk memaksa para penimbun barang agar segara menjualnya dengan harga rata-rata jika masyarakat sangat membutuhkannya. Dan masih banyak lagi contoh-contoh lain yang tidak mungkin kami sebutkan dalam pembahasan ini.  
Al-Ghazâli menempatkan persoalan tersebut secara berbeda. Sebelumnya perlu kita ketahui bahwa konsep objektif hukum al-Ghazâli mencakup –pada puncaknya– tentang prinsip menjaga jiwa, hak milik pribadi, akal, agama, dan keturunan (dan ditambah menjaga harga diri (‘irdh) menurut versi lain). Selanjutnya, kalau ciri dari kemaslahatan dalam sebuah kasus dapat dikategorikan sebagai hal yang melayani salah satu dari prinsip ini, dan kalau ciri atau karakter kemaslahatan tersebut dapat dibuktikan secara pasti (qath‘i), berupa kemaslahatan universal (kulli), dan bersifat elementer (dharuriyyah), maka penalaran yang didasarkan atasnya adalah sah. Persyaratan kemaslahatan universal yang dimaksudkan di sini adalah kemaslahatan yang kembali pada kemaslahatan umat Islam pada umumnya, dan bukan hanya sebagian saja. Contoh klasik yang ditawarkan sebagai ilustrasi dari kriteria-kriteria itu adalah ketika tentara orang-orang kafir (antek-antek thaghût) menangkap sejumlah orang-orang Muslim dan menjadikannya sebagai perisai. Kalau perisai itu tidak diserang, tentara musuh akan berhasil dalam strateginya untuk menghancurkan komunitas Muslim. Untuk memukul mundur musuh, kita harus menyerang perisai tersebut, meskipun individu-individu dari kelompok perisai itu tidak melakukan kesalahan yang mengharuskan dihukum mati. Menurut prinsip kaidah ini, membunuh umat Islam (yang dijadikan perisai) adalah sesuai (munâsib) dengan pertimbangan keuntungan yang lebih besar. Di sini, kasus menjaga komunitas umat Islam secara keseluruhan adalah sesuai dengan beberapa persyaratan yang disebut di atas. Yakni, kemaslahatan universal, pasti, elementer dan menjaga kepentingan objektif hukum (maqâshid al-syar’i). Selengkapnya telaah dalam Dr. ‘Abd al-Karim Zaydan. Op. cit., h. 243-244. Badruddin bin Muhammad Bahari al-Zarkasi. Op. cit., vol. VIII, h. 83-86. Dr. Wahbah al-Zuhaili, Subûl al-Istifadah min al-Nawâzil wa al-Fatâwa wa al-‘Amali al-Fiqhi fi al-Tathbiqah al-Mu'âshirah, Dar al-Maktabi, 2001, h. 35-36. Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam: Pengantar Ushul Fiqh Madzhab Sunni, (pent.) E. Kusnadiningrat & Abdul Haris bin Wahid, cet. I, 2000, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, h. 165-166.  

42 Dr. ‘Abd al-Karim Zaydan. Op. cit., h. 236-238.  
43 Ibid, h.324.  
44 Ibn Qudamah (Jama‘il, Yerusalem, Sya‘ban 541/Januari-Februari 1147-Damascus, 6 Jumadil Akhir 620/6-7 Juni 1223). Ulama besar dan penulis kitab-kitab fiqh standar Madzhab Hanbali. Nama lengkapnya adalah Muwaffaquddîn Abû Muhammad ‘Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah. Menurut para sejarawan Ibn Qudamah adalah keturunan Umar bin Khattab melalui jalur Abdullah bin Umar bin Khattab. Kurang lebih ada 15 kitab karya besar Ibn Qudamah diantaranya: (1) al-Mughni (10 jilid; mengenahi fiqh); (2) al-Kâfi (3 jilid; ringkasan fiqh); (3) al-Muqni (3 jilid; kitab fiqh); (4) al-‘Umdah fi al-Fiqhi (kitab fiqh kecil bagi pemula); (5) Raudh al-Nadzîr fi Ushûl al-Fiqh (kitab ushul fiqh tertua madzhab Hanbali); (6) Dzam al-Ta’wîl (membahas persoalan ta‘wil).  
45 Muhammad Amîn bin Mukhtâr al-Syanfiti, Mudzâkarah Ushûl al-Fiqh, Beirut Libanon: Dar al-Qalm, h 207-210.  
46 Taqiyyuddin Abû al-Baqa’ al-Futûhi, Syaru al-Kawâkib al-Munîr, Mathba‘ah al-Sunnah al-Muhammadiyyah, h. 366.  
47 Muhammad Amîn bin Mukhtâr al-Syanfiti. Loc. cit.  
48 Badruddin bin Muhammad Bahadir al-Zarkasyi, Bahr al-Muhîd, Dar al-Kutby, vol. IV, h. 278.  
49 Mana’ Khâlil Qathân, Mabâhis fî ‘Ulûm al-Qur’an, (pent.) Drs. Mudzakir AS, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, cet. IV, 1998, Jakarta: Litera Antar Nusa kerja sama dengan Pustaka Islamiyyah, h. 106-107. Bandingkan dengan Abî al-Fadhl Jalâluddîn ‘Abd al-Rahmân Abî Bakar al-Suyûthi, Lubâb al-Nuqûl fî Asbâb al-Nuzûl, Beirut Libanon: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, h. 3.  
50 Nirwan Syafrin Arma. Loc. cit.  
51 Al-Syâthibi, al-Muwâfaqat, Dar al-Rasyad al-Haditsah, vol. II, h 275.  
52 Ibid, Beirut: Dar al-Ma’rifat, h. 49-50.  
53 Kombinasi corak literalistik dan utilitarianistik ushul fiqh di muka jika ditinjau dari konsep “trilogi epistimologi” (bayani, burhani, dan ‘irfani) Abid al-Jâbiri, maka ushul fiqh telah mampu mengakomodir epistimologi bayani sekaligus burhani. Epistimologi bayani (retoris) merupakan model berpikir yang memusatkan pada kajian teks dan bahasa pada umumnya (literalistik). Sedang epistimologi burhani (demonstratif) merupakan kajian yang memusatkan konsentrasi pada pola rasionalitas. Dan yang terakhir adalah epistimologi ‘irfani (gnostik), yakni kajian yang lebih mengutamakan aspek dzauq (perasaan) atau intuisi (ilham). Ranah epistemologi ‘irfani ini merupakan model ajaran kaum sufi. Selengkapnya telaah dalam karya al-Jâbiri Takwîn al-‘Aql al-Araby dan Bunyah al-‘Aql al-‘Arâby, Markaz Dirasah al-Wihdah al-‘Arabiyyah, Beirut, 1989.  
55 Muhammad ‘Abid al-Jâbiri adalah pemikir Muslim kontemporer asal Maroko yang kreatif dan sangat kritis. Dilahirkan di Figuig, sebelah selatan Marako pada tahun 1936. Ia menyelesaikan pendidikan ibtidaiyyahnya di Madrasah Hurrah Wathâniyyah. Pendidikan menengahnya dia tempuh dari tahun 1951-1953 di Casablanca dan memperoleh Diploma Arabic High School setelah Maroko merdeka. Sejak dari awal Jabiri sudah tekun mempelajari filsafat. Pendidikan filsafatnya dia mulai pada tahun 1958 di Universitas Damaskus, Syiria. Al-Jabiri tidak lama bertahan di universitas ini. Setahun kemudian dia pindah ke Universitas Rabat. Dia menyelesaikan program masternya pada tahun 1967 dengan tesis Filsafah al-Tarikhinda Ibn Khaldûn (Filsafat Sejarah Ibn Khaldûn), di bawah bimbingan N. Aziz Lahbabi (w. 1992), juga seorang pemikir Arab Maghrib. Dia meraih Doktor filsafah pada tahun 1970 di bawah bimbingan Najib Baladi. Disertasi Doktornya juga berkisar seputar pemikiran Ibn Khaldûn dan telah diterbitkan dengan judul Fikr Ibn Khaldûn: al-‘Asyabiyah wa al-Dawiyah: Maâlim Nazariyah Khaldûniyyah fi al-Târîkh al-Islami [al-Dar al-Bayda’. Dar al-Thaqafah, 1971. Diantara karyanya adalah Takwîn al-‘Aql al-Araby, Bunyah al-‘Aql al-‘Arâby, al-‘Aql al-Siyâsi al-‘Arâby, al-‘Aql al-Akhlâqy al-‘Arâbiyyah: Dirâsah Tahlîliyyah Naqdiyyah li Nuzûm al-Qiyâm fi al-Thaqâfah al-‘Arâbiyyah. Keempat buku ini merupakan realisasi proyek kritik akal arab yang ingin dibangunnya.  
56 ‘Abid al-Jâbiri, Takwîn al-‘Aql al-‘Arabi, Markaz Dirasah al-Wihdah al-‘Arabiyyah, Beirut, 1989, h. 100.  
57 www.islamlib.com.  
58 Al-Sa’di, Thariq al-Wushul ila al-’Ilm al-Ma’mul, Kairo: Maktabah ibn Taimiyah, 1413, h. 601. Agus Hasan Bashari Lc. Op. cit., h. 72.  
59 Dr. Abd al-Karim Zaydan. Op. cit., h. 389.  
60 www.islamlib.com.  
61 Badruddin bin Muhammad Bahadir al-Zarkasyi. Op. cit., vol. I, h. 195-196.  
62 Madzhab Syafi‘iyyah menolak keras kaidah ini, dengan alasan pemahaman di atas tidak selaras dengan substansi takhshîsh. Dalam metodologi syafi‘i, takhshîsh diartikan dengan ‘‘mengeluarkan sesuatu dari univeralitas teks dengan dukungan dalil, dan seandainya tidak ada dalil yang mentakhshish maka sesuatu itu sah dimasukkan atau diakomodir dalam keumuman teks menurut penilaian akal’’. Adapun sesuatu yang menurut akal mustahil bisa tercakup dalam keumuman teks, maka pengecualian terhadapnya bukanlah atas nama takhshîsh.  

63 Badruddin bin Muhammad Bahadir al-Zarkasyi. Loc. cit.  
64 Munirul Abidin, Menghindari Pertentangan Akal & Wahyu, cet. Pustaka Zamzami, h. 53.  
65 Sayyid Muhammad ‘Alawi al-Maliki al-Hasani. Op. cit., h. 4-5.  
66 Makalah Saiful Anwar (Pak Sawer), Dewan Perumus LBMPPL, Islam Liberal. Disampaikan dalam seminar HP.CIPS.  
67 Terjemah Muqaddimah Ibn Khaldun, Pustaka Firdaus, h. 593.  
68 Imam al-Ghazali, al-Mustashfa, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, vol. I, h. 179.  
69 Ali Hasan al-Halabi, Muslim Rasionalis, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1995, h. 54.  
70 Ibid, h. 641 & 37.  
71 Najmuddin al-Thufi (675-716 H.) adalah seorang pakar di bidang yurisprudensi Islam, ushûl fiqh (legal theory), dan Hadîts dari kalangan madzhab Hanbali. Nama lengkapnya Abû al-Râbi’ Sulaymân bin ‘Abd al-Qawi bin ‘Abd al-Karîm bin Sa‘îd al-Thufi, tetapi lebih populer dengan sapaan Najmuddin al-Thufi. Nama al-Thufi diambil dari nama desa kelahirannya di daerah Baghdad, Iraq.  
Dibidang ilmu al-Qur'an dan hadîts dia menyusun 10 buku. Di antaranya al-Isyarah al-Ilahiyyah ila al-Mabahis al-ushûliyyah dan idah al-Bayan al-Ma’ani Umm al-Qur'an. Sedang dibidang aqidah, fiqh, dan ushûl fiqh terdapat 22 buku, di antaranya Bughyah al-Sail fi Ummahat al-Masa’il dan al-Intisarat al-Islamiyyah fi Daf‘ syubhah al-Nashraniyyah, keduanya dibidang Ushûl al-Din; mukhtashar al-Raudhah al-Qadamiyyah dan Ma‘arij al- Ushûl ila ‘ilm Ushûl, keduanya dibidang ilmu ushûl fiqh. Dibidang sastra arab terdapat 10 buku, antara lain Dafal-Malam ‘an Ahl al-Manthiq wa al-Kalam, al-Risalah al-‘Alawiyyah al-Arabiyyah, dan Tuhfah Ahl al-Adab fi Ma‘rifah Lisan al‘-Arab. Keterangan biografi selengkapnya lihat dalam Insiklopedi Islam, suplemen II, h. 136.  
72 Dr. Wahbah al-Zuhayli, Ushûl al-Fiqh al-Islâmi, vol. II, h. 817-819. Dr. Mushtafa Zayd, al-Mashlahah fi al-Tasyrî’ al-Islami, h. 31. Bandingkan Dr. Muhammad Sa’îd Ramadhan al-Buthi, Dhawabit al-Mashlahah fi al-Syari’ah al-Islamiyyah, Muassasah al-Risalah: Dar al-Muttahidah, cet. VI, 2000, h. 127-133.  
73 www.islamlib.com.  
74 Dr. Wahbah al-Zuhayli. Loc. cit.  
75 Dr. Musthafa Zayd. Loc. cit. Bandingkan Dr. Muhammad Ramadhan Sa’îd al-Buthi. Loc. cit.  
76 Dr. Muhammad Ramadhan Sa’îd al-Buthi. Loc. cit.  
77 Menurut Syafi’iyah harta yang diambil tersebut statusnya adalah hutang sehingga wajib dikembalikan saat mampu mengembalikan.  
78 Dr. Muhammad Ramadhan Sa’îd al-Buthi. Loc. cit.  


.

PALING DIMINATI

Back To Top